07

5.1K 481 5
                                    

_____

"Lebih baik kau pulang, jangan mengikutiku lagi ke dalam hutan!"

Aku tersentak kaget. Seorang Kenzie membentakku di depan wajahku. Jadi dia sudah tau jika aku berbohong? Tamatlah riwayatku.

"Bagaimana kau tau jika aku mengikutimu?" tanyaku kepada Kenzie.

"Itu karena kau tidak pintar berbohong!" ucap Kenzie yang membuatku meringis.

"Jadi ibu juga tau jika aku berbohong?" tanyaku pelan.

Kenzie mendegus pelan, "Iya, dia tau."

Aku menggaruk tengkuk belakang kepalaku. Belum ada beberapa hari jadi pembohong, terungkap sudah kebohonganku ini. Sedih sekali rasanya. Ibu pasti marah jika aku membahas ini dengannya. Kenzie saja sampai membentakku.

"Tapi aku hanya ingin melihat caramu berburu." ucapku mengerucut sebal.

Kenzie membenarkan busurnya. Lalu melirik ke arahku, "Kau pulang saja, tidak usah mengikutiku." ucap Kenzie menekan kata mengikuti, seolah-olah aku adalah seorang penguntit yang selalu mengikutinya setiap saat.

Bahkan jika di bandingkan dengan duniaku. Dunia ini lebih aman. Di dunia asliku, banyak penguntit yang bertebaran dimana-mana. Mungkin lebih parah dariku.

"Hati-hati, jangan sampai pulang tinggal nama saja." ucapku sengaja meledeknya.

Kenzie melotot ke arahku. Aku segera berlari mejauh darinya sambil tertawa lebar.

Aku sudah jauh dari area peternakan. Aku tidak berniat mengikuti Kenzie lagi. Takut jika aku akan diusir dari rumah karena menjadi anak pembangkang. Sudah terdampar di dunia ini, dan menjadi gelandangan. Mau ditaruh mana mukaku yang cantik jelita ini?

"Kak Lain!!" panggil seorang anak kecil.

"Ha?" aku menoleh padanya. Anak kecil ini memanggilku kan?

"Kakak baik-baik sajakan?" tanya anak itu.

Aku mengangguk pelan, "Iya, kau siapa?" tanyaku seraya berjongkok untuk menyamakan tinggi dengan anak kecil tersebut.

Anak itu menatapku aneh. Ini kenapa aku jadi salah tingkah? Memangnya siapa anak ini?

"Kakak tidak ingat aku?" tanya anak laki-laki itu.

"Jika aku ingat, aku tidak akan bertanya," ucapku seraya menepuk dahiku sendiri.

"Ah, kakak tidak selu. Jika ingin main tebak-tebakan, main saja sendili!" ucap anak itu.

Aku melotot tidak percaya, "Hey! Aku tanya siapa kau, bukan ingin bermain tebak-tebakan!" ucapku sedikit ngegas.

Anak itu bersidekap dada, "Kakak benal-benal lupa siapa aku?" tanya anak itu dengan aksen cadelnya yang membuatku gemas.

Aku mengangguk singkat, "Aku lupa. Katakan padaku siapa kau."

"Namaku Lion! Kak Lain telah membantuku mengambil mainan di atap lumah!"

Aku menganggukkan kepala, "Namamu tadi Lion kan?" tanyaku memastikan.

Anak itu menggeleng, "Lion Kak!"

"Hah?" otakku sedikit macet.

"Lion!!"

"Iya! Lion, kan?"

"Lion Kakk!!"

"Bisa-bisa aku stres berhadapan dengan anak ini," gumamku pelan.

"Kakak yang benel dong ngucapin nama Lion!" protes anak itu yang membuatku menggembungkan pipi karena kesal.

"Ini udah bener Lion!" ucapku gemas.

"Kenapa Rion marah-marah dengan Kak Rain?" ucap seorang wanita yang datang tiba-tiba.

Aku tersenyum dengan amat sangat terpaksa. Jadi namanya Rion. Mana aku tau namanya Rion karena dia terus mengucapkan nama Lion. Dasar anak singa!

"Kak Lain tidak bisa nyebut nama Lion dengan benal!!" ucap Rion mengadu kepada wanita itu.

"Maaf Rion sayanggg..." ucapku sengaja melembutkan suara. Ingin sekali aku membuang anak ini ketengah laut.

"Lion maafin. Tapi jangan salah lagi!" ucap Rion membuatku tersenyum kecil.

Wanita tadi mengelus kepala Rion, "Katanya Rion mau minta maaf sama Kak Rain. Kenapa jadi Kak Rain yang minta maaf?" ucap wanita itu yang aku tebak adalah ibu Rion.

"Kalena Kak Lain salah! Jadinya halus minta maaf!" ucap Rion masih menatapku.

Bicara apasih anak ini?

"Rion.." ucap ibu Rion.

Rion menatap ibunya, lalu beralih menatapku, "Lion minta maaf kalena sudah melepotkan Kak Lain yang mengambil mainan Lion." ucap Rion menundukkan kepalanya.

Aku mengelus surai coklat Rion, "Rion tidak merepotkan Kakak, kok." ucapku pelan.

Rion langsung menatapku, "Jadi Lion boleh melepotkan Kak Lain lagi?"

Dasar ya ini anak singa!

***

Setelah perdebatanku dengan Rion berakhir. Aku segera pulang kerumah. Tetapi di perjalanan menuju rumah, aku melihat siluet dua orang yang aku kenal sedang berbicara empat mata di tempat yang sepi.

Sebenarnya aku tidak ingin tau apa yang mereka bicarakan. Tetapi aku ingin egois kali ini. Aku ingin tau apa yang mereka bicarakan sampai aku tidak bisa membayangkannya.

Aku mengendap-endap menuju ke semak-semak di belakang mereka. Setidaknya disini aku aman.

"Aku tidak ingin bertemu kau lagi!!"

Aku melotot, sedikit terkejut. Lalu membuka lebar-lebar telingaku.

"Tapi, nak.. setidaknya terima kalung pemberian dari ibumu ini. Setelah itu, aku tidak akan mengganggu kehidupanmu," ucap sang pria paruh baya.

"Tidak mau! Kalung itu sangat menjijikkan!"

Aku mengepalkan tanganku. Ini sudah kelewatan.

"Tapi.."

"Hentikan! Jangan menemuiku lagi pak tua!"

Saat orang itu hendak pergi, pria paruh baya itu langsung mencekal pergelangan tangannya. Yang dibalas hempasan kasar oleh orang tersebut.

Aku memerhatikan dengan seksama. Mencerna setiap ucapan yang mereka keluarkan. Aku tau ini pelanggaran privasi. Tapi aku sangat ingin tau apa yang mereka bicarakan.

"Dengarkan ayah dulu, Devila.."

Ya, orang yang membentak ayahnya sendiri adalah Devila. Orang yang menjadi musuhku sekarang ada di depan mataku.

Devila langsung pergi begitu saja meninggalkan pria paruh baya itu. Aku menatap kejadian itu dengan perasaan yang campur aduk.

Setelah Devila pergi, aku segera keluar dari tempat persembunyianku. Pria paruh baya tadi terlihat terkejut. Aku keterlaluan sebenarnya, menguping privasi orang lain. Tapi bagaimana lagi, sesuatu yang berhubungan dengan Devila membuatku merasa ingin tau lebih banyak lagi.

"Maaf karena saya tidak sengaja mendengar pembicaraan anda," ucapku santai.

Padahal sebenarnya sengaja, batinku.

"Mungkin saya bisa membantu anda... tetapi saya tidak menjamin dia akan menerimanya." lanjutku sambil melirik kalung yang pria itu pegang.

Pria itu menggegam erat kalung yang ada di tangannya, "Tidak usah melakukan apapun. Cukup diam jangan sampai dia tau." ucap pria itu.

Saat pria itu hendak beranjak, aku lebih dulu mengucapkan kata yang membuat dia terdiam.

"Sampai kapan paman akan seperti ini?"

_____

The Kingdom Of DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang