Yuda akhirnya sampai ke bandara setelah satu jam setengah perjalanan dari apartemen Amanda. Napasnya terengah, ditambah kepalanya yang mendadak pusing.
Setelah berhasil mengakses jalan menuju Terminal 3 dan memarkirkan mobil, Yuda buru-buru menyeret kakinya untuk melewati pintu masuk bandara. Tatapannya mulai bergerak tak tentu arah mencari wajah-wajah yang dikenalnya.
Mengetahui pencariannya tidak akan semudah itu, Yuda pun memutuskan untuk menghampiri papan informasi/FIDS yang paling dekat dari tempat berdirinya sekarang. Lantas memelototi informasi keberangkatan pesawat yang akan menuju Inggris.
Rupanya, waktu boarding yang tertera di papan display masih cukup lama, sekitar pukul tujuh malam, sementara sekarang masih tengah hari. Yuda berusaha merogoh ponselnya untuk menghubungi Amanda. Tangannya entah kenapa jadi gemetaran. Yuda tidak tahu lagi mana yang lebih mengacaukan deru napasnya. Apakah menyadari Amanda akan pergi meninggalkannya lagi? Ataukah bahwa sebentar lagi semua orang akan tahu perselingkuhannya dengan Amanda.
Namun, berapa kali pun Yuda menghubungi ponsel Amanda, sama sekali tidak ada tanda-tanda akan tersambung. Mungkin saja Amanda mematikan ponselnya. Entahlah, yang jelas Yuda perlu mencari keberadaan Amanda sekarang juga.
Dijelajahinya lantai demi lantai, ruangan demi ruangan untuk menemukan keberadaan Amanda. Yuda tidak akan menyerah, setidaknya sampai dirinya berhasil menemukan Amanda.
***
Maya berusaha mengontrol perasaannya yang mendadak tidak karuan saat menunggui petugas medis menangani kondisi mama mertuanya. Setidaknya, Maya masih sanggup untuk duduk di kursi panjang yang disediakan rumah sakit. Sementara Ratih tidak bisa melakukan itu. Kakak iparnya itu tidak bisa mengatur perasaannya, dan lebih memilih untuk bolak-balik di depan ruangan di mana mamanya sedang ditangani dokter.
Maya sadar kalau perkataan apa pun tidak akan membuahkan hasil melegakan, jadi Maya memilih untuk menekuri lantai dan berdoa dalam hati untuk keselamatan mama mertuanya.
Kira-kira lima menit kemudian, tiba-tiba saja, kegelisahan Maya saat menunggu hasil pemeriksaan dokter harus dikejutkan oleh suara getaran ponsel yang tersimpan di dompetnya. Maya tidak tahu siapa yang meneleponnya. Tapi demi meredakan rasa gelisah karena mendengar suara getaran yang terdengar jelas di keheningan sepanjang koridor, Maya pun memilih untuk mengeluarkan ponselnya dari dalam dompet. Kemudian sinar matanya langsung meredup, karena di layar ponselnya tertulis ibunya yang sedang memanggil.
"Assalamualaikum, Bu," lirih Maya menyapa ibunya, setelah sebelumnya lebih dulu mendekatkan ponsel ke daun telinganya.
"Waalaikumsalam, May. Ibu lagi penasaran sama keadaan kamu nih. Soalnya kemarin kan kita baru balik liburan, dan tadi pagi kaki Ibu berasa banget pegel-pegelnya. Kamu sama kayak Ibu gitu nggak, May?"
Entah kenapa, mendadak dari dalam dadanya, ada rasa hangat yang melingkupi dadanya dan berusaha menyeruak keluar menuju tenggorokan, sehingga memaksa matanya jadi berkaca-kaca. Mendengar suara ibunya yang masih sangat riang itu justru menimbulkan kegetiran yang membuat Maya tak bisa menahan perasaan sesaknya. Jika saja ibunya tahu soal apa yang terjadi pada rumah tangganya, apakah keadaan ibunya akan tetap baik-baik saja seperti ini?
Saat Maya akan membuka mulut untuk mengeluarkan sebuah suara, getaran aneh dari dalam dadanya membuat suaranya jadi tertahan di tenggorokan.
"Maya?" panggil Bu Rini yang tak mendapat respon suara apa pun dari anaknya.
Maya serta merta berdehem. "Ma-af, Bu." Ternyata suara yang keluar dari dalam tenggorokannya tetap saja bergetar.
"Lho, kamu kenapa? Kok suaranya aneh gitu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Harga Untuk Luka
RomanceMaya pikir, pernikahannya dengan Yuda yang diawali lewat perjodohan dari orang tuanya telah memberikan kebahagiaan sejati. Karena Maya benar-benar telah mencintai suaminya sepenuh hati. Namun pemikirannya itu langsung terpatahkan saat Maya mendapati...