#12: Hanya Untuk Dibenci

18K 969 9
                                    

"Ya Allah, May, mata kamu bengkak banget. Kamu habis nangis semalaman ya?" seru Riska kaget saat melihat Maya tiba-tiba datang menghampirinya di dapur.

Maya tahu Riska pasti akan bereaksi seperti itu. Bahkan meski Maya sudah berusaha mencuci mukanya berkali-kali, bengkak di matanya tak menunjukkan tanda-tanda menghilang. 

Sebenarnya sejak semalam, sekalipun Maya tak bisa memejamkan mata. Pikirannya menjadi kacau saat Maya mencoba menutup matanya. Tapi bukan berarti membuka mata Maya jadi baik-baik saja. Karena air matanya akan terus-terusan mengalir tanpa bisa dirinya cegah. Barulah saat telinganya mendengar suara azan, akhirnya Maya memutuskan untuk bangun dan mulai membersihkan diri. 

Maya tahu, sepagi ini Riska pasti sudah bangun dan langsung beraktivitas seperti biasa. Jadi karena itulah, Maya memutuskan untuk keluar dari kamar lantas bertemu dengan sahabatnya yang ternyata sedang berada di dapur, sepertinya sedang menyiapkan sarapan.

"Aku siapin air dingin dulu ya, May, buat kompres mata kamu itu," lanjut Riska yang langsung berjalan menuju kulkas. 

Maya jadi tak enak hati. Dia sudah cukup merepotkan sahabatnya dengan membiarkannya menumpang di rumah ini. "Biar aku sendiri aja, Ris. Kamu lanjutin aja masak kamu tadi," kata Maya menyusul Riska. Karena sebelumnya Riska jadi langsung mematikan kompor sebelum menuju kulkas yang berada tiga meter dari zona memasak Riska tadi.

"Nggak papa kok, May. Kamu duduk aja yah, aku ambilin kain dulu buat ngompres."

Maya tak bisa berkutik. Riska benar-benar memperlakukannya dengan baik. Perempuan berjilbab itu menggiring Maya untuk duduk di kursi yang tersedia, kemudian menghilang ke ruangan lain untuk mengambil kain. Sementara Maya hanya bisa menunggu dalam diam. Meski hatinya masih kesakitan, tapi perlakuan Riska membuat perasaannya sedikit lebih baik. Setidaknya tidak boleh ada air mata yang tumpah lagi di sini.

"Makasih banyak ya, Ris," ucap Maya lembut saat Riska sudah mempersiapkan air kompresan beserta kainnya demi membantu mengempeskan mata sembab Maya.

"Sama-sama, May." Riska tersenyum tak kalah lembutnya. "Oya, kamu mau sarapan apa? Biar sekalian aku buatin ya." Riska kembali menuju area kompor, melanjutkan aktivitas memasaknya yang sempat tertunda. Sementara Maya tetap duduk di kursi sembari mengompres matanya yang bengkak.

"Nggak usah, Ris. Hari ini aku mau berangkat kerja, jadi aku sarapan di sekitaran kantor aja."

Riska mendelik tak percaya. "Dengan kondisi kamu yang kayak gini, kamu masih bisa bilang mau berangkat kerja?" Riska geleng-geleng kepala. "Minta libur aja ya, May. Kamu pasti nggak bakal konsentrasi juga kalau maksain buat tetep kerja."

"Tapi kalau aku nggak ada kegiatan, yang ada malah aku jadi makin kepikiran, Ris."

Riska terdiam. Sepertinya setuju dengan ucapan Maya barusan. Saat sedang mengalami masalah, diam tanpa melakukan apa pun justru akan membuat masalah yang sedang dialaminya menjelma seperti monsters, mencekik tanpa tahu bagaimana untuk melepasnya.

"Memangnya ... setelah ini, apa yang mau kamu lakuin, May?" tanya Riska hati-hati.

Maya membuang napas frustasi sebelum menjawab, "aku juga masih belum tahu, Ris. Yang jelas, aku nggak bakal kembali ke rumah itu lagi."

Menyebut soal itu, Riska jadi ingat kejadian saat Yuda datang. "Semalam, laki-laki itu datang ke sini. Dia nyariin kamu, dan bilang kalau ada yang harus dia bicarakan sama kamu. Tapi aku nggak ngijinin."

Maya memilih diam saja mendengar perkataan Riska barusan. Reaksinya datar dan pandangan matanya kosong. Hingga Riska melanjutkan, "Akhirnya semalam aku tahu persis gimana brengseknya laki-laki itu. Aku bahkan kelewat ingin melemparinya batu saat dengan entengnya dia minta kamu buat nggak ngasih tahu masalah ini ke mamanya."

Harga Untuk LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang