Ratih sudah seperti orang gila. Mengucurkan tangisannya dengan telepon masih didekatkan ke daun telinga, sementara langkahnya tak tentu arah mencari-cari keberadaan siapa pun yang bisa ditemuinya.
Suaminya saat ini sedang pergi bekerja, Arfan tidur siang, sementara Dino sedang main bersama temannya di luar. Ratih lantas berlarian menuju ke rumah samping dan mencoba menemukan keberadaan mamanya. Namun di rumah yang luas itu, tidak ada siapa pun yang Ratih temukan. Mungkin saja mamanya sedang pergi ke rumah tetangga atau ke mana, tangis Ratih justru semakin deras mengalir.
Sementara di sela-sela tangisannya, Ratih masih mencoba memanggil-manggil adiknya karena telepon masih terhubung. Mungkin saja Yuda jatuh pingsan, dan teleponnya tergeletak begitu saja.
Dalam deru tangis yang tak putus itu, Ratih berdoa agar di mana pun adiknya berada, semoga keselamatan akan selalu merengkuhnya. Sekalipun saat ini Yuda sedang mengalami kecelakaan, Ratih sangat berharap kalau seseorang—entah siapa pun itu—akan datang menolong adiknya dan menyelamatkannya dari cengkeraman malaikat maut.
"Lo kenapa, Mbak. Kok nangis?"
Seseorang tiba-tiba saja bersuara, menyadarkan Ratih yang masih berputar-putar di rumah mamanya yang kosong. Pikirannya benar-benar kacau dan tak tahu apa yang harus dilakukannya. Tapi rupanya dari arah depan, Wahyu baru saja masuk dan langsung menyapanya dengan raut bingung karena melihat kakaknya sedang panik sembari menangis.
"Wahyu!" pekik Ratih seolah Wahyu adalah seorang penyelamat. "Yuda, Yu, Yuda ..." Suara Ratih tersendat oleh tangisan.
Mendengar nama Yuda disebut, mendadak ekspresi wajah Wahyu langsung berubah tegang, seolah nama adiknya kini sudah dicap sebagai teman karib dari 'masalah'.
"Ada apa lagi sama si bangsat itu, Mbak? Bikin masalah lagi ya dia?!"
Ratih langsung menggelengkan kepala. Wahyu memang tidak tahu menahu soal perubahan Yuda semenjak kejadian mamanya masuk rumah sakit. Karena Wahyu jarang berada di rumah. Sekalinya berada di rumah, beberapa jam kemudian sudah menghilang mengendarai Ninja 250 Fi ABS-nya, entah ke mana.
"Yuda baru saja kecelakaan, Yu. Dan Mbak sama sekali enggak tahu dia ada di mana sekarang."
Ekspresi jengkel Wahyu seketika luruh. "Kecelakaan ... Mbak?" Wahyu memastikan, suaranya sudah bernada normal dan cenderung syok.
Ratih mengangguk. "Hari ini sidang gugatan cerai Maya dikabulkan, dan Yuda sudah resmi bercerai dengan Maya. Padahal selama ini Yuda sudah bersikeras melakukan apa pun untuk menebus kesalahannya pada Maya, tapi akhirnya ... akhirnya semuanya sia-sia, Yu." Ratih mengatur napasnya yang masih kacau, sementara Wahyu yang berdiri di depannya mendengarkan ucapan kakaknya dengan saksama.
"Yuda pasti terluka, marah, kecewa, bingung dan putus asa, kemudian dia naik mobil enggak tentu arah. Terus beberapa saat lalu dia telpon Mbak buat ngasih tahu kalau dia baru saja jual rumahnya. Tapi kemudian dia bilang kalau: 'Mbak enggak perlu khawatir karena ini sama sekali enggak sakit.'" Ratih menutup mulutnya saat menirukan ucapan adiknya saat itu.
"Dia nabrak pohon, Yu, tapi Mbak enggak tahu lokasinya ada di mana? Suara Yuda sudah enggak kedengaran lagi dari tadi. Mbak takut kalau Yuda sampai—" Ratih tidak kuasa untuk meneruskan ucapannya.
Wahyu sepertinya ikut merasakan ketegangan atas apa yang mungkin terjadi pada adiknya. Bagaimanapun, Yuda masihlah adik kandungnya, meski semarah apa pun Wahyu pada adiknya itu, tetap saja Wahyu akan merasa sangat kehilangan jika adiknya itu sampai meninggal.
"Apa jangan-jangan ... teleponnya masih tersambung, Mbak?" tanya Wahyu saat menyadari Ratih masih terus mendekatkan ponsel ke telinganya sendiri.
Ratih mengangguk pelan. Yang lantas membuat raut wajah Wahyu sedikit cerah. "Coba siniin hapenya, Mbak, biar gue coba lacak dulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Harga Untuk Luka
RomanceMaya pikir, pernikahannya dengan Yuda yang diawali lewat perjodohan dari orang tuanya telah memberikan kebahagiaan sejati. Karena Maya benar-benar telah mencintai suaminya sepenuh hati. Namun pemikirannya itu langsung terpatahkan saat Maya mendapati...