#37: Waktu Untuk Menyesal

18.8K 1.1K 202
                                    

Yuda langsung kembali ke Indonesia setelah berhasil memuntahkan seluruh isi hatinya pada Amanda. Dia tak punya waktu untuk berhenti sejenak dari perjalanan panjang yang telah dilakukan sebelumnya. Yang Yuda pikirkan hanyalah satu hal. Bahwa dia ingin secepatnya kembali ke Indonesia pada penerbangan pertama, entah harus transit di negara mana pun. Yuda hanya ingin segera pulang. Ingin secepatnya melesat ke sana dan menemui Maya untuk meminta maaf dengan sebenar-benarnya.

Yuda sudah sepenuhnya menyadari kesalahan apa yang diperbuatnya sehingga membentuk Maya menjadi pribadi yang sangat jauh berbeda dengan Maya yang dulu. Meski semuanya sudah terlambat, tapi Yuda tak peduli. Dia tetap ingin bertemu Maya dan meminta maaf secara langsung.

Hari sudah berganti selama dua kali saat akhirnya Yuda kembali menginjakkan kakinya di negara ini lagi. Wajahnya pucat dan pakaiannya kusut masai. Dia langsung menaiki taksi dan meminta untuk diantar ke rumah orang tua Maya yang jaraknya sekitar 45 km dari Bandara Soekarno Hatta, dan setengah memaksa pada sang sopir taksi untuk memilih rute tercepat yang bisa dilaluinya.

Saat akhirnya taksi yang ditumpangi Yuda berhasil membawanya dengan selamat—karena sebelumnya Yuda meminta untuk menaikkan batas kecepatan dengan sorot mata tajam, memerah dan penuh dengan kantung hitam hingga menampilkan sosok yang memprihatinkan sekaligus menakutkan, akhirnya sang sopir bersedia menurut dan menambah kecepatannya sampai berada di atas kecepatan normal.

Yuda memberikan beberapa lembar rupiah berwarna merah yang sempat ditariknya sebelum meninggalkan bandara pada sang sopir taksi yang sempat 'diancamnya' tadi. Hingga setelah memastikan dirinya sudah berada di depan gerbang rumah orang tua Maya yang asri—halamannya penuh dengan tanaman hijau yang dirawat oleh si pemilik rumah hingga menampilkan suasana yang adem—Yuda tidak serta merta merogohkan tangannya untuk membuka gerbang yang tidak digembok—hanya dikunci gerendel. Dia justru menatap ke atas langit yang masih cukup terang dan menyadari bahwa kemungkinan besar Maya masih belum pulang dari kantor.

Entah berapa menit atau mungkin berapa jam kemudian, saat Yuda yang sejak tadi masih berada di sekitaran gerbang rumah orang tua Maya, mendadak memosisikan tubuhnya dengan tegak dan matanya awas menatap mobil yang berhenti tepat di pinggir jalan di depan rumah. Mendadak udara yang dihirupnya menjadi tipis. Apalagi saat melihat seorang perempuan yang sangat dirindukannya itu keluar dari mobil dan menatapnya dengan sorot dingin.

Hanya sekian detik, karena rupanya Maya lebih memilih untuk mengabaikan kehadiran Yuda dan berjalan mendekati gerbang rumahnya untuk bergegas masuk.

"Saya ingin meminta maaf," kata Yuda yang secepatnya sudah memposisikan dirinya di depan gerbang, seolah mencegah Maya agar tidak masuk ke dalam dan meninggalkannya sendirian.

"Minggir!" perintak Maya setengah membentak.

"Saya tahu apa yang sudah saya perbuat sama kamu adalah kesalahan besar yang tak termaafkan. Tapi saya benar-benar menyesal. Saya menyesal sudah menyakiti kamu, Maya."

Sama seperti saat Yuda tak sengaja menyentuh tangan Maya beberapa waktu yang lalu, kali ini ekspresi Maya pun sama menusuknya ketika Yuda menyebutkan nama Maya di akhir penyesalan yang baru saja dikatakannya.

"Saya tidak peduli apa pun yang mau Anda katakan, tapi jangan pernah sekalipun menyebut nama saya dengan mulut busuk Anda itu."

Biasanya, Yuda akan gentar mendapat tatapan menusuk dari Maya, dan akan langsung kehilangan nyali untuk mengatakan kata apa pun lagi, tapi kali ini, sorot mata Yuda mengisyaratkan bentuk keteguhan dalam menyesali perbuatannya yang tidak akan ciut hanya karena diberi bentakan dan tatapan membunuh dari Maya.

"Ini mungkin terdengar mengada-ada, tapi saya akan tetap mengatakannya sama kamu, kalau semua bentuk ucapan yang pernah saya katakan sama kamu dulu, semuanya akan saya tarik lagi. Karena saat itu, saya benar-benar sedang dibutakan oleh cinta di masa lalu saya. Saya buta dan bodoh. Tapi saat ini saya—"

Harga Untuk LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang