|| 49. A story that is not a dream

408 29 5
                                    

Happy Reading!

•••

"Enggak semua kisah itu berakhir dengan happy ending, ada juga yang sad ending. Tapi gak semua cerita itu juga berakhir sad ending. Semuanya tergantung pada takdirnya." ~~lwaavv

.

.

.

Reon menatap nisan yang bertuliskan nama puteranya. Kuburan yang mungkin hanya sepanjang satu meter lebih itu, tanahnya masih begitu basah. Pemakaman dilakukan setengah jam yang lalu. Gino dimakamkan tepat di samping makam ibu Salsa.

Sudah setengah jam berlalu, namun Reon masih bertahan dengan posisinya, duduk di samping makam puteranya.

Reon berandai-andai. Andai dirinya saat itu tak mengendarai motor dengan kecepatan tinggi. Andai saat itu Reon bisa menghindari Gino. Andai ini mimpi. Andai, dan andai-andai lainnya. Namun, kenyataannya berbeda.

Reon kembali menangis terisak, lalu memeluk nisan puteranya. "Maafin papa sayang. Maaf. Ini semua karena papa. Ini salah papa."

Kemana Salsa? Wanita itu pingsan dan syok berat sejak mengetahui kenyataan bahwa anaknya telah tiada. Bahkan saat bangun, Salsa terus memberontak dan menyakiti dirinya sendiri. Sehingga mau tak mau, membuat Reon mengambil langkah untuk memberi obat penenang untuk kebaikan Salsa.

Salsa tak ikut dalam proses pemakaman Gino, dengan kondisinya yang begitu. Saat bangun ia terus saja meraung keras dan berteriak mengatakan bahwa ini hanyalah kebohongan.

Reon berteriak frustasi. Andai dirinya saja yang mati. Kenapa harus anaknya? Bahkan mereka berdua belum berkenalan. Reon belum memperkenalkan diri kepada Gino, bahwa dirinya adalah ayahnya. Reon belum pernah mengajari Gino bermain sepeda. Reon bahkan belum pernah mendengar panggilan 'Papa' dari mulut anaknya langsung. Reon belum pernah melakukan perannya sebagai papa.

"Ini semua salahku..." lirihnya.

Reon menjambak rambutnya sendiri. Ini semua adalah salahnya. Reon terus mengutuk dirinya sendiri.

Jika ini karma untuknya, kenapa harus begini. Jika memang ini karma untuknya, kenapa harus mengorbankan nyawa anaknya. Kenapa takdir begitu jahat?

"Maafin papa sayang."

•••

"Gino. Kamu jangan lari-lari, nak!" tegur Salsa. Wanita itu ikut berlari mengejar Gino yang malah semakin semangat berlari dengan tawa yang bebas.

"Dapat." Salsa tertawa saat dirinya berhasil memeluk tubuh anaknya tersebut.

"Makanya jangan main-main sama mama. Mama ini bisa lari cepat buat ngejar Gino. Kemanapun Gino lari, mama bisa tangkap." Salsa berucap lalu mengangkat Gino dalam gendongannya.

"Gino sayang mama."

Salsa bergeming. Ia lalu menoleh pada Gino yang juga tengah menatapnya dengan senyum lebar. "Mama lebih sayang sama Gino."

"Mama jangan nangis kalo Gino pergi."

Salsa yang mendengar ucapan Gino yang begitu, menatap kesal puteranya. "Jangan bicara aneh-aneh, sayang. Mama bakal ikut kemanapun Gino pergi."

"Gino bisa jalan, Ma. Gino bukan anak kecil lagi. Turunin Gino." ucapnya, sembari merengek meminta diturunkan dari gendongan Salsa.

Salsa menurut lalu menurunkan Gino dari gendongannya. "Bagi mama, Gino itu tetap anak kecil. Tapi sekarang kok tambah berat, berarti Gino tambah besar dong," ucap Salsa.

Entah kenapa, tiba-tiba saja taman tempat keduanya tadi bermain menjadi terang seketika. Salsa mengedipkan matanya berulang kali untuk melihat lebih jelas keadaan ini.

"Gino pergi, ya, ma."

Salsa tersentak, lalu menoleh pada Gino yang barusan berbicara. Wanita itu menatap pada anaknya yang berjalan mundur sembari melambaikan tangan padanya, tak lupa dengan senyuman.

"Mau kemana, sayang?" tanya Salsa bingung. Namun, tiba-tiba tubuh anaknya itu menghilang seolah lenyap oleh cahaya yang membawanya.

Salsa gegas berlari menyusul Gino. Namun, tiba-tiba semuanya menjadi putih meninggalkan dirinya seorang diri. Ia berteriak memanggil nama anaknya berulang kali, yang nyatanya tak mendapat sahutan.

"Gino sayang mama."

Salsa terbangun dari mimpinya. Mimpi itu begitu nyata. Sangat nyata. Bahkan Salsa dapat merasakan kulit lembut anaknya yang selalu diciuminya.

Salsa menoleh kesamping, lalu mendapati Tania yang tengah menatapnya sendu. Seolah tersadar dari alam bawah sadarnya. Salsa menggelengkan kepalanya takut saat mengingat kejadian kemarin.

"Dimana Gino, ma?" tanya Salsa gusar. Ia bahkan memegang bahu Tania dengan erat, air matanya juga seolah berlomba-lomba untuk turun tak bisa dihentikan.

"Kamu yang sabar ya, sayang." Tania mencoba memeluk Salsa, yang langsung ditepis.

"Salsa tanya dimana Gino, ma? Jawab!" bentak Salsa spontan. Ia berteriak meminta penjelasan dari Tania yang hanya menangis.

"Gino udah tenang, nak."

"Enggak! Jangan bohong, ma. Sekarang dimana Gino? Salsa pengen ketemu. Jawab jangan nangis aja, ma. Salsa mohon," ucapannya memohon sembari terisak. Salsa menatap Tania meminta bantuan, berharap apa yang dikatakan oleh wanita paruh baya dihadapannya akan membuat hatinya tenang. Namun nihil.

Tania menggelengkan kepalanya sembari menangis sebagai jawaban.

Salsa memberontak dengan tenaga yang tersisa. Namun Tania langsung memeluknya. Keduanya menangis dalam diam. Tubuh Salsa rasanya benar-benar tak memiliki tenaga lagi sekarang.

"Aku benci Reon, ma. Aku benci. Dia pembunuh."

Tania hanya diam, tak menjawab ucapan Salsa yang tertuju pada putranya. Karena nyatanya putranya juga bersalah disini. Wanita paruh baya itu malah semakin mengeratkan pelukannya pada Salsa.

"Kenapa takdir kejam sama Salsa, ma? Kenapa takdir sejahat ini? Kenapa semua orang baik yang dekat sama Salsa pergi? Kenapa?!" Tangis pilunya begitu menyayat hati.

Sekarang, dengan semua kejadian ini. Bolehkah Salsa bilang dan menyimpulkan bahwa Reon adalah pembawa sial bagi kehidupannya?

•••

31jan2022

Reon & Salsa [ End ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang