39

2.4K 270 9
                                    

Halooo
Masih ada yang nunggu kelanjutan cerita ini?

_____

Aku tidak banyak bicara saat Pangeran Oliver berbicara dengan Panglima Thomas yang saat ini sudah sadar. Aku menatap cemas setelah Panglima Thomas menceritakan semuanya. Ini semua salahku. Jika saja aku tidak pergi.

"Apakah kita harus kembali ke kerajaan?" tanyaku pelan.

Pangeran Oliver menatapku tajam, "Itu ide yang buruk."

"Tapi bagaimana dengan Yang Mulia Raja dan Ratu?" tanyaku menatapnya merasa bersalah.

"Mereka akan baik-baik saja." ucapnya.

"Seharusnya aku tidak pergi dari sana." ucapku.

"Pasti mereka semua dalam kesulitan karena aku. Ini semua salahku." aku menundukkan wajah merasa bersalah dengan semuanya.

Pangeran Oliver menghembuskan napas, "Berhentilah menyalahkan dirimu sendiri."

"Kau tidak mengerti.." ucapku serak.

Pangeran Oliver menepuk kepalaku pelan. Lalu tangannya turun dan mengangkat wajahku yang sudah penuh air mata. Ia mengusap air mata yang mengalir di pipiku dengan ibu jarinya.

Lalu dia tersenyum lembut, "Semua akan baik-baik saja." ucapnya lembut.

Aku menatap manik matanya, hingga aku hampir saja jatuh ke dalam pesonanya.

Pangeran Oliver yang menyadari tangannya masih berada di pipiku langsung menariknya. Dia berdehem sebentar lalu memasang wajah es batu nya lagi. Huh.

"Jadi apa yang akan Pangeran rencanakan?" tanya Panglima Thomas.

"Kita harus tetap bergerak." putus Pangeran Oliver.

Panglima Thomas bangkit dari duduknya. Sepertinya dia sudah kembali seperti semula. Dapat dilihat dari badannya yang sudah kembali bugar.

"Maaf Pangeran, tapi apakah kita harus membawa nona ini juga?" tanya Panglima Thomas sambil menatapku.

Aku balas menatapnya tajam, "Apa maksudmu Panglima?"

"Bukankah nona ditahan karena tuduhan jika nona itu penyihir?"

"Dia bukan penyihir Panglima," ucap Pangeran Oliver saat aku hendak memprotes ucapan Panglima Thomas.

Aku langsung berbalik berjalan terlebih dulu. Aku tidak peduli jika mereka tertinggal. Yang jelas aku ingin sekali pergi dari hadapan mereka. Mungkin Panglima Thomas belum tahu jika aku memiliki teman seorang penyihir yang sekarang sedang berada di dalam kalungku.

Pangeran Oliver menghembuskan napas, "Kau membuatnya marah." ucapnya yang dapat kudengar samar-samar.

Kami berjalan menyusuri hutan ini. Sepertinya kami sudah jauh dari kerajaan. Aku berhenti berjalan. Aku perlu memastikan sesuatu. Aku berbalik menghadap kebelakang.

"Oliver." panggilku kepada Pangeran Oliver.

Pangeran Oliver berhenti tepat dibelakangku sambil menatapku datar.

"Anda tidak sopan memanggil Pangeran seperti itu." ucap Panglima Thomas tajam.

Aku mendengus sebal, "Maaf. Baik, maksud saya Pangeran Oliver." ucapku.

"Aku yang menyuruhnya memanggilku dengan nama langsung," ucap Pangeran Oliver sambil menatapku.

"Nah kau dengar itu Panglima!" sewotku sambil menatap kesal kepada Panglima Thomas.

"Jadi sebenarnya tujuan kita kemana?" tanyaku mengalihkan pandangan ke arah Pangeran Oliver.

"Ke barat," jawabnya acuh dan segera bergegas melewatiku.

Aku membulatkan mulut. Dia masih sama menyebalkan. Bahkan di depan Panglima Thomas. Memang tabiatnya seperti itu. Aku harus mencoba membangun dinding kesabaran karena ada orang lain yang membuat otakku mendidih selain Pangeran Oliver.

Diperjalanan, aku berjalan paling belakang. Padahal sebelumnya aku berada paling depan. Aku malas berhadapan dengan Pangeran Oliver lagi. Jadi aku memilih mundur.

Aku menendang asal batu yang berada di depan kakiku. Dan tidak sengaja mengenai Panglima Thomas. Aku langsung meminta maaf. Bahkan Pangeran Oliver tidak menoleh sekalipun.

Entah sudah berapa lama kami berjalan. Tiba-tiba saja Pangeran Oliver berhenti berjalan dan menatap lurus ke depan. Aku segera melongokkan kepalaku. Sekarang apa lagi yang dia lihat.

Aku membulatkan mata. Jurang?

Aku mendekat ke jurang itu. Ah, aku jadi mengingat Ellie.

"Apakah kita akan memutar mencari jalan lain?" tanyaku.

"Setau saya disekitar jurang itu ada jembatan penghubung." ucap Panglima Thomas.

"Disebelah sana." tunjukku ke arah jembatan.

Aku segera berlari menuju jembatan itu. Tetapi sesampainya di depan jembatan, aku terdiam kaku.

Jembatan ini sudah mulai rusak. Dapat dilihat dari kayu-kayunya yang mulai lapuk dan keropos. Bahkan ada yang sudah hilang. Kami akan melewati ini?

"Jembatan ini sudah lama tidak digunakan," ucap Panglima Thomas lalu tatapannya beralih ke Pangeran Oliver, "Kalau Pangeran mengizinkan, saya yang akan berjalan terlebih dulu." ucapnya.

"Baiklah Panglima." ucap Pangeran Oliver, lalu tatapannya beralih ke arahku, "Kau tetap dibelakangku." ucapnya tegas.

Panglima Thomas memulai dengan langkah pertamanya. Kami mengikuti dari belakang. Aku melihat takut-takut kebawah sana. Sedangkan Pangeran Oliver masih memasang wajah es-nya itu.

Aku refleks memegang jubah belakang Pangeran Oliver saat tidak sengaja menginjak kayu yang keropos. Kayu itu langsung jatuh ke bawah.

Gelap.

Aku tidak tau ada apa dibawah sana. Dan tidak mau tau.

"Jangan lihat kebawah." ucap Pangeran Oliver.

Aku langsung menatap punggung tegapnya. Bahkan disaat seperti ini, dia masih tetap terlihat tenang.

Tetapi aku tetap keras kepala. Aku melihat kebawah lagi. Hingga sadar jika Pangeran Oliver sudah tidak di depanku. Aku membulatkan mata saat menyadari aku sekarang berada di tengah-tengah jembatan.

Sedangkan Panglima Thomas sudah sampai di ujung. Pangeran Oliver sedikit lagi sudah hampir mencapai ujung aku segera memanggilnya.

"Oliver!" panggilku.

Pangeran Oliver yang sudah sampai di ujung langsung menoleh ke arahku. Ia hendak kembali ke padaku. Tetapi papan kayu yang hendak dia pijaki jatuh ke bawah.

Kami terpisah jauh.

Aku memegang tali jembatan dengan kuat. Bagaimana jika aku jatuh? Aku menatap kebawah dengan gugup.

"Jangan melihat kebawah.." ucap Pangeran Oliver.

"Aku tidak bisa! Aku panik tau!" ucapku sewot.

Pangeran Oliver mengulurkan tangannya, "Berjalanlah kemari. Aku akan memegangmu." ucapnya.

"Jujur.. aku sedikit takut." cicitku. Aku tidak ingin mati untuk kedua kalinya.

"Lawan ketakutan itu. Aku selalu bersamamu." ucapnya masih terus mengulurkan tangannya padaku, padahal jarak kami masih lumayan jauh.

Aku menutup mata, lalu membukanya lagi. Lalu aku mulai melangkah lagi. Sambil sesekali melihat kayu yang berlubang agar aku tidak jatuh kebawahnya. Aku hampir menangis saat kayu yang aku pijaki bolong. Tetapi Pangeran Oliver masih menungguku di ujung sana. Aku melangkahi beberapa kayu yang bolong dan segera berjalan pelan untuk sampai keujung.

Hap

Sesaat setelah aku menerima uluran tangannya, aku telah berada di pelukan Pangeran Oliver. Ia mengusap rambutku lembut.

Aku sampai tertegun sesaat karena mendengar suara detak jantungnya yang seirama dengan detak jantungku. Aku mendongak, menatap Pangeran Oliver yang memelukku kencang.

"Lain kali jangan jauh-jauh dariku." ucapnya.

Aku tersenyum membalas pelukannya. Terima kasih Pangeran Oliver. Kau menyelamatkan hidupku lagi.

_____

The Kingdom Of DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang