05

5.7K 532 5
                                    

_____

Rain POV

"Atau.." jeda Pangeran Oliver yang membuatku terdiam, "Saya yang mengantar kau pulang ke rumah?"

Deg.

Pertanyaan itu sungguh membuatku merinding. Jika Pangeran Oliver mengantarku pulang, maka apa yang akan warga desa bicarakan? Bisa-bisa aku menjadi gosip dari mulut ke mulut.

Aku langsung menggeleng tegas, menolak tawarannya. Lebih baik aku pulang sendiri di gelapnya malam. Daripada diantar oleh makhluk buas di hadapanku ini.

"Maaf, saya bisa pulang sendiri." ucapku sopan.

Pangeran Oliver mengangguk singkat, "Hati-hati di jalan," ucapnya.

Aku segera berbalik meninggalkan tempat itu. Semoga saja Kenzie baik-baik saja. Jika terjadi sesuatu dengan Kenzie, aku akan mengomelinya karena berburu seorang diri.

Tidak terasa jika aku sudah sampai di desa, tepatnya di depan rumah. Aku melihat beberapa anak kecil masih berlarian di luar. Lalu aku melihat Ibu sedang duduk di kursi kayu depan rumah.

Aku menghampiri Ibu sambil tersenyum, "Ibu, aku pulang." ucapku lalu duduk di sebelah Ibu.

Ibu mengamatiku laku berkata, "Bukankah seharusnya kau bersama dengan Kenzie?" tanya Ibu bingung.

Aku cemberut, "Dia menyuruhku pulang."

"Kenapa?"

"Karena dia ingin berburu. Padahal aku juga ingin ikut berburu!" ucapku kepada Ibu.

Tetapi kurasa ucapanku tadi salah. Karena reaksi Ibu sangat berbeda dengan banyanganku. Ibu menatapku tidak percaya. Mungkin sebelumnya aku tidak pernah seperti ini. Jadi Ibu merasa heran.

"Kau ingin ikut berburu?!" tanya Ibu mengulang ucapanku.

Aku menatap ke arah lain, "Wah ternyata sudah gelap. Ayo Ibu kita masuk ke dalam, mungkin Kakak sebentar lagi akan pulang," ucapku bangkit dari dudukku.

"Raina! Jelaskan dulu maksud ucapanmu tadi!" sudah aku tebak. Inilah yang akan terjadi.

Malam itu aku di interogasi oleh Ibuku sendiri. Meskipun Ibu sejak tadi hanya memberi nasihat jika anak perempuan tidak boleh berburu. Ya, aku tahu ini masih jaman kuno. Tapi apa salahnya membuat perubahan?

Entah sudah berapa lama Ibu berbicara aku hanya bisa mengangguk saja. Hingga Kenzie datang sambil membawa busur dan anak panahnya. Untungnya Kenzie baik-baik saja.

"Kakak baik-baik saja, kan?" tanyaku mengalihkan pandangan ke Kenzie yang sedang bersiap-siap untuk membersihkan tangan dan kakinya dengan air.

Kenzie menatapku, "Seperti yang kau lihat."

"Kijang itu tidak melukaimu kan?" tanyaku tidak sadar.

Aku langsung terdiam setelah mengatakan kalimat itu. Dasar mulut sialan! Tidak bisa diajak kerja sama.

"Dari mana kau tau jika aku menangkap seekor kijang?" tanya Kenzie yang mulai curiga.

Ibu juga menatap curiga kearahku. Aku terdiam memikirkan kata-kata yang bisa mereka percayai.

"I-itu karena aku mencium bau darah kijang! Iya itu darah kijang kan?" tanyaku melirik ke arah baju Kenzie yang terkena darah.

Semoga saja ucapanku tadi bisa membuat mereka percaya. Yah, mungkin hanya beberapa persen saja. Setidaknya itu membantu. Daripada aku kena omelan dua kali.

Kenzie menatap bajunya sendiri, "Oh ini. Aku mandi dulu," ucap Kenzie berlalu meninggalkanku yang menghembuskan napas lega.

"Bagaimana kau tau jika itu darah kijang?" tanya Ibu yang masih curiga.

Aku berdehem pelan, "Hanya asal menebak saja. Hehe," ucapku lalu tertawa garing.

Ibu menggelengkan kepala pelan, "Kau harus mandi dan segera makan malam! Ibu ke kamar dulu." ucap Ibu berlalu pergi.

Aku segera melaksanakan ucapan Ibu. Aku kembali kekamar dan menaruh buku yang sejak tadi aku bawa. Hampir saja aku lupa jika besok buku ini harus di kembalikan. Besok aku akan mengembalikannya.

***

Aku menatap ke arah gadis desa dan para wanita yang sedang asyik mencuci baju sambil berbincang ringan. Aku membawa tumpukan baju untuk kucuci di danau. Ini bukan paksaan Ibu. Ini murni dari diriku sendiri. Baik sekali aku.

"Raina? Kau kesini untuk mencuci baju?" tanya seorang gadis yang kutebak jika seumuran denganku.

Aku kesini untuk mencari putri duyung. Ucapku di dalam hati.

"Iya. Eum.. kau siapa?" tanyaku menatap gadis di hadapanku ini.

Dia tertawa sinis, "Kau benar-benar sudah gila ya, setelah jatuh dari atap rumah?"

Wah ini orang mulutnya benar-benar minta di tampar. Siapa juga yang sok akrab denganku ini?

"Jadi perempuan itu harus anggun, Raina. Kalau kau anggun aku jamin banyak yang suka padamu. Seperti aku ini," ucap gadis itu sambil mengibaskan rambutnya.

"Kau agak geser sedikit bisa tidak? Aku takut tertular kutu rambutmu itu." ucapku sengaja menatap jijik rambutnya.

Seperti yang aku duga, gadis itu melotot tidak terima.

"Sejak kapan kau berani membalas ucapanku?" tanya gadis itu.

Aku berpura-pura berpikir, "Mungkin sejak tadi?" tanyaku balik.

"Kau bukan Raina!" ucap gadis yang belum aku tau namanya ini.

Aku memutar bola mata, "Lalu aku siapa? Hantu penunggu sungai? Oh iya aku lupa kau kan hantunya," ucapku sengaja mengeraskan suara.

"Ingat satu hal ya, Raina! Aku ini anak kepala desa, Devila! Ingat itu!" ucap Devila menunjuk tepat ke arah wajahku.

Aku hampir saja tertawa. Si Devil ini—maksudku Devila. Entah aku harus memanggilnya bagaimana. Nama dia sungguh lucu sekali. Apakah harus aku panggil Devil saja? Itu bagus menurutku, cocok sekali untuknya karena mereka sama.

"Ya terserah kau saja Devil. Aku mau mencuci baju, jangan ganggu." ucapku melangkah menuju danau.

"Jangan panggil aku Devil!" ucap Devila.

Aku tertawa lebar. Sampai orang disana menatapku aneh karena tertawa sendiri.

"Itukan namamu." ucapku tidak mau kalah.

"Awas saja kau Raina!"

Aku berbalik dan menjulurkan lidahku ke Devila yang membuatnya menggeram marah.

Mungkin Devila adalah musuh Raina. Jika itu benar, maka tamatlah riwayat si Devil. Aku akan membalas perbuatan yang telah Devil itu lakukan kepada Rainazela.

Tunggu saja setelah aku selesai mencuci semua baju kotor ini.

Tapi sebelum itu, aku harus mengembalikan buku yang aku pinjam ke tempatnya semula. Aku tidak ingin membuat penjaga perpustakaan itu marah karena bukunya belum juga aku kembalikan.

Oke, mari kita lanjutkan mencuci sampai bersih.

Semangat Rain kau pasti bisa!

_____

The Kingdom Of DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang