#34: Sudah Bukan Apa-apa

19.5K 1.2K 115
                                    

Besok pagi, jadwal sidang pertamanya akan digelar. Yuda sudah berusaha keras untuk menepis semua bayangan soal kebersamaannya dengan Maya sewaktu semuanya masih baik-baik saja. Yuda tahu, dia tak punya hak sedikitpun untuk mempersulit proses perceraian itu, terlebih Yuda juga sudah membuat janji hitam di atas putih bahwa dirinya akan bekerja sama dengan Maya, agar putusan perceraian itu bisa secepat mungkin dilayangkan hakim.

Yuda sudah meyakinkan diri kalau semua ini adalah jalan yang harus ditempuhnya. Jalan yang harus dilaluinya dengan sepenuh penyesalan yang dimilikinya. Namun betapa pun Yuda sudah berusaha keras dan menganggap bahwa inilah buah dari apa yang telah ditanamnya, tetap saja Yuda merasa tak rela.

Apakah artinya Yuda ingin kembali pada Maya? Jika dia diperbolehkan untuk memutar waktu, tentu saja jawabannya iya. Seharusnya dari awal, dia tidak perlu larut dalam kisah masa lalunya dengan Amanda. Toh pada akhirnya saat ini pun, Amanda sudah tidak bersamanya lagi—sudah meninggalkannya.

Mengingat soal itu, kali ini Yuda jadi mengerti. Sudah satu bulan berlalu sejak Amanda meninggalkannya sendirian. Yuda pikir, itu pasti adalah saat-saat terburuk. Saat-saat yang akan membuat Yuda berpikir bahwa hidupnya tidak akan ada artinya lagi jika tetap dilanjutkan, saat di mana Yuda akan lebih memilih mati dibanding harus merasakan derita kehilangan Amanda.

Namun, apa yang terjadi padanya sekarang? Bahkan, baru kali ini Yuda kembali mengingat soal Amanda yang sudah meninggalkannya. Dan sudah satu bulan dia bisa melanjutkan hidup tanpa bayang-bayang dari Amanda. Padahal Yuda pikir, dia pasti akan menderita dua kali lipat lebih parah dibanding saat Amanda meninggalkannya pertama kali.

Tapi, apa kenyataannya sekarang? Memang benar, Yuda memang sedang menderita. Hatinya menjerit keras dipenuhi luka menganga yang tak tahu bagaimana cara menyembuhkannya. Tapi itu bukan karena Amanda. Sama sekali bukan. Tapi karena penyesalan Yuda yang sudah membuat mamanya kecewa dan tersakiti dan terluka. Selebihnya, adalah penyesalan Yuda yang sudah melukai Maya. Jika saja dia memiliki kesempatan untuk meperbaiki semuanya bersama Maya, dan membuat mamanya tidak perlu membencinya seperti ini, Yuda pasti akan berjuang keras untuk mengambil kesempatan itu.

Tapi selayaknya kertas putih yang telah dinodai tinta hitam. Selamanya tidak akan pernah lagi menjadi putih.

Ting tong!

Yuda terkesiap. Sepulang kerja ini Yuda memang tidak menatap rumah mamanya dari kejauhan. Karena pikiran soal besok pagi—soal sidang perdana perceraiannya dengan Maya—membuat Yuda tak bisa merasa tenang. Hingga langsung kembali ke rumah adalah pilihan terbaik yang bisa diambilnya. Yuda bisa menatap langit-langit kamar dan memutar ulang semua kejadian saat Maya masih tinggal bersamanya.

Namun suara bel rumahnya yang tiba-tiba berbunyi itu, yang langsung menyadarkan Yuda pada kenyataan—setelah sempat berfantasi liar sewaktu Maya masih bersamanya—membuat Yuda jadi menerka-nerka siapa gerangan orang yang datang ke rumahnya ini?

Yuda sama sekali tidak memiliki gambaran apa pun, perihal orang yang berada di luar pintu sana. Karena Yuda sedang sangat dibenci dan dijauhi seluruh keluarga besarnya, jadi mereka tidak mungkin datang berkunjung, Amanda juga sudah kembali dan meninggalkannya, sementara Yuda tidak memiliki satu sahabat pun, selain hanya rekan kerja yang sudah dipercayainya dan tidak akan mungkin datang berkunjung ke rumahnya ini.

Lantas, siapa orang yang datang berkunjung?

Mengingat tidak ada gunanya menerka-nerka, Yuda memutuskan untuk segera membuka pintu. Dan seketika saja darahnya berdesir hebat. Sorot matanya tak bisa lepas menatap sosok orang yang berdiri di depannya dengan pandangan tajam. Sosok orang yang selama beberapa hari terakhir ini—sejak Yuda menerima surat panggilan sidang—selalu memenuhi pikirannya tanpa henti. Sosok orang yang sudah menjadi mantan istri. Sosok orang yang bernama Maya.

Harga Untuk LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang