#44: Sekadar Saran

13.1K 1.3K 86
                                    

"Assalamualaikum," ucap Riska saat sepasang mata layu milik Yuda sedang tertuju ke arahnya. 

Yuda menggerakkan bibirnya tanpa suara. Mungkin sedang menjawab salam Riska, mungkin juga tidak—entahlah.

"Saya mohon maaf baru bisa datang menjenguk sekarang," kata Riska berbasa-basi. Riska lantas memutuskan untuk duduk di kursi penunggu. Suaminya ikut duduk di sofa—memainkan ponsel. Sementara Tante Dewi ijin keluar untuk pergi ke toilet—padahal di ruangan kelas VVIP ini jelas tersedia toilet. Sepertinya Tante Dewi sengaja ingin memberikan privasi untuk Riska yang sebelumnya sempat meminta ijin pada Tante Dewi untuk berbicara dengan Yuda.

"Saya tahu dari Tante Rini, kalau Maya habis dari sini," Riska bersuara lagi, meski kata-kata sebelumnya tidak mendapat respon apa pun dari Yuda. Yuda memang menatapnya, tapi memutuskan untuk mengunci mulutnya rapat-rapat. 

"Sebenarnya ... ada yang ingin saya bicarakan pada Anda, soal alasan Maya jadi sosok sekeras dan setegas ini." Riska memberi jeda sebentar. "Sepertinya, kedatangan Maya ke sini pun sama sekali tidak mengubah kekerasan di hati Maya itu ya."

"Kalau kedatangan Anda hanya ingin mengolok-olok saya, silakan pergi dan keluar dari ruangan ini!" Akhirnya Yuda bersuara. Meskipun wajahnya masih tanpa ekspresi, tapi suaranya berat dan tajam. 

Riska membuang napas panjang. "Saya tidak sedang mengolok-olok Anda. Justru saya ingin memberitahu Anda alasan Maya sampai bersikap seperti itu." 

Kemudian, mengalirlah cerita Riska ketika dia dan Maya masih sama-sama berstatus sebagai pelajar SMA. Bahwa Maya telah diselingkuhi oleh pacarnya waktu itu, dan rupanya hal itu memberikan pukulan telak bagi Maya, sampai Maya berjanji untuk tidak akan pernah lagi memberikan kesempatan kedua bagi siapa pun yang sudah menyelingkuhinya—mengkhianatinya. (Jika tertarik untuk membaca cerita lengkapnya, silakan baca di bab terpisah yakni berjudul Harga untuk Luka Bab 0 di mana awal mula Maya memiliki karakter keras kepala akan diceritakan secara lengkap di Bab 0 ini).

"Sejak saat itulah Maya menjadi orang yang berbeda, meski dari luar kelihatannya sama saja. Karena yang berbeda dari Maya hanyalah sikapnya saat diselingkuhi. Maya benar-benar telah mempercayakan sepenuhnya saat dia bilang bahwa tidak ada kesempatan kedua untuk seorang pengkhianat."

Riska sesekali melirik ke arah Yuda untuk melihat reaksi Yuda, meski kebanyakan tatapan Riska justru tertuju ke dinding putih maupun benda-benda yang terjangkau oleh matanya.

Yuda rupanya mendengarkan dengan saksama. Syukurlah.

"Maya tidak mengalami trauma apa pun dalam hal percintaan, karena bagi Maya, dia merasa tidak ada yang salah dari jatuh cinta dan mencintai, yang salah sepenuhnya adalah ketika cintanya dikhianati. Dan selagi pacar-pacar Maya tidak menyelingkuhinya, hubungan Maya dengan pacarnya akan selalu baik-baik saja. Termasuk juga dengan Anda, jika Anda tidak pernah selingkuh dengan mantan pacar Anda waktu itu, rumah tangga Anda pasti akan baik-baik saja, karena saya tahu persis betapa Maya sangat mencintai Anda sepenuh hatinya."

Yuda langsung memberikan ekspresi murung, penuh rasa bersalah, penuh penyesalan, dan betapa dia ingin mengulang semuanya dari awal—seandainya saja masih bisa. 

"Tapi semuanya sudah terlambat, dan Maya sudah mengecap Anda sebagai laki-laki penyelingkuh." Riska sengaja memberikan penekanan pada kalimatnya, untuk menegaskan bahwa awal mula sikap Maya memang berasal dari perselingkuhan Yuda.

Yuda tidak bisa membantah. Hatinya selalu saja bergemuruh sejak saat dia sadar bahwa Maya adalah satu-satunya wanita yang dia cintai. Yang dia dambakan untuk hidup bersamanya hingga akhir hayatnya nanti. Kalau saja saat ini dia sendirian, dia pasti sudah mengucurkan tangis penyesalan untuk sedikit meredamkan gemuruh dalam dadanya.

Harga Untuk LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang