Maya refleks berdiri, raut wajahnya memancarkan kekagetan sekaligus kebingungan yang teramat kentara menyadari kedua orang tuanya telah berdiri di sana tanpa dia sadari.
"Maya? Apa maksudnya dengan rumah tangga kamu sudah hancur?" Bu Rini bersuara untuk kedua kalinya setelah pertanyaan pertamanya tadi tidak mendapat tanggapan apa pun.
Maya bisa melihat wajah kedua orang tuanya yang pucat, kini dipenuhi luka dan kesedihan yang membuat Maya jadi tak kuasa untuk menghentikan tangis.
"Itu semua nggak bener kan, May?" Kepala Bu Rini menggeleng mengutarakan penyangkalan. "Yuda nggak mungkin selingkuh dari kamu kan?"
Maya tidak bisa berkata apa-apa. Semuanya, rupanya ibunya—dan yang pasti ayahnya—telah mendengar semuanya secara lengkap. Mereka sudah ada di sana di saat Ratih menceritakan semua kebusukan laki-laki bajingan itu pada Wahyu.
Perhatian Maya yang sejak tadi tertuju sepenuhnya pada ibunya mendadak jadi berganti saat ibunya refleks memegangi tubuh ayahnya yang mendadak limbung.
"Ayah!" Maya berseru. Berlari mendekat dengan ekspresi luar biasa cemas.
Meski tidak ikut mendekat seperti Maya, tapi Ratih dan Wahyu yang mengetahui kondisi ayah Maya yang syok dengan kabar yang didengarnya, langsung refleks berdiri.
"Ayah nggak apa-apa, Ayah nggak apa-apa," ujar ayah Maya kembali menguasai diri sekaligus ingin menenangkan Maya dan ibu Maya yang memancarkan kekhawatiran berlebih. "Daripada itu, apa benar semua yang kami dengar itu, Maya? Yuda sudah mengkhianati kamu demi perempuan lain? Dan kalian sudah bercerai secara agama?"
Maya tidak tahu bagaimana harus menempatkan dirinya sekarang, apakah terang-terangan mengiyakan semua perkataan Ratih yang didengar kedua orang tuanya atau malah mengelaknya? Maya hanya takut kalau sesuatu yang buruk juga akan terjadi pada ayahnya setelah Maya mengonfirmasi bahwa semuanya memang benar terjadi.
Ternyata, Maya lebih memilih untuk menangis. Rasa sakit yang didapatnya saat mantan suami bajingannya itu menyakitinya, sama sekali tidak ada apa-apanya dibanding jika Maya harus menyaksikan ayahnya sakit.
Mengetahui anak semata wayangnya itu menangis, ibunya merasa tak tahan lagi hingga isakan pelan meluncur dari mulutnya. "Kenapa kamu nggak pernah cerita sama kami?" Suara Bu Rini memercikan kepedihan yang menyayat hati. "Kenapa kamu harus menanggung semua itu seorang diri? Memangnya buat apa kami bahagia jika anak kami sendiri sedang terluka?"
Tanpa pernah Maya harapkan seumur hidupnya, dia melihat sendiri bagaimana saat mata ayahnya berubah merah, lantas berkaca-kaca.
"Aku cuma nggak mau ngerusak kebahagiaan Ibu sama Ayah dengan kabar menyakitkan seperti ini," kata Maya parau, arah matanya bergerak menatap ayah dan ibunya bergantian, sesekali jemarinya mengusap butiran air bening yang membasahi pipinya.
Dibanding membalas ucapan Maya, ibunya ternyata lebih memilih untuk menarik tubuh anaknya itu ke dalam dekapannya. "Justru itu," ibunya berkata. "Justru kami nggak pernah menginginkan kebahagiaan yang dibangun di atas penderitaan kamu."
Maya bisa merasakan jemari ibunya mengusap lembut kepalanya. Dan entah semenyakitkan apa pun hal yang dialaminya sekarang, Maya merasa kehangatan tubuh ibunya yang memeluknya seperti ini, seolah menjadi obat yang Maya butuhkan. Seolah ibunya ingin mengatakan bahwa tempat terbaik untuk memenangkan semua kesedihan adalah berada dalam dekapannya.
"Jangan pernah mencoba menukar kesedihanmu dengan senyuman di wajah kami. Seberapa pun kecilnya kesedihan yang kamu rasakan, kamu tetap memiliki hak untuk berduka, untuk menangis, bukan malah bersikeras memaksakan senyum demi bisa menyembunyikan kesedihanmu itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Harga Untuk Luka
RomanceMaya pikir, pernikahannya dengan Yuda yang diawali lewat perjodohan dari orang tuanya telah memberikan kebahagiaan sejati. Karena Maya benar-benar telah mencintai suaminya sepenuh hati. Namun pemikirannya itu langsung terpatahkan saat Maya mendapati...