Jumat

7.3K 998 67
                                    

SATYA

Sebenarnya gue pusing setengah mati nyari kado buat Runa. Gue nggak pengalaman soal ginian. Perempuan yang sering gue beliin hadiah cuma Mama sama adek gue, Tiara. Tapi kan beda ya nilainya? Gue juga harus menyesuaikan dengan karakter dan kesukaan Runa.

Gue bisa aja ngasih dia yang gampang dan typical kayak perhiasan misalnya, sesuai dengan masukan dari Mama juga. Beliau bilang gue bisa ngasih LOVE bracelet-nya Cartier misalnya. Tapi kalau dipikir-pikir, Runa kayaknya bakalan kurang nyaman kalau gue ngasih perhiasan mahal. Takutnya dia bakalan ngerasa berutang, terbebani, atau bahkan minder. Penampilannya juga sederhana. Jadi mendingan gue ngasih dia sesuatu yang sentimental daripada yang mahal.

Saran dari Tiara juga sama aja. Tas, parfum, tiket liburan ke luar negeri, sampai bouquet alias karangan bunga yang isinya lembaran uang dolar, seperti yang temannya pernah ngasih buat pacarnya. Ngapain coba? Nggak ada yang lebih norak lagi apa?

"Yaudah, dia sukanya apa, Kak?" tanya Tiara akhirnya setelah gue menolak beberapa sarannya.

"Hmm... dia suka dengerin The Smiths. Pokoknya musik-musik kayak gitu lah. Kayak gue juga."

"Mm, tiket konser mungkin? Atau original merchandise band-band gitu?"

"Agak biasa nggak sih?"

Tiara kembali berpikir keras. "Gini deh, gue ganti pertanyaannya. Dia lagi butuh apa? Ada yang kira-kira dia lagi pengin nggak?"

Waduh. Dia butuh apa? Yang jelas dia butuh uang buat bayar utang ke ayahnya. Tapi kan nggak mungkin gue ngasih itu. Nggak bakalan mau anaknya.

"Nggak tahu, Ra. Kayaknya dia nggak butuh apa-apa deh..." Kecuali duit 50 juta.

Gue pun kembali berpikir keras. Sampai akhirnya gue mendapatkan sebuah ide brilian. Walaupun gue nggak tau ini bakalan berhasil atau malah fail. Tapi paling nggak niat gue baik. Dan untuk mewujudkannya, gue butuh dukungan dari keluarga, terutama Papa.

***

RUNA

Besok malam siap-siap ya. Aku mau ngajak kamu keluar.

Begitulah pesan Satya yang baru masuk ke ponselku. Aku pun menyunggingkan senyum, tidak sabar untuk besok.

Hari Jumat ini adalah hari pertamaku masuk ke kantor setelah dirawat beberapa hari di rumah sakit. Orang pertama yang aku temui adalah Aghni untuk berterima kasih kepadanya karena—menurut cerita Satya—dia lah yang membuka pintu rooftop ketika aku sudah tidak sadarkan diri. Kalau dia tidak datang, mungkin aku tidak akan berada di sini sekarang.

"Makasih ya, Ni, lo udah nolongin gue waktu itu..."

Namun Aghni menunjukkan muka prihatin. "Ya ampun, Na... Lo udah nggak apa-apa kan? Maaf ya waktu itu lo harus lembur gara-gara ngerjain kerjaan gue."

"Nggak apa-apa tahu, Ni. Nggak ada hubungannya deh."

"Ya kalau gue nggak perlu jagain bokap waktu itu kan lo nggak bakalan di kantor—"

"Ni, soal rooftop kan bukan salah lo," potong gue sambil tersenyum.

"Aduh, Na, untung aja gue waktu itu balik ke kantor! Terus lo nggak ada di meja, padahal tas lo masih ada. Akhirnya gue inisiatif nyari ke rooftop..."

"Tuh kan, lo emang malaikat penyelamat gue!" Aku pun tertawa supaya suasana menjadi ceria. Sungguh Aghni tidak perlu merasa bersalah. Kejadian waktu itu bukan salahnya sama sekali.

"Umm, Na... Lo akrab ya sama Satya?" tanyanya dengan suara pelan.

Deg. Aku pun jadi berusaha menyembunyikan kegugupanku. Bagaimanapun tidak boleh ada siapapun di kantor ini yang tahu soal hubungan kami. Ya, kecuali Molaf yang memang sudah tahu dari Satya. Oh, dan papanya Satya juga... eh, papanya hitungannya bukan karyawan ya?

Rahasia RunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang