43. Lamar Nikah

2K 136 0
                                    


Dua minggu kemudian

Hari ini suasana di rumah keluarga Devi lebih ramai dari biasanya. Karena pagi ini, sang kakak, yaitu Deni Satria. Akan melamar sekaligus menikahi kekasihnya.

Kesepakatan awal adalah lamaran. Namun, dua hari lalu pihak keluarga kekasih Deni, meminta lamaran sekaligus rangkap pernikahan. Masalah pesta bisa di bicarakan belakangan. Papa Zakaria dan Deni tidak bisa menolak itu. Kakak dan calon iparnya juga sudah lama berhubungan. Sudah sepantasnya keseriusan menjadi akhir kedekatan.
Jadilah persiapan dadakan keluarga papa Zakaria kerahkan, untuk kelangsungan acara besar sang putra sulung.

Di kamarnya, Devi tengah menyisir rambut panjangnya. Tubuhnya telah terbalut pakaian tunik warna merah bata, dengan celana longgar berwarna hitam. Bandana yang sewarna dengan bajunya, menghiasi dengan cantik kepala dengan mahkotanya yang berwarna coklat.

Ia sapukan bedak di wajahnya, juga lipstik berwarna marun di bibirnya. Terakhir, ia kenakan kacamata untuk memperjelas penglihatannya. Akhir-akhir ini matanya memang sedikit mengalami ketidak beresan.

Memasukkan ponsel ke dalam tas selempangnya, ia lantas beranjak turun ke lantai bawah untuk bergabung dengan keluarga besarnya.

"Wiiihhh, si janda kembang turun tahta, euy!" seloroh Danial, kakak sepupunya.

"Maaf-maaf kata mas, janda kembang ini bukan turun tahtanya tapi, semakin naik rating nya. Mau kapal pesiar buat jadi mahar" sahut Devi menimpali celotehan kakak sepupunya itu.

"Widihhh, janda kaya emang beda ya, bandrolnya?" timpal Eky, kakak sepupunya yang lain.

"Iya, dong! Perawan mah, lewat!" selorohnya sembari mengedipkan mata genit. Membuat yang ada di sana bergidik sekaligus geli.

"Di mana-mana janda emang mata duitan, yes?"  kelakar Dinda, bibi iparnya. Beliau juga dulunya janda beranak dua, yang di nikahi pamannya.

"Iya lah, bi. Harus itu, mata duitan. Hidup kita juga bukan di zaman purba. Netesin keringat, duit. Buang angin juga butuh duit loh, bi" sambung Devi jahil.

"Sip, kita satu aliran!" seru sang bibi mengajak sang ponakan bertos ria.

"Oh iya, dong!" seru Devi balik, sembari menyambut tangan sang bibi.

Semua yang ada di sana sama menepuk kening mereka pelan, melihat tingkah aneh dua perempuan  berbeda generasi itu.

Suara langkah kaki yang menuruni tangga, membuat keseruan mereka terjeda. Devi menolehkan pandangan ke arah tangga.

Dapat ia lihat sang kakak menuruni tangga dengan gagahnya. Jas hitam dan celana hitam, membalut tubuh berisinya dengan sempurna. Senyum teduh sang calon pengantin, menguarkan ketenangan bagi yang memandang.

Sampai di undakan tangga terakhir, lelaki itu merentangkan tangan sembari menatap ke arah adiknya. Devi yang paham kode itu, segera berjalan mendekati kakak satu-satunya itu.

Mereka kemudian saling berpelukan erat. Seolah saling menguatkan, juga saling menyampaikan perasaan yang mereka simpan di kedalaman hati mereka.

Mereka yang berpelukan, seluruh keluarga yang merasakan keharuan.

Beberapa menit berpelukan, Devi melepaskan diri dari dekapan Deni. Tangannya bergerak merapikan sisi mana saja pakaian sang kakak, yang ia rasa kurang enak di pandang. Senyum tipis nan sendu, tersungging di bibir perempuan itu.

"Kamu ikhlas abang nikah?" tanya Deni gamang.

"Abang ngomong apa, sih? Jelas lah Devi ikhlas abang nikah. Dosa kalau Devi menahan Abang yang ingin meraih pahala. Menikah adalah ibadah bang, nggak baik di tunda. Apa lagi, usia Abang sudah lebih dari sekadar di katakan dewasa" jawabnya panjang lebar.

Andai Kau Tahu Sakitnya Melepaskan (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang