Tidak ada seorang pun yang protes. Entah itu ibunya ataupun ayahnya.
Ketika Maya mulai mengeluarkan semua barang dan paketan yang masih belum dia buka, kemudian memasukkannya ke kantong hitam besar, lantas menaruhnya di sekitar pagar rumahnya yang biasa diletakkan kantung-kantung sampah sebelum diambil oleh petugas kebersihan komplek, dengan diberi tulisan besar-besar, 'Tolong angkut semua sampah ini, dan jangan menyisakan apa pun. Terima kasih'.
Baik ayah dan ibu Maya sama-sama tahu siapa pengirim paket-paket itu. Sehingga tidak ada yang melayangkan kalimat protes apa pun, walaupun beberapa barang yang dibuang itu ada yang bernilai cukup tinggi.
Semua itu terbongkar saat acara tasyakuran empat bulanan kehamilan Maya di rumah mama mertuanya. Ketika itu, setelah semua acara sudah selesai dilaksanakan, kemudian satu persatu tamu yang hadir berderap pulang meninggalkan rumah Bu Dewi. Tiba-tiba saja, Maya mendekati ibunya yang saat itu sedang bercakap-cakap dengan mama mertuanya, dan langsung mengutarakan keinginannya untuk segera berganti baju—dengan baju awal saat mereka datang—kemudian bergegas pulang ke rumah.
"Lho, kenapa mau langsung pulang, May, kita kan belum makan-makan. Terus ngapain juga mau ganti baju segala, kebaya itu kan emang dibuat khusus untuk kamu, May," kata Bu Dewi yang langsung protes saat mendengar Maya mengajak ibunya untuk berganti baju dan pulang.
Maya hanya tersenyum tipis demi menanggapi kalimat Bu Dewi, kemudian tetap mengajak ibunya untuk pulang. Entah menyadari raut wajah Maya yang mendadak berubah atau apa, tapi ibunya lantas buru-buru memberikan perhatian penuh pada anaknya.
"Kenapa, May? Apa ada yang sakit?" Bu Rini bertanya sembari menyentuh pipi anaknya—cemas.
Maya menggeleng pelan, "Aku cuma ... pengin pulang aja, Bu," suaranya lirih dan agak gemetar. Sepertinya mata Maya berkaca-kaca, karena wajah ibunya yang semakin khawatir melihatnya mendadak berbayang karena genangan air yang telah menyamarkannya.
"Maya? Kamu kenapa, sayang?" suara Bu Dewi ikut terdengar. Sepertinya Bu Dewi menyadari ada yang tidak beres dari menantunya, sehingga ikut memperhatikan perubahan raut wajah Maya.
Tapi Maya sama sekali tidak berminat untuk menjelaskan apa pun. Maya tetap menatap ibunya dengan wajah yang semakin memilukan. Sehingga dengan sekejap, ibunya langsung menggandeng Maya untuk kemudian dibawa ke ruangan saat mereka berganti baju. Begitu sudah berada di salah satu kamar—yang menjadi kamar Maya dan Yuda setiap kali datang menginap—Maya langsung mempreteli kebaya yang dipakainya dengan tergesa. Seolah membiarkan kebaya itu melekat di tubuhnya lebih lama akan menyebabkan Maya terserang penyakit menular.
Ibunya juga melakukan hal yang sama, melepas kebaya putih yang dipakainya kemudian menggantinya dengan pakaiannya semula. Setelah kedua orang itu sudah berganti pakaian, Maya langsung meminta ibunya untuk memberitahu sang ayah agar mengganti baju dulu sebelum pulang.
Ibu Maya mengangguk tanpa bertanya apa pun. Entah jenis percakapan apa yang keduanya utarakan sehingga kebungkaman di antara keduanya sama sekali bukan menjadi masalah besar. Maya dan ibunya keluar dari kamar dan kembali berjalan menuju ke area depan. Namun, saat melihat tatapan Bu Dewi yang sudah sepenuhnya berubah dengan tatapannya yang tadi, Maya merasa semakin ingin meninggalkan rumah ini secepat mungkin.
***
"Ada apa ini, Ratih? Kenapa wajah Maya jadi kelihatan sedih gitu?" tanya Bu Dewi saat melihat Maya berlalu pergi membawa serta ibunya masuk ke dalam kamar—untuk berganti baju.
Ratih yang sejak tadi hanya diam, akhirnya memutuskan untuk memberitahu mamanya penyebab Maya jadi seperti itu. "Maya sudah tahu soal semua ini, Ma. Kalau Yuda-lah yang membiayai semua acara tasyakuran ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Harga Untuk Luka
RomanceMaya pikir, pernikahannya dengan Yuda yang diawali lewat perjodohan dari orang tuanya telah memberikan kebahagiaan sejati. Karena Maya benar-benar telah mencintai suaminya sepenuh hati. Namun pemikirannya itu langsung terpatahkan saat Maya mendapati...