#25: Cinta Buta yang Bodoh

16.5K 1.3K 64
                                    

Amanda tidak tahu, apa hal terbaik yang bisa dilakukannya sekarang. Karena menurutnya, semuanya sudah kepalang terlambat. Entah untuk perasaannya pada Yuda, atau pun penyesalannya pada Maya. Semua pilihan yang Amanda miliki seolah tidak ada satu pun yang memberikan hasil terbaik, apalagi ketenangan hati. Karena baik itu Yuda atau pun Maya, Amanda merasa kalau dirinya sudah terlalu ikut campur ke dalam hubungan yang tidak seharusnya Amanda masuki itu. 

Jika saja waktu bisa diputar kembali, seharusnya dari awal memang Amanda tidak perlu datang. Biarlah semuanya menjadi kenangan. Dan cintanya pada Yuda akan dibiarkannya abadi di dalam hatinya saja. Namun berapa kali pun Amanda berandai-andai, semuanya tetap sudah menjadi terlambat. 

Amanda memang membiarkan Yuda menemuinya, tapi tidak ada lagi harapan yang tersisa atas hubungan mereka. Setiap kali memikirkan jalan mana yang harus ia ambil, hanya kebuntuanlah yang menanti. Sehingga satu-satunya orang yang bisa Amanda mintai pertolongan adalah Joe.

"Sejauh ini, aku memang masih bisa tutup mulut saat Diana menanyaiku soal urusan apa yang masih belum kamu selesaikan di Indonesia, tapi sepertinya tidak akan lama lagi." Joe memberitahu perkembangan soal keluarganya pada Amanda melalui panggilan video. "Karena bukan cuma ibumu saja yang bertanya, tapi sekarang Andy juga ikut-ikutan bertanya soal kamu."

Amanda mendesah lirih. Dia tahu, cepat atau lambat kedua orang tuanya pasti akan menuntut penjelasan. Apalagi Amanda tidak bersedia untuk memberi kabar apa pun pada kedua orang tuanya secara langsung. Dia hanya mengandalkan Joe untuk saling menghubungkan tentang tanggapan orang tuanya terkait keberadaannya di sini. Amanda terlalu takut untuk memberitahu keputusannya pada orang tuanya sendiri.

"Aku ... takut, Joe," lirih Amanda sembari menundukkan wajah, meski satu tangannya masih memegangi ponsel agar panggilan itu masih terhubung dengan Joe.

"Apa yang kamu takutkan? Bukankah keputusanmu untuk tetap berada di sana adalah keputusan terbaik yang akan membuatmu bahagia?"

"Semuanya ... mulai berubah, Joe."

Joe menyandarkan punggungnya ke kursi. Helaan napas beratnya tertangkap  jelas di layar ponsel Amanda. "Memangnya ... apa tepatnya hal yang tidak akan berubah itu? Dari awal seharusnya kamu tahu kalau tidak ada hal yang tidak akan pernah berubah."

"Tapi perasaan cintaku pada Yuda tidak pernah berubah, Joe," sangkal Amanda cepat.

"Siapa yang tahu?" Joe mengedikkan bahunya acuh tak acuh. "Mungkin saja itu cuma perasaanmu, tapi sebenarnya kamu sendiri tak bisa benar-benar memastikannya."

"Apa maksudmu?"

Joe yang sedang berada di area kerjanya mulai menopangkan kedua tangannya ke atas meja, kemudian raut wajahnya menunjukkan ekspresi serius. "Kamu bisa tetap hidup selama delapan tahun terakhir tanpa memberi kabar apa pun pada Yuda, kan? Itu artinya ... tanpa kehadiran Yuda sekalipun, kamu tetap bisa melanjutkan hidup."

Amanda menggelengkan kepalanya tak setuju. "Jutru karena Yuda-lah aku mampu bertahan hidup. Jika saja Yuda memutuskan untuk berhenti mencintaiku, berhenti mengirimiku email selama delapan tahun terakhir, aku pasti tidak akan mungkin bisa hidup seperti sekarang."

"Kamu lupa ya, seberapa mahalnya pengobatan yang sudah orang tua kamu lakukan?" Nada suara Joe terdengar sarkas. "Jika bukan karena mereka yang membiayai semua tindakan medis yang sudah kamu terima, kamu juga tidak akan mungkin berjalan normal seperti sekarang. Bahkan keberadaanku selama ini yang selalu menjadi terapis kamu. Kenapa semua yang sudah kamu terima selalu saja kamu abaikan dan lebih memilih bahwa semua kesembuhanmu sejauh ini semata-mata hanya karena Yuda seorang? Tidakkah kamu berpikir kalau cara berpikirmu itu sudah melukai banyak orang yang benar-benar membantu kesembuhanmu dengan sangat keras?"

Harga Untuk LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang