Dari Museum ke Museum

9.2K 1.2K 37
                                    

SATYA

Tiba-tiba Runa tertawa. "Kamu bisa minta Papa kamu buat angkat aku jadi anak aja nggak? Biar nama belakang kita jadi sama."

"Hmm. No, thanks." Gue udah punya dua adik yang sering bikin pusing kepala. Nggak perlu repot-repot nambah satu lagi.

Runa tersenyum jail. Tapi nggak lama kemudian dia menghela napas panjang. Wajahnya berubah muram.

"Kamu yakin mau jadi bagian dari hidup aku?" tanyanya dengan wajah serius.

"Jujur, aku belum yakin 100% karena kita belum lama pacaran. Tapi tujuan aku serius, Runa. Seperti yang udah pernah aku bilang, aku nggak akan memulai sesuatu kalau nggak mau berkomitmen sepenuhnya." Dan karena itu juga gue nggak pernah pacaran sebelumnya. Gue nggak bisa menjalani sesuatu yang nggak jelas tujuannya apa, dan memang belum pernah ada perempuan lain yang bisa membuat gue berani mengambil komitmen itu sebelum gue ketemu Runa.

"Kamu tahu kan aku masih punya utang sama Ayahku?"

Gue mengangguk. "Kalau boleh tahu utang kamu berapa sih?"

Runa lalu memperhatikan sesuatu di pergelangan tangan gue. "Umm, jam tangan kamu itu bisa lah buat lunasin."

Gue pun melirik jam tangan AP yang sedang gue pakai. Dengan santai gue membukanya lalu gue sodorin ke dia.

Tapi Runa malah tertawa. "Bercanda kali! Actually, utang aku nggak ada apa-apanya dibanding harga jam tangan kamu itu."

"Berapa? 100 juta?"

"50."

"Oh." Ternyata jumlahnya memang cukup besar buat Runa yang gue tahu gajinya sebagai fresh graduate di Adipa nggak sampai dua digit. Padahal jumlah segitu pasti nggak ada artinya buat Ayahnya.

"Yaudah aku serius nih..." Gue kembali menyodorkan jam tangan gue namun ditolaknya dengan tangannya.

"Satya, kalau aku mau, aku udah jual barang-barang aku di rumah lama. Tapi aku kan nggak mau pakai barang yang dibeli dengan uang orang lain. Aku mau pakai hasil kerja keras aku sendiri."

"Iya, tahu." Tentu saja gue masih ingat kata-kata Ayahnya yang menyakitkan kepada Mamanya yang diceritakan Runa malam itu: 'Hidup kamu dan Runa nggak akan ada artinya tanpa harta saya...'

Kalau gue jadi Runa pun gue bakalan membuktikan kalau gue bisa bertahan hidup dan bahagia tanpa Ayahnya. Bagaimana bisa seorang laki-laki menghargai anak dan istrinya hanya sebatas harta. Sebagai anak gue pasti bakalan benar-benar merasa sakit hati.

"Runa, tapi itu nggak ada hubungannya sama hubungan kita kan? Kamu bisa terus kerja dan berusaha membayar utang Mama kamu-"

"Ada satu lagi, Satya," potong Runa dengan sopan.

"Apa?"

"Sama kayak kamu, aku juga punya mimpi."

Gue pun menatapnya untuk meminta penjelasan.

"Kamu tahu seandainya dulu aku jadi kuliah di London, aku bakalan ngambil jurusan apa?"

Gue pun berpikir sebentar. "Business?" jawab gue cukup yakin karena di Indonesia kemarin dia kan ngambil jurusan Marketing, yang biasanya termasuk dalam gelar Business. Jadi pasti nggak jauh-jauh dari bidang itu.

"Bukan."

Oke, ternyata gue salah. "Jadi?"

"History of Art."

"Oh, ya?! Serius?" Gue pun nggak bisa menyembunyikan keterkejutan gue. Sejarah Seni?

Runa mengangguk. "Aku udah diterima di salah satu college terbaik di dunia buat belajar Art History. London juga kota yang sempurna buat belajar dan mengeksplorasi seni dan budaya karena ada banyak museum, galeri dan cultural centres di sana. It would have been a perfect path for me..." Perlahan gue bisa merasakan nada bicaranya semakin lirih.

Rahasia RunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang