Yuda menghabiskan waktu sampai empat jam lamanya di mall bersama dengan Amanda. Setelah acara makan siang selesai, Amanda mengajak Yuda untuk menonton film. Keduanya mulai terhanyut akan kebersamaan yang sempat terkikis karena memikirkan persoalan yang belum selesai terkait Maya. Setidaknya, perlu jeda sebentar untuk membuat otaknya tak terus-terusan dibuat tegang.
"Film yang bagus," komentar Amanda saat mereka tengah berjalan melewati pintu keluar studio. "Sudah lama sekali aku nggak nonton film dalam negeri. Dan rupanya kualitasnya sudah hampir menyamai film-film luar."
Yuda tersenyum saja sebagai balasan. Sejujurnya Yuda jarang menghabiskan waktu seperti ini. Menonton bioskop tidak pernah menjadi prioritasnya. Meski beberapa kali Maya pernah mengajaknya menonton film yang sedang trending, namun Yuda bersedia melakukannya sebatas mengiyakan permintaan sang istri.
Istri?
Tiba-tiba saja ingatan soal Maya berkelebat dalam pikirannya. Yuda ingat betul, Maya tipe orang yang akan membiarkan kata-katanya diperhatikan dengan cara yang menarik. Seolah ada kontrol dalam diri Maya tentang bagaimana mengatakan sesuatu, atau pun mendiamkan sesuatu. Seperti halnya saat Maya menatap poster film, kemudian memberitahunya apakah film itu menarik atau tidak. Maya seolah bisa melihat antusiasme seseorang dari cara dia memperlihatkan poster film itu pada orang lain. Dan ketika Yuda merasa kalau poster itu tidak menarik, Maya akan langsung mengganti topik pembicaraan lain yang lebih menarik. Sampai Yuda merasa ikut terhanyut dalam pembahasan Maya yang tidak sekalipun membuatnya bosan.
"Hei, apa yang lagi kamu pikirin?" Tiba-tiba suara Amanda masuk ke dalam telinganya, pun jemari Amanda berada di lengannya seolah Amanda baru saja menariknya untuk tersadar dari lamunan.
Yuda menggeleng. Tidak ada gunanya menceritakan soal kenangannya bersama Maya. Toh, saat itu Yuda melakukannya sebatas memenuhi tugasnya sebagai seorang suami. Tidak ada arti khusus apa pun, terlebih sosok Maya yang diingatnya sekarang adalah sosok yang menakutkan, sama sekali bukan sosok Maya yang ceria seperti dulu.
"Setelah ini kamu masih mau jalan-jalan atau bagaimana?" Yuda memberikan pertanyaan itu pada Amanda, sekadar mengalihkan perhatiannya akan kenangannya saat bersama Maya.
"Mungkin aku perlu beberapa potong pakaian tambahan, karena pakaian yang aku bawa cuma sedikit. Apa kamu keberatan menemaniku belanja?"
Yuda tersenyum. "Selagi kakimu masih kuat jalan, saya nggak keberatan sama sekali."
"Bagus. Kalo gitu, ayo kita coba menjelajahi mall ini sampai puas." Amanda balas tersenyum lebar.
Keduanya lantas menghabiskan waktu bersama dengan berbelanja keperluan Amanda. Sama seperti saat dulu keduanya masih SMA, kecintaan Amanda akan sesuatu yang berbau feminin masih tak juga hilang. Bisa terlihat dari pemilihan baju yang bernuansa serba pink dan pastel, juga busana model dress dan rok.
Yuda memperhatikan dalam diam, saat Amanda berderap menuju kamar pas untuk mencoba pakaian yang dipilihnya, saat itu ingatan tentang Maya yang juga pernah memintanya menemani belanja terputar di otaknya. Berbeda dengan Amanda, Maya lebih suka pakaian yang simpel dan bergaya kasual. Yang jika dipakai tidak akan membuat repot pemakainya, dan yang terpenting tetap lincah, karena Maya cenderung hiperaktif.
Yuda biasanya akan duduk di kursi yang tersedia seperti saat ini, kemudian setelah berganti di kamar pas, Maya akan membuka tirai sembari menunjukkan ekpresi tubuh yang persis seperti anak kecil yang baru dibelikan pakaian baru. Bahkan sampai berputar ke belakang segala, hanya untuk menanyakan seberapa cocok pakaian itu melekat di tubuh Maya.
Yuda akan tersenyum dan mengangguk pelan, jika menurutnya pakaian itu pantas dipakai Maya. Setelah itu, Maya akan mencoba memakai pakaian lainnya dan menanyakan pendapat Yuda lagi, yang ternyata mendapat reaksi serupa, hingga Maya dibuat kebingungan untuk memilih baju mana yang akan dibelinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Harga Untuk Luka
RomanceMaya pikir, pernikahannya dengan Yuda yang diawali lewat perjodohan dari orang tuanya telah memberikan kebahagiaan sejati. Karena Maya benar-benar telah mencintai suaminya sepenuh hati. Namun pemikirannya itu langsung terpatahkan saat Maya mendapati...