#31: Penolakan Keras

23.8K 1.3K 73
                                    

Yuda mulai memaksa tubuhnya untuk bergerak setelah beberapa jam lamanya dia hanya bisa terbaring tak berdaya. Namun, rasa sakit di sekujur tubuhnya—terutama di bagian perut—membuat Yuda dilanda rasa nyeri tak berkesudahan. Karena di bagian perut itulah kakaknya paling banyak memberinya pukulan.

Waktu sudah beranjak semakin malam, sementara mata Yuda tak dibiarkannya terpejam barang semenit pun. Karena Yuda justru sudah menunggu saat ini. Saat di mana semua lampu ruangan telah dimatikan, dan suasana begitu hening. Yuda tahu, keberadaannya yang dirawat di ruangan kelas tiga ini, membuatnya jadi tidak boleh menimbulkan banyak suara. Di kanan kirinya yang hanya dibatasi oleh tirai kain, pastilah ada orang-orang yang sedang terlelap.

Entah sengaja atau memang kamar lainnya sudah penuh, pemilihan ruangan di kelas tiga dari Wahyu ini benar-benar membuat Yuda paham, kalau kakak laki-lakinya itu memang tidak ingin membuat Yuda mendapat perlakuan khusus apa pun, padahal jelas Yuda akan sangat mampu membayar biaya rawat inap sekelas VVIP sekalipun.

Sekarang, Yuda sengaja menunggu sampai semuanya sudah setenang ini. Meski sempat mengeluarkan rintihan pelan karena tubuhnya masih begitu kesakitan, tapi Yuda memaksa kakinya untuk turun dari ranjang. Selang infus yang menempel di tangannya ia cabut dengan paksa. Dia tak punya waktu untuk menyeret infus yang sudah pasti akan menimbulkan suara berisik, sedangkan Yuda butuh kesunyian untuk mengendap-endap.

Ya, Yuda memang akan mengendap-endap untuk datang ke ruang ICU. Dia teramat ingin melihat sendiri bagaimana keadaan mamanya sekarang. Tentu saja Yuda melakukan ini bukan tanpa alasan. Menurut perkiraannya, yang sedang menunggui mamanya sekarang adalah Ratih. Wahyu pasti sudah pulang ke rumah dan akan datang keesokan paginya. Dan meski Ratih tidak akan menghajarnya seperti yang Wahyu lakukan, namun Yuda sadar kalau Ratih pasti juga akan melarangnya menjenguk mamanya, sehingga Yuda harus menunggu sampai Ratih terlelap lebih dulu.

Setelah berhasil melewati koridor rumah sakit yang sunyi untuk menuju ke ruang ICU, Yuda menghirup dan membuang napasnya berkali-kali. Ini kesempatan besar yang Yuda dapatkan untuk mengetahui seperti apa kondisi mamanya sekarang. Jadi dia tidak akan mengacau.

Dengan gerakan perlahan, Yuda berusaha membuka gagang pintu depan. Namun, begitu terbuka, rupanya masih ada pintu lain yang menghubungkannya ke ruang ICU. Yuda tidak perlu menerka-nerka lagi, karena dari sini dia bisa melihatnya dengan jelas bahwa di ruangan ICU yang sepenuhnya dikelilingi oleh dinding kaca, Yuda bisa melihatnya bahwa tidak ada siapa pun di sana.

"Selamat malam, Bapak?" Tiba-tiba suara seseorang di belakangnya mengejutkan Yuda sampai membuat tubuhnya berjengit kaget.

Kebetulan sekali. "Pasien yang dirawat di sini ke mana ya, Sus?" tanya Yuda langsung pada perawat perempuan yang menyapanya tadi.

"Sudah dipindahkan ke ruang perawatan, Pak." Arah tatapan perawat itu entah kenapa malah tertuju ke bawah. "Mohon maaf, Bapak, tangan Bapak sepertinya berdarah, saya tadi melihat banyak noda darah di lantai sehingga saya mengikuti ke sini, dan ternyata itu berasal dari tangan Bapak."

Yuda refleks melihat tangannya sendiri. Rupanya benar, bekas infus yang dicabutnya secara paksa membuat darahnya mengucur mengotori lantai.

"Bapak silakan ikut saya untuk menghentikan pendarahannya."

Awalnya Yuda tidak mau ambil pusing, tapi darah yang menetes dari tangannya sepertinya tidak mau berhenti. Terus menetes-netes ke lantai dan meninggalkan bercak kemerahan. Akhirnya Yuda pun memilih untuk mengikuti perawat tersebut.

Rupanya tak lama, setelah Yuda digiring ke nurse station terdekat, penanganan yang dilakukan terbilang cepat dan tangannya sudah tidak mengucurkan darah lagi.

"Boleh tolong sebutkan nama dan tanggal lahir Bapak?"

Yuda mendengus pelan, mulai lagi. "Saya perlu menjenguk seseorang, Sus."

Harga Untuk LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang