SATYA
"Sat, bad news. Gue baru dapat informasi, Aroma mau mengeluarkan varian teh baru. Konsepnya sepertinya mirip dengan punya kita," ujar Molaf begitu masuk ke ruangan gue.
Oh, crap. This is not good.
"Konsep teh premium?"
"Yes. Namanya Aroma Exquisite. Detailnya udah gue kirim ke email lo."
"Damn."
Gue pun langsung mengecek email yang baru dikirim Molaf, berisi press release dari Tarama International mengenai varian terbaru teh Aroma bernama Aroma Exquisite. Setelah membaca isinya, gue dan Molaf pun lihat-lihatan dalam diam. Kepala kami berdua sedang berpikir keras mengenai masalah ini.
Punya kompetitor memang sangat wajar dalam bisnis, apalagi di bidang consumer goods. Tapi tetap saja kita harus selalu mencari cara agar bisa menang dalam berkompetisi atau menjadi beda. Apalagi Nuansa adalah produk baru yang belum mempunyai loyal customers.
"Kita ganti konsep, Mol," ujar gue memecah keheningan.
"Hah?! Serius lo?"
Gue mengangguk yakin.
"Dengan waktu yang semepet ini?" tanyanya lagi masih dengan pandangan takjub.
Nuansa memang sudah dijadwalkan untuk launching sekitar bulan depan. Bukan waktu yang panjang untuk segala persiapan yang dibutuhkan, mulai dari menentukan target pasar, riset, menemukan permasalahan dan tantangan yang akan dihadapi, hingga segala tetek bengek pemasaran, komunikasi, dan iklan yang dibutuhkan agar nantinya bisa mencapai sales yang memuaskan. Namun melihat fakta baru ini, mau tidak mau harus ada tindakan cepat agar produk ini tidak akan gagal di pasaran. Hal ini juga penting demi menjaga nama baik Adipa sebagai salah satu produsen FMCG terbesar di Indonesia.
"Kita tetap jadi brand premium, tapi lebih menyasar anak muda."
Molaf menaikkan alis. "Yakin lo anak muda bisa demen teh celup?"
"Justru itu. Kita perlu mengembangkan pasar teh celup untuk anak muda. Selama ini pasar teh celup selalu menyasar ke keluarga dan orang dewasa kan. Kita coba bikin konsep baru—"
"Tunggu dulu. Menjual barang premium sekaligus untuk anak muda lumayan tricky, Sat. Anak muda lebih identik dengan harga yang terjangkau. Apalagi sekarang kita ngomongin soal kebutuhan sehari-hari yang dijual di supermarket. Why would they spend that much on tea bags?"
"Oke. Anak muda di sini maksud gue bukan remaja pastinya, tapi lebih ke range 25 sampai 35, Mol. Yang udah mandiri dan punya gaya hidup sendiri. Dan sepertinya konsep kemasan dan pemasaran kita perlu diubah. Lebih ke fancy, bukan elegant. Gimana?"
Diskusi pun terus berlanjut hingga satu jam kemudian. Lumayan membuat kepala gue panas menghadapi tantangan yang cukup besar ini. Gue pun melirik jam tangan.
"Gue mau coffee break dulu, Mol. Udah jam 4."
"Lo mesti banget ya jam 4 ngopi?"
"Yep. Jam 1 dan jam 9.30 juga. Tiga kali sehari."
Entah kenapa Molaf malah terkekeh ringan. "Hidup lo nggak bisa lebih lemes lagi apa? Nggak usah teratur banget gitu."
Gue hanya menjawab pertanyaan Molaf dengan cengiran. Gue yakin dia sudah tahu gue dari dulu memang suka keteraturan yang membuat hidup gue lebih punya pegangan dan navigasi. Kedisiplinan juga yang selama ini melatih gue buat bekerja lebih efisien sekaligus memberikan hasil yang lebih maksimal. Termasuk dalam hal pendidikan dan main saham.
"Soal hati juga nggak bisa dilemesin, Sat?"
Gue mengernyit. Kali ini gue nggak mengerti pertanyaan Molaf. "Maksudnya?"
Molaf malah tersenyum. "Lo tahu lah harusnya maksud gue... soal cewek, Bro. Lo kan dari SMA dulu susah banget naksir cewek. Sekalinya ada yang deket, malah nggak lanjut ke mana-mana. Jadi gue sama Alan sempat mikir, entah elonya yang kaku atau hati lo yang terlalu kaku."
"Ck. Jadi lo sama Alan sering ngomongin gue?"
"Ya iyalah! Masa kita nggak ada ngomongin lo yang hampir nggak pernah pacaran ini. Kita sampai mikir keras cewek mana ya yang kira-kira bisa kita sodorin. Percuma gelar MBA lo yang dari Wharton itu kalau nggak bisa dipake buat cari calon istri."
"Bangke. Lo pikir minuman disodor-sodorin!"
Molaf tertawa. "Tipe lo yang gimana sih emangnya, Sat? Entar biar gue sama Alan cariin. Lo tahu kan si Alan stoknya banyak."
Tipe gue? Haha gue nggak pernah tahu dan nggak pernah peduli. Mungkin gue juga memang nggak punya tipe ... wait.
Tiba-tiba muncul lagi bayangan seseorang yang kerap muncul di benak gue akhir-akhir ini, terutama sejak berdua di mobil sama dia waktu itu. Sosoknya yang sederhana, matanya, tawanya, wangi parfumnya, bahkan suara cemprengnya.
Gue nggak bisa menjelaskan secara rinci kenapa, tapi gue benar-benar suka matanya. Bukan cuma bentuknya, tapi juga pancaran dan pandangannya ketika melihat gue, plus bulu matanya yang lentik. Walaupun gue yakin dia nggak pakai bulu mata palsu atau ... apa tuh namanya? Maskara?
"Gue suka yang matanya indah, Mol. Dan yang selera musiknya sama kayak gue."
Seperti Runa.
~
Maap yaa babnya lumayan pendek. Mampunya cuma segini sih. Tapi alhamdulillah bisa update dua kali minggu ini. Aku janji minggu depan bakalan lebih gres progresnya di antara mereka berdua wkwkwk ;)

KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Runa
Chick-LitSeorang Runa Hariadi seharusnya menjalani hidup dengan begitu mudah dan serba mewah. Namun sesuai dengan sifatnya yang lembut tapi rebel, ia justru mengambil jalan hidup yang lebih sulit. Runa memilih untuk bekerja di sebuah perusahaan fast-moving c...