Seorang perempuan berpostur tinggi, berkulit putih, berhidung mancung, bermata sedikit sipit, serta berambut panjang sepinggang. Terlihat keluar dari mobilnya. Ia baru saja tiba di halaman sebuah gedung pengadilan agama.
Hatinya tersayat perih, ketika menyadari bahwa hari ini akhirnya terjadi juga. Hari di mana ia akan kehilangan status sebagai istri, dan akan menyandang status baru sebagai janda.
Menghembuskan nafas yang terasa menyesakkan. Devi Arvika, perempuan cantik itu. Perlahan membawa kakinya masuk ke dalam gedung tersebut. Di teras sana, orang-orang kepercayaannya sedang menunggu.
"Pagi pak Agas, pak Jun" sapanya terlebih dahulu, sembari menjabat tangan mereka berdua, tim kuasa hukumnya.
"Pagi mbak, Devi. Apa kabar hari ini?" tanya pak Agas memastikan.
"Sudah jauh lebih baik" sahutnya sembari tersenyum tipis, nyaris tidak terlihat.
"Syukurlah. Mbak Devi sudah siap dengan putusan nanti?" tanya pak Jun.
"Siap pak, ini sudah jadi keputusan final saya" sahutnya tegas walau sedikit ragu.
"Baiklah. Mari mbak, kita masuk dan duduk di dalam saja" ajak pak Agas, Devi mengangguk.
Devi, pak Agas, dan pak Jun masuk ke dalam ruang sidang. Mereka bertiga mengambil duduk di tempat masing-masing. Suasana masih sepi, hanya ada beberapa bangku yang terisi. Kesempatan itu Devi gunakan untuk meminimalisir kegelisahannya.
Beberapa saat berselang, ruang sidang mulai terisi dengan orang-orang yang akan menjadi saksi jalannya persidangan. Para petugas pengadilan, juga tampak menduduki kursi kebesaran mereka masing-masing.
Di pintu masuk, terlihat keluarga Rama, sang calon mantan suaminya. Mereka yang terdiri dari Rama, papa dan mama mertua, juga kedua iparnya. Bersama-sama menempati kursi masing-masing.
Rama mengambil posisi duduk sejajar dengan Devi. Hanya berselang dua kursi. Ketika perempuan itu melarikan pandangannya pada calon mantan keluarganya. Rupanya ia harus berbesar hati, menerima tatapan dingin dan sulit di artikan dari mereka. Terlebih tatapan dari Nur Aini, sang mama mertua. Tatapan yang tak pernah ia dapatkan, selama enam bulan menjadi menantu.
Ia kemudian beralih melihat pada deretan bangku di belakangnya. Hatinya kembali terasa perih. Karena tak satupun dari mama, papa, maupun abangnya, yang bersedia hadir di hari perpisahannya.
Semua berawal dari ide gila dan rekayasa antara ia dan Rama. Sehingga akhirnya, kini ia sendiri yang terpaksa harus kehilangan kasih sayang. Tidak hanya dari keluarga mertua namun, juga dari keluarganya sendiri.
Waktu semakin cepat berjalan. Sang hakim telah membuka sesi persidangan. Ruangan yang semula penuh kasak kusuk, mendadak hening. Semua orang terlihat penasaran, dengan akhir kisah rumah tangga seumur jagung Devi dan Rama.
Sidang berjalan dengan lancar. Hanya ada sedikit sekali hambatan. Devi melarang tim kuasa hukumnya mengajukan sangkalan. Karena perempuan itu tidak ingin menghabiskan banyak waktu, untuk mengakhiri semuanya. Ia tidak ingin bermain emosi. Walaupun rasa tak terima, menguasai hati. Ia masih menjaga harga dirinya, juga harga diri sang calon mantan suami.
Satu setengah jam berlalau, sidang pun akhirnya selesai. Ketukan tiga kali palu sang hakim, telah mengesahkan perpisahan mereka.
Ruangan sidang pun akhirnya kembali riuh. Hujatan demi cacian dengan apik masuk ke pendengaran Devi. Tapi, suara sumbang mereka, tidak ada apa-apanya. Di bandingkan dengan sakitnya ia yang harus merelakan pernikahannya kandas.
Terlalu bodoh dan naif, memang. Ia rela menanggung sakit demi melepaskan cintanya, untuk menjemput cinta masa lalunya. Bukan ia tak berusaha menjadi berarti bagi sang mantan suami. Ia sudah mencoba sekuat yang ia bisa. Namun, apalah dayanya? Jika pengorbanan dan ketulusannya, tak mampu memenangkan hati seorang Rama Abyasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Andai Kau Tahu Sakitnya Melepaskan (Terbit)
General FictionJanji suci di antara kita, memiliki makna yang berbeda. Suci dan kebahagiaan bagiku namun, kosong dan neraka bagimu. Walau hatiku telah jatuh padamu, aku bisa apa? Jika akhirnya kau memilih menepi. Aku hanya bisa merelakan tanpa mampu lagi menahan. ...