#53.1: Entah Kapan Terwujud

12.7K 341 25
                                    

Maya tidak tahu akan sampai kapan putrinya itu marah padanya.

Meski begitu, saat tengah malam, Maya terjaga hanya untuk mengecek kamar putrinya yang kosong. Kemudian menangis di sana. Hingga keesokan harinya, Maya akan terbangun di ranjang putrinya sembari memeluk guling maupun boneka yang biasa dipeluk oleh Alisha.

Sebelumnya, Maya tidak pernah sekalipun menyangka kalau dia akan berada di posisi ini. Kehilangan Alisha yang berbalik menjadi membencinya adalah sesuatu yang tidak pernah terpikirkan olehnya. Padahal harusnya, Mayalah yang memiliki kuasa penuh atas putrinya. Maya jugalah yang harusnya paling disayangi oleh Alisha melebihi siapa pun di dunia ini, bukan malah laki-laki yang dari awal tidak pernah mengharapkan kehadiran Alisha.

"Bu, setelah ini aku mau langsung nemuin Alisha di rumah Mama Dewi," kata Maya memberitahu, setelah menandaskan sarapan paginya.

Di meja makan itu, ada ayah-ibunya yang juga sedang menikmati sarapan bersama. Mendengar kalimat Maya tadi, sontak ayah ibunya mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju.

Saat dalam perjalanan menuju rumah Mama Dewi, tak bisa dimungkiri kalau Maya dibuat cemas dengan kemungkinan Alisha masih tidak mau menemuinya seperti kemarin. Meski begitu, Maya tetap akan terus membujuk putrinya agar mau kembali ke rumah, dan yang lebih penting dari itu adalah berhenti marah padanya. Karena dibenci oleh putri satu-satunya sudah cukup membuat Maya seperti berada dalam siksaan paling kejam yang pernah ada. Maya tentu tidak akan sanggup jika terus berjauhan dengan Alisha dalam waktu yang lebih lama dari ini.

Maya memarkirkan mobilnya di halaman rumah Mama Dewi yang luas. Setelah mengatur napasnya agar kecemasannya sirna, Maya buru-buru melangkahkan kakinya menuju teras, dan akan memencet bel rumah Mama Dewi dengan hati yang mantap.

Namun, belum sempat Maya mengangkat tangannya untuk membunyikan bel, rupanya pintu rumah Mama Dewi sudah lebih dulu terbuka. Dan muncullah sosok Mama Dewi yang sedang menggandeng putrinya, yang rupanya sudah memakai seragam sekolah lengkap.

"Lho, Maya? Kamu di sini rupanya?" sapa Mama Dewi dengan wajah ramah.

Maya hanya mengangguk pelan. Kemudian sempat mencium punggung tangan mantan mama mertuanya sebelum akhirnya, tatapannya tertuju ke bocah yang sedang digandeng Mama Dewi. Maya kemudian menekuk lututnya untuk mencoba berbicara dengan putrinya itu.

"Alisha, ini Mama, Sayang," pelan dan lembut sekali kata-kata yang Maya ucapkan.

Dan untung saja, Alisha masih tetap berdiri di sebelah Mama Dewi, sama sekali tidak mencoba untuk menyembunyikan diri walaupun Maya jelas-jelas ada di depannya. Entah kenapa Maya merasa terharu dan ingin sekali meraih tubuh putrinya untuk dipeluknya erat-erat, tapi berhasil Maya urungkan karena tak mau Alisha jadi berubah histeris.

"Alisha mau berangkat sekolah ya? Sama Eyang?" tanya Maya dengan suara yang masih ia buat selembut sebelumnya.

Alisha mengangguk pelan. Bola matanya yang bundar itu sedang menatap ke wajah Maya dan itu membuat Maya merasa lega.

"Apa Mama ... boleh ikut nganterin Alisha berangkat sekolah?"

Alisha menggeleng. "Mama belum boleh nganterin Shasha dulu. Karena Shasha masih belum maafin Mama."

Maya tidak serta merta melayangkan kata protes pada putrinya. Karena sesungguhnya, Alisha bersedia berbicara dengannya saja sudah merupakan kemajuan yang besar.

"Jadi, apa yang harus Mama lakuin biar Alisha mau maafin Mama?" tanya Maya mencoba mengikuti kata-kata putrinya.

"Karena Shasha nggak bisa jengukin Papa, jadi Mama harus jengukin Papa di rumah sakit," jawab Alisha membuat Maya langsung bungkam. "Kemarin, Papa bilang kalau Shasha nggak boleh benci sama Mama. Papa juga bilang kalau Shasha harus jadi anak yang nurut sama Mama. Jadi Mama juga nggak boleh marah sama Papa lagi. Mama harus selalu jengukin Papa sampai Papa sembuh. Baru nanti Shasha mau maafin Mama."

Harga Untuk LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang