|| 33. Lima tahun kemudian

473 23 18
                                    

Happy Reading!

•••

Lima tahun kemudian.

Seorang wanita dengan kacamata yang bertengger di batang hidungnya, tengah menatap tajam pada anak kecil dihadapannya. Wanita itu menatapnya menyelidik pada anaknya.

Saat sampai di rumah dari pulang kerjanya, dia sudah menemukan kondisi berantakan anaknya yang berada di teras rumah.

"Gak dengar omongan Mama?"

Anak laki-laki berusia empat tahunan tersebut hanya tersenyum polos.

"Dengar, Ma."

"Apa yang mama bilang?" tanya wanita itu, menatap sang anak. Lalu membersihkan daun-daun kering yang berada di rambutnya.

"Mama bilang, Gino jangan main ke belakang rumah papa Arga sama Silla." Anak itu menjelaskan, sembari memperagakan nada suara dan bagaimana mamanya berbicara waktu menasehatinya.

Sedangkan wanita dihadapannya mendelik, lalu tertawa pelan. Anak ini benar-benar, selalu saja tak bisa membuat dirinya marah.

"Terus kenapa masih main, kalo udah tau gak boleh?" Wanita itu menatap lembut anak lelakinya, rasa kesalnya tadi langsung sirna saat melihat bagaimana sikap polos sang anak.

"Silla yang ajak, Ma!" Gino. Anak itu langsung menggelengkan kepalanya, seolah berkata bahwa ini bukan salahnya.

"Kalau mau marahin Gino, gak boleh, Ma. Marahin Silla aja soalnya Silla yang ajak." Bicaranya tak terlalu cadel, namun sudah bisa mengucapkan kalimat demi kalimat dengan baik.

"Kok Silla?!" Anak perempuan dengan usia hampir sebaya dengannya keluar dari persembunyiannya, yang berada di samping dinding rumah.

Gadis kecil itu tak terima dirinya disalahkan begitu, walaupun nyatanya memang benar nyatanya.

"Silla emang ngajak Gino, Mama. Tapi Gino juga mau, jadinya marahin juga Gino nya." Silla. Gadis kecil berusia tujuh tahunan dengan kuncir rambut kuncir dua tersebut, menatap pada Gino kesal.

Wanita itu menatap pada Silla dengan tatapan menyelidik juga menahan tawa, pasalnya kondisinya juga hampir sama dengan Gino. Berantakan.

"Tetap Silla salah, Mama!"

"Gino juga mau!"

"Mama mau tanya. Boleh?" Wanita itu membuka suaranya, seraya memegang kedua bahu anak-anak dihadapannya kini.

"Kalian main di rumah belakang papa Arga?" tanya wanita itu, yang diangguki oleh kedua anak dihadapannya.

"Iya, Ma."

"Main apa anak-anak mama ini?"

"Kita main masak-masak. Terus Gino tadi ngambil ikan cupang di akuarium, kita masak deh." Silla menjelaskan dengan sedikit cadel.

"Ikan cupang?"

"Iya. Ikan cupang papa, Gino ambil kita masak." Silla menjelaskan antusias. Gadis kecil itu seolah tak ingat akan ketakutannya tadi akan kemarahan wanita diharapkannya kini.

"Gimana ngambilnya?"

"Gino dorong akuariumnya dari meja." Anak lelaki itu menjelaskan santai. Wanita dihadapannya terkejut mendengar penjelasannya.

"Pecah Gino!" tegur wanita tersebut.

"Pecah lah, Ma."

Wanita itu buru-buru menyentak dari lamunannya. "Kamu gak luka, nak?"

"Enggak. Gino gak luka."

"Kalau papa Arga tau, gimana? Emang gak takut papa Arga marah?" tanya wanita itu menyelidik. Anaknya ini benar-benar cukup meresahkan.

"Papa Arga gak pernah marah, Ma. Cuman Mama Sasa aja yang sering marah." Bukan Gino yang menjawab, melainkan Silla.

Gadis dengan kuncir dua itu jujur. Memang yang sering menegur lebih tepatnya bukan marah, adalah Mama Sasa nya.

Wanita yang dipanggil Sasa itu menatap Silla gemas, lalu mencubit lembut pipi chubby nya.

"Bisa aja anak Mama ini."

"Iya dong. Emang benar, kan, Gino?!" Antusias Silla meminta pendapat Gino.

Gino juga mengangguk tak kalah antusias.

"Betul betul betul!" ucapnya dengan logat kartun gembar berkepala botak. Kartun favoritnya.

Rasa kesal wanita itu kini sirna, bergantikan dengan rasa gemas pada kedua anak-anak dihadapannya.

"Iya iya."

"Terus kenapa banyak daun di kepala kalian?" tanya wanita itu lagi.

"Kita ambil bunga mama yang dibelakang. Kita petik terus lempar-lempar keatas langit." Silla menjelaskan lagi dengan detail.

"Betul betul." Gino menyahut.

Wanita dihadapannya kini menatap kesal pada kedua anak didepannya, yang membuat keduanya menjadi takut.

"Gino! Silla! Sekarang kalian bersih-bersih sama bik Aya. Sekarang!"

Kedua anak itu berlari masuk kedalam rumah dengan memanggil sang pengasuh dengan suara melengkingnya.

Wanita itu mencoba sabar. Astaga bunga pesanan orang yang sudah lama ditunggu dengan harga yang lumayan mahal harus hilang harganya, karena kelakuan kedua bocah itu.

"Salsa!" Wanita itu menoleh pada seorang pria dengan baju kantor lengkapnya.

"Mereka buat masalah lagi?"

•••

TBC

Gimana pendapat kalian mengenai Part ini?  Buat uang yang menanti Salsa, udah ya, guys.

15des2021

Reon & Salsa [ End ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang