"Luna cuma lagi mikir kalau seandainya Luna juga punya Bunda kayak Hawa sama Akbar, sama dedek bayi yang ada di perut Tante Maya."
Awalnya Maya masih bisa mendengarkan ucapan gadis cilik yang bernama Luna itu dengan pandangan datar. Sama sekali tidak menghubungkannya dengan apa pun.
"Sebenernya ... Luna seneng banget kok tinggal di sini. Punya banyak temen, punya banyak Bunda yang selalu nemenin Luna. Tapi ... coba aja Luna punya satu Bunda yang bener-bener sayang sama Luna, dan cuma buat Luna aja."
Barulah saat gadis cilik itu mengatakan kalimat terakhirnya, ada desiran aneh yang tiba-tiba menelusup hatinya, seolah memaksa Maya untuk menghubungkan perkataan Luna tadi dengan kandungannya yang sekarang.
'...coba aja Luna punya satu Bunda yang bener-bener sayang sama Luna, dan cuma buat Luna aja.'
Kata-kata itu entah kenapa terus berdengung memenuhi pikirannya. Namun dengan penafsiran yang berbeda dari kata-kata Luna sebelumnya. Satu Bunda yang bener-bener sayang, dan cuma buat dirinya saja, begitulah yang ada di pikiran Maya.
"Soalnya semua Bunda yang ada di sini, nggak boleh dimiliki sama satu anak aja."
Kata-kata Luna tak sepenuhnya masuk ke telinga Maya secara lengkap. Karena Maya hanya terfokus pada apa yang benar-benar mengusiknya saja.
Nggak boleh dimiliki sama orang lain, begitulah yang Maya dengar.
Entah kenapa, kata-kata Luna itu jadi membentuk sebuah rangkaian bermakna khusus yang langsung menggerakkan tekadnya. Satu Bunda yang bener-bener sayang, dan cuma buat dirinya saja, dan nggak boleh dimiliki sama orang lain.
Ketika kalimat itu akhirnya berhasil terangkai secara utuh, Maya langsung mengentakkan hatinya yang sejak tadi masih dipenuhi kebimbangan, lantas secepat gerakan yang ia bisa, Maya langsung meninggalkan ruangan bermain itu untuk membuat satu keputusan penting.
Keputusan yang akan melibatkan kehidupannya juga kehidupan sang jabang bayi ke depannya nanti.
***
Kepala Yuda masih berdenyut meninggalkan rasa nyeri yang menyebabkan jemarinya terus saja mengurut keningnya tanpa henti. Meski tahu itu tak membuat sakit kepalanya mereda, tapi setidaknya hanya itu yang bisa ia lakukan sekarang.
Kemarin, saat akhirnya Yuda mengetahui bahwa Maya hamil, seketika saja kekuatan di tubuhnya menghilang entah kemana, dan dirinya sampai merasa kesulitan untuk bernapas. Sementara Amanda yang tahu lebih dulu perihal kehamilan Maya, langsung mengucurkan air mata tanpa henti. Seolah tahu ada ganjalan sebesar gunung yang membuat hubungan mereka akan semakin sulit diperjuangkan.
Setelah Amanda menangis selama hampir setengah jam lamanya, akhirnya perempuan itu memutuskan untuk keluar dari rumah Yuda. Melihat Amanda meninggalkannya, Yuda tentu saja langsung memaksa tubuhnya untuk bereaksi, mengejar Amanda yang tertatih-tatih berjalan keluar. Sampai akhirnya Yuda berhasil mengejar perempuan yang dicintainya itu sebelum melewati pintu gerbang rumahnya.
"Tolong jangan pergi," pinta Yuda dengan suara serak, satu tangannya berhasil meraih pergelangan tangan Amanda.
Namun Amanda langsung menepisnya. Sebelum bicara, ia mengusap air matanya lebih dulu. "Buat apa lagi? Kita berdua udah nggak mungkin lagi bersama. Kamu sudah punya istri, dan istri kamu sedang mengandung anak kamu. Sebentar lagi kamu akan menjadi Ayah. Jadi nggak ada sedikitpun tempat buatku masuk ke dalam hubungan kamu itu."
"Tolong ... beri saya kesempatan," pinta Yuda penuh harap. Bukan hanya suaranya yang serak, tapi matanya juga sudah memerah. Langkah Amanda yang akan melewati gerbang rumahnya sengaja Yuda hadang agar perempuan itu tidak bisa kemana-mana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Harga Untuk Luka
RomanceMaya pikir, pernikahannya dengan Yuda yang diawali lewat perjodohan dari orang tuanya telah memberikan kebahagiaan sejati. Karena Maya benar-benar telah mencintai suaminya sepenuh hati. Namun pemikirannya itu langsung terpatahkan saat Maya mendapati...