_____
Ya, pria paruh baya yang aku lihat bersama dengan Devila itu adalah paman penjaga perpustakaan. Namanya adalah paman Fedrick. Dia adalah ayah kandung dari Devila. Bagaimana aku bisa tau? Karena dia sendiri yang menceritakannya padaku.
Devila adalah anak paman Fedrick. Tetapi paman Fedrick memberikan anaknya kepada kepala desa. Karena paman Fedrick tidak bisa mengurus Devila seorang diri. Ibu dari Devila meninggal saat Devila baru berumur satu tahun.
Istri kepala desa menerima Devila sebagai anak angkatnya karena ia tidak bisa mempunyai keturunan lagi. Dengan berat hati, paman Fedrick harus mengikhlaskan anaknya bersama keluarga barunya.
"Saya ingin sekali memberikan kalung ini kepada anak saya." ucap paman Fedrick menatap kalung mediang ibu Devila yang berada di tangannya.
"Sudah berapa lama dia bersikap seperti itu kepada paman?" tanyaku pelan.
Paman Fedrick tersenyum sayu, "Sudah lama. Tetapi dia tetap anak saya. Saya tidak akan marah walaupun dia bersikap kasar kepada saya." ucapnya yang membuatku merasa kasihan.
"Paman tetap akan memberikan kalung itu padanya?" tanyaku hati-hati takut melukai perasaan paman Fedrick.
Paman Fedrick mengangguk, "Meskipun dia pasti akan tetap menolaknya."
"Bagaimana jika saya membantu paman?" aku mengutuk mulutku sendiri. Aku merasa sudah ikut campur terlalu jauh.
Paman Fedrick menatapku, "Kalau seandainya saya tidak bisa memberikannya langsung kepada Devila. Saya harap anda bisa memberikannya kepada anak saya." ucap paman Fedrick.
Aku mengangguk mengiyakan. Tidak salah kan membantu orang yang membutuhkan bantuan seperti kisah keluarga Devila ini?
"Mungkin cukup pembicaraan kita sampai disini. Saya mempercayai anda, nona Raina." ucap paman Fedrick menepuk pundakku pelan lalu tersenyum.
Ah, aku jadi teringat ayahku disana. Aku sangat merindukan sosok ayah dalam keadaan seperti ini. Devila sangat bodoh karena telah melukai perasaan ayahnya sendiri. Paman Fedrick adalah ayah yang baik meskipun kebaikannya terlihat buruk dimata anaknya sendiri.
Kepercayaan dari paman Fedrick adalah suatu kehormatan untukku. Aku harus bisa menjaga kepercayaan paman Fedrick padaku.
Karena kepercayaan itu sangat berarti untuk orang yang menaruhnya. Seperti jika kepercayaan itu salah letak, maka akan menjadi bencana.
"Terima kasih sudah mempercayai saya, paman." ucapku pelan.
Paman Fedrick segera pergi dari tempat itu. Aku menatap kepergian paman Fedrick dengan perasaan kasihan.
"Lebih baik aku pulang, pasti ibu sudah menungguku."
***
Saat aku sampai rumah, aku terkejut saat mendapati Rion dan ibunya berkunjung ke rumah. Padahal tadi kami sempat berpapasan di jalan. Dan mereka mengunjungi kediamanku.
Ibu Rion membawa beberapa makanan yang kurasa masih hangat. Melihatnya saja sudah membuatku lapar.
"Kak Lain kenapa diam aja?" tanya Rion menatapku dengan mata bulatnya yang menggemaskan.
Aku mencubit pipi gembulnya, "Kakak lapar tau!"
Rion mengusap pipinya yang kena cubitan mautku. Aku tertawa kecil, anak ini memang menggemaskan.
"Sakit, Kak! Jangan cubit pipi Lion!" ucap Rion protes.
"Rion harus belajar mengucapkan 'r' terlebih dahulu baru kakak tidak mencubit pipi Rion lagi!"
Rion hanya bisa mengerucutkan bibirnya. Yang membuatku bertambah gemas.
"Kau lapar, Rain? Bibi membuat ayam bakar, ayo dicoba!" ucap ibu Rion sambil mengambilkan nasi dan lauk untukku.
Aku tersenyum dan menerimanya dengan senang hati. Siapa yang bisa menolak makanan seenak ini?
"Kakak makan yang banyak! Bial tidak kulus keling!" ejek Rion yang membuatku membulatkan mata.
Siapa yang mengajari bocah ini?
Kecil-kecil sudah body swimming.
"Rion malahan lebih pendek dari kakak!" protesku kepada Rion.
"Lion kan masih kecil."
Pintar juga anak ini membalas ucapanku.
"Makanya cepat besar agar tidak merepotkan kakak lagi!" ucapku memeletkan lidah pada Rion.
"Tapi Lion suka melepotkan kakak!" ucap Rion menatapku sambil mengerucut sebal.
Aku terkekeh pelan, "Iya, jangan cepat tumbuh besar dulu ya. Kakak nanti kangen sama Rion kecil." ucapku menatap mata bulat Rion.
Kami berbincang sambil sesekali tertawa karena kegemasan yang dilakukan oleh Rion. Aku yang sudah selesai makan dan mencuci tangan di air mengalir dengan bambu yang di buat seperti kran. Entahlah aku tidak tahu apa namanya, itu adalah satu bentuk dari zaman kuno ini.
"Rain, kau tidak ingin bekerja di istana?" tanya Ibu Rion yang membuatku menatapnya.
"Bekerja menjadi apa?" tanyaku balik.
"Anakku bekerja disana menjadi pelayan istana." jawab ibu Rion.
"Jadi.." aku menatap Rion yang sibuk dengan pesawat kertasnya, "Rion punya kakak?"
Ibu Rion mengangguk, "Dia pulang kedesa saat mendapat waktu untuk libur meskipun itu hanya sebentar."
"Rain pasti tidak mau bekerja menjadi pelayan." itu bukan aku yang menjawab. Melainkan ibuku sendiri.
"Kau pasti tau, anak perempuanku ini tidak bisa jauh dari ibunya. Dia belum siap untuk menjadi pelayan jika dirinya sendiri belum dia urus dengan baik." ucap ibuku yang membuat ibu Rion tertawa.
"Ibu suka sekali membuka topengku." ucapku pelan.
"Bagaimana dengan anak laki-lakimu itu? Apakah dia tidak ingin menjadi prajurit istana?" tanya ibu Rion lagi.
Ibu menghela napas pelan, "Dia lebih suka berburu daripada menjadi prajurit istana." jawab ibu.
"Kau harus mencoba membujuknya, siapa tau dia mau."
"Tapi anakku itu keras kepala semua."
Aku memutar bola mata. Sudah kubilang kan jika ibu itu senang membuka aib anak-anaknya? Dan tidak peduli sekitar jika sudah bergosip. Bahkan aku merasa tidak dianggap disini.
Lebih baik aku bermain bersama Rion daripada menjadi patung diantara kedua ibu yang sedang berbincang ringan itu. Aku menghampiri Rion dan langsung terkejut.
Rion tidur sambil memegang pesawat kertasnya. Pantas saja sejak tadi anak ini diam. Ternyata keenakan tidur menuju alam mimpi.
Benar-benar membuatku tidak habis pikir. Ada saja kelakuan anak kecil bermata bulat menggemaskan ini.
_____
KAMU SEDANG MEMBACA
The Kingdom Of Destiny
Fantasy[Selesai] Aku gadis dari masa depan yang terdampar disebuah tempat dengan sistem pemerintahan berupa kerajaan. Aku menjadi rakyat biasa dan tinggal disebuah desa bersama Ibu dan Kakak laki-lakiku. Kami hidup damai di desa itu. Hingga suatu ketika t...