_____
Seperti biasa, aku pagi-pagi sudah rapi menggunakan pakaian kuno ini. Sebenarnya aku mulai terbiasa hidup di zaman ini. Meskipun begitu, aku juga ingin kembali lagi kedunia asliku.
Aku membawa keranjang rotan yang isinya pakaian kotor. Aku akan kembali ke danau untuk mencuci baju kotor ini. Dan semoga saja aku bertemu dengan Devila.
Sesampainya di pinggir danau. Aku menoleh kesana-kemari untuk menemukan sesosok yang aku cari.
Mataku menatap kearah gadis yang sedang duduk disebuah batu sambil melamun. Aku segera menghampirinya.
"Sedang memikirkan hutang, Devil?" ucapku berdiri disampingnya.
Devila yang sedang melamun langsung tersentak kaget. Ah, ini menyenangkan sekali.
"Kau!"
"Apa?"
"Kenapa kau disini?" tanya Devila yang langsung berdiri dari duduknya.
"Santai saja Devil.. aku hanya ingin melihat orang yang sedang melamun seperti dirimu." ucapku.
"Aku tidak sedang melamun!" bantah Devila.
"Lalu kau sedang apa disini sendirian? Meratapi nasibmu?" tanyaku sambil tersenyum miring
"Apa maksudmu?!" tanya Devila sambil melotot padaku. Dia kira matanya bagus apa? Aku ingin mencolok matanya itu lalu kujual.
"Miris sekali kau ini. Membohongi orang-orang dengan karakter baikmu itu yang sangat membuat muak diriku." ucapku sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Tau apa kau soal aku?!" tanya Devila ngegas.
Aku tersenyum miring, "Aku tau semua tentang dirimu, Devil."
Devila terdiam kaku. Aku tau kemana jalan pikir gadis di depanku ini.
"Kau tidak usah takut. Aku tidak akan membocorkannya pada siapapun. Tapi aku hanya ingin kau bersikap baik pada ayahmu sendiri." ucapku pelan, itu termasuk ancaman.
"Jangan ikut campur dengan urusanku!" ucapnya sambil mendorongku hingga aku yang tidak siap langsung terdorong mundur begitu saja.
Aku menatap datar Devila, "Seharusnya kau menghargai ayahmu. Dia ayah kandungmu. Tidak seharusnya kau bersikap kasar padanya."
"Kuperingatkan kau untuk tidak ikut campur urusanku! Atau kau akan menerima akibatnya!" gertak Devila yang hanya kubalas senyum sinis.
"Terserah apa katamu. Tapi ingat satu hal, jangan berlari ke arahku setelah kau kehilangan orang yang pernah kau sia-siakan." ucapku lalu pergi dari hadapan Devila.
***
Aku duduk di atas rumput sambil menatap pria di depan sana. Kenzie sedang fokus mencari ikan dengan tombak di tangannya. Bahkan aku sudah bosan melihat dia menggerutu karena sejak tadi belum mendapatkan ikan.
"Kau benar-benar tidak berbakat," ledekku.
Kenzie menatapku tajam, "Coba saja sendiri!" ucap Kenzie lalu berjalan kearahku.
Aku bangkit berdiri. Lalu tertawa kecil.
Kenzie memberikan tombak itu padaku. Kakakku ini lebih berbakat untuk memburu hewan di hutan bukan di sungai. Aku menerima tombak itu dan berjalan dengan hati-hati karena di sungai ini terdapat banyak sekali bebatuan yang licin.
Aku mencari tempat tenang yang biasanya terdapat ikan. Lalu mataku beralih menatap Kenzie yang sedang melipat kedua tangannya.
"Lihat ini," ucapku tanpa suara hanya menggerakkan bibirku yang aku tebak pasti Kenzie paham maksudku.
Aku segera menancapkan tombak itu ke sebuah lubang diantara batu besar yang ternyata terdapat ikan. Darah ikan tersebut langsung bercampur dengan air sungai. Aku menariknya cepat, tidak ingin ikan itu lepas. Lalu mengangkatnya tinggi memamerkannya kepada Kenzie.
"Ini mudah, Kak." ucapku berjalan menuju Kenzie yang berada di tepi sungai.
Kenzie menekuk wajahnya, "Kenapa kau bisa melakukannya?"
Aku menyerahkan tombak itu kepada Kenzie, "Feeling." jawabku menepuk pundak pria itu pelan hendak pergi dari sana.
Kenzie menerima tombak yang aku berikan, "Kau mau kemana?" tanya Kenzie.
Aku berbalik lalu tersenyum, "Perpustakaan. Kalau kau mencariku, aku ada disana."
Aku segera meninggalkan Kenzie disana. Dan segera menuju perpustakaan desa. Di perjalanan, aku bertemu dengan Rion lagi. Anak kecil itu menatapku lalu tertawa riang.
"Kak Lain! Kita beltemu lagi!" ucap Rion lalu berlari menuju ke arahku.
Aku berjongkok menyamakan tinggiku dengannya, "Kau sedang apa disini?" tanyaku menatap mata bulat Rion.
Rion menunjuk anak-anak kecil lainnya yang sedang bermain riang disana. Aku mengangguk mengerti. Rion sedang bermain bersama mereka.
"Kak, Lion jadi lindu kak El," ucap Rion menatap kearah mataku.
"Kak El, kakak Rion?" tanyaku memastikan.
Rion mengangguk, "Kak El suka mengajak Lion keliling desa sampai Lion bosan. Bunda tidak mau Lion ajak jalan-jalan. Lion jadi lindu Kak El." ucap bocah itu.
Aku mengacak rambut Rion lembut, "Kan ada Kakak." ucapku.
Rion menatapku berbinar, "Kak Lain mau mengajak Lion belkeliling desa sepelti yang dilakukan Kak El?" tanya Rion.
"Bukan hanya berkeliling, kakak juga akan mengajak Rion berburu, menangkap ikan di sungai, naik ke atas pohon, membuat mainan dari kertas dan lainnya." ucapku sambil meringis. Jika ibu Rion mendengar pasti kepalaku akan langsung hilang.
"Kak Lain bisa melakukan semuanya?" tanya Rion dengan mata bulatnya itu.
"Bisa, asalkan Rion senang." ucapku mencubit pipi gembul Rion.
"Tidak melepotkan kakak?" tanya Rion lagi.
Aku menggeleng lalu tersenyum, "Bukankah Rion suka merepotkan kakak?"
Rion nampak berpikir, "Iya juga. Baiklah ayo sekalang saja kita belpetualang!" ucap Rion hendak menarik tanganku.
"Tapi bukan hari ini, Rion." ucapku melepaskan tangan mungil Rion.
Rion langsung terlihat sedih, "Kenapa?" tanya Rion.
"Ada suatu hal yang harus kakak urus. Mungkin lain waktu kita bisa berpetualang seperti keinginan Rion!" ucapku lalu tersenyum.
"Kakak janji?" tanya Rion mengangkat jari kelingkingnya.
Aku langsung menautkan jari kelingking kami, "Janji!"
"Jangan lupa ya kakak! Kalau lupa Lion sedih!" ucap Rion yang membuatku tertawa.
Aku mengacak-acak rambut Rion dengan gemas. ni kali pertama aku merasa bahagia seperti mempunyai seorang adik.
Yang aku tau, aku sudah menganggap Rion seperti adikku sendiri. Aku hanya ingin membuat dia bahagia.
Jangan membuat Rion sedih jika tak ingin membuatku menangis.
_____

KAMU SEDANG MEMBACA
The Kingdom of Destiny
Fantasia[Selesai] Aku gadis dari masa depan yang terdampar di sebuah tempat dengan sistem pemerintahan berupa kerajaan. Aku menjadi rakyat biasa dan tinggal disebuah desa bersama Ibu dan kakak laki-lakiku. Kami hidup damai di desa itu. Hingga suatu ketika...