Kunjungan Mendadak

7.1K 1.1K 56
                                    

RUNA

Perlu beberapa detik untukku menyadari bahwa aku sedang terbaring di rumah sakit begitu melihat seorang dokter dan beberapa perawat di sekelilingku sedang sibuk dengan tugas mereka masing-masing.

Pandanganku sedikit kabur dan tubuhku terasa sangat lemah. Sedangkan aku bernapas dengan nebulizer yang menutupi sebagian wajahku.

"Dok, pasien sudah sadar," ucap salah satu perawat sambil memperhatikanku. Dokter pun mendekatiku dan menyuruh perawat untuk melakukan sesuatu yang tidak lagi bisa ditangkap olehku.

Dengan susah payah aku pun berusaha mengingat apa yang terjadi. Kenapa aku berada di sini? Kenapa dadaku terasa begitu berat untuk bernapas? Apakah aku sedang berada di ambang kematian?

"Satya..." Aku menyebut namanya dengan lemah, yang pasti tidak bisa didengar siapa-siapa. Entah kenapa dia adalah hal pertama yang aku ingat secara samar.

"Mbak, bisa dengar suara saya?"

Aku mengangguk kecil.

Lalu para perawat kembali sibuk untuk mengecek keadaanku yang tidak kuhiraukan lagi karena pikiranku mulai mengurai kembali ingatan mengenai apa yang telah terjadi. Hingga beberapa menit kemudian sosok yang paling kurindukan muncul secara perlahan, dengan wajah yang penuh kekhawatiran.

Ketika sudah dekat, ia menggenggam tanganku dan entah bagaimana sebulir air mata turun ke pipiku. Dalam hati aku berterima kasih dan bersyukur karena dia adalah orang pertama yang aku lihat begitu aku tersadar.

Satya tidak mengucapkan apa-apa tapi matanya terlihat merah dan basah. Keadaannya jauh dari kata rapi dengan baju yang sangat kusut dan rambut acak-acakan.

Kami saling menautkan pandangan dalam waktu yang cukup lama. Seandainya bisa bersuara, aku ingin meminta maaf karena mungkin sudah menyusahkannya dan membuatnya khawatir. Aku harap ini terakhir kalinya aku melihatnya sekacau ini. Untuk ke depannya aku berjanji untuk menjaga diriku dengan baik agar kejadian seperti ini tidak terulang lagi.

***

Setelah terlelap entah berapa lama, aku menyadari napasku terasa jauh lebih ringan saat ini, meskipun masih menggunakan alat bantu pernapasan. Aku pun sudah berada di ruangan yang berbeda, tidak sedingin sebelumnya.

Mama sudah berada di sisiku sambil mengelus tanganku dan memandangku dengan tatapan hangat. Aku tahu Mama pasti berusaha keras untuk menutupi kekhawatiran dan kesedihannya karena melihat kondisiku saat ini.

"Tadi Satya pamit sebentar. Katanya ada yang perlu diurus di kantor," ucap Mama lembut. "Terus Mama suruh dia pulang aja hari ini, besok baru ke sini lagi."

Aku berusaha mengangguk dan tersenyum. Tentu saja aku juga sangat berharap Satya pulang ke rumah untuk istirahat. Sungguh aku lebih khawatir dengan keadaannya dibanding keadaanku sendiri.

"Mama... Mama juga jangan lupa istirahat ya." Sekuat tenaga aku mengucapkannya dengan suara yang hampir tercekat.

"Iya, Nak. Mama belum capek kok," balasnya sambil menepuk-nepuk tanganku dengan penuh kasih sayang. "Satya kayaknya khawatir sekali ya sama Runa? Mama jadi kasihan lihatnya..."

Aku bingung harus merespon bagaimana. Sehingga untuk sejenak hanya ada hening yang tercipta. Mungkin Mama juga ingin memberiku kesempatan untuk beristirahat semaksimal mungkin. Ia pun berpindah duduk ke sofa dan mengeluarkan sebuah majalah langganannya untuk dibaca. Sedangkan aku menonton televisi yang terpasang di dinding. Seketika muncul sebuah iklan produk minuman isotonik milik Tarama yang menampilkan seorang artis terkenal. Aku pun jadi teringat Kak Rio yang setahuku memegang divisi minuman kemasan di Tarama, mungkin termasuk produk ini yang sedang aku lihat iklannya.

Rahasia RunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang