Devi masih berada di dalam ruang pribadinya, ia baru saja selesai mandi dan berganti pakaian. Untung saja ia menyediakan baju ganti di dalam ruangannya tersebut. Dan ternyata terbukti membantu dalam keadaan darurat seperti sekarang ini.Ia mengambil sisir dan merapikan rambutnya yang basah. Setelah selesai ia memoleskan bedak dan lipstick tipis di wajah dan bibirnya.
Selesai. Ia kemudian mengambil ponselnya yang sempat terkena minuman si penyerang beberapa menit lalu. Beruntunglah ia karena ponselnya itu baik-baik saja. Ia segera membuka aplikasi menu, dan menombol icon galeri.
Ratusan jejak digital muncul di sana. Kenangan foto pernikahannya, wajah Rama dengan berbagai ekspresi, ada di sana. Ia diam-diam mengambilnya saat mereka selesai di jodohkan di masa silam. Terbaru, ia unduh foto Rama beserta keluarga kecilnya yang bahagia, dari akun sosial media kerabat Rama.
Ia tersenyum kecut, menyadari ia yang hanya bisa jadi penikmat. Ia ingin mengucapkan selamat atas kebahagiaan orang yang masih ia cintai itu. Tapi, ia enggan melakukan. Ia sadar jiwa raganya tak sekuat itu untuk berpura-pura baik-baik saja tanpa luka.
Di usapnya pelan layar tipis di tangannya itu. Tetap ada yang mencelos dalam hatinya. Luka cintanya kembali menganga bersama rindu yang tak pernah berhasil bertemu penawarnya.
Hari ini adalah hari ulang tahunnya, yang bahkan sudah terlupakan dari pikirannya. Kenangan buruk kembali berkilasan dalam benaknya.
Ulang tahun pertama setelah menikah, ia mendapatkan hadiah perceraian. Di ulang tahun pertama seusai perceraian, ia mendapatkan kesendirian. Hingga saat ini ia masih betah sendiri, belum berniat untuk membuka hati kembali.
Setegar apapun ia di depan banyak orang, ia tetap wanita rapuh dalam kesendirian. Ia tetap wanita yang butuh sandaran. Dan bodohnya ia, masih Rama yang tergambarkan dalam angan.
Pintu ruangannya terbuka tanpa sepengetahuannya. Di ambang pintu, berdiri papa dan mamanya. Pasangan paruh baya itu datang membawa kejutan untuknya.
Namun, bukan Devi yang terkejut melainkan papa dan mamanya. Beliau berdua mendapati putrinya tengah mengusap layar ponsel. Entah foto siapa yang terpampang dalam genggaman jemari lentik itu. Tapi, melihat ekspresi tak terbaca yang di tampakkan Devi, pasangan paruh baya itu akhirnya paham. Jika yang di pandangi Devi tanpa bosan, adalah foto mantan menantu mereka.
Ketika Devi akhirnya mengecup dengan sayang layar tipis itu, meneteslah air mata papa Zakaria. Ia merana melihat luka di diri putrinya.
Mama pun tak jauh berbeda keadaannya dengan sang suami. Mereka menangis dalam diam.Devi tampak meletakkan ponselnya di meja di depannya. Ia beralih mengamati cincin pernikahan yang masih ia pakai dengan posisi terbalik. Pernikahan mereka memang tinggal cerita. Namun, kenangan saat Rama menyematkan cincin itu, masih membekas dalam hati dan ingatannya. Masih jadi hal yang terlalu manis, jika harus ia lepaskan begitu saja.
Perempuan itu tampak mengusap kasar air mata yang lancang meluncur bebas di atas pipi putihnya. Memejamkan mata sejenak untuk meredam gemuruh luka, cinta, dan rindu di dadanya. Setelah itu ia hela nafas sedalam-dalamnya, dan kemudian membuka mata.
Saat matanya terbuka, barulah ia menyadari kehadiran papa dan mama di ruangannya. Ia menjadi salah tingkah. Takut kalau-kalau apa yang ia lakukan menjadi tontonan orang tuanya.
Ia mengurai senyum seluwes yang ia bisa. Ia mencoba bersikap setenang mungkin dengan segera menyambut papa dan mamanya.
"Udah dari tadi pa, ma?" tanyanya sembari mendekat dan tersenyum tipis.
"Nggak kok, papa sama mama baru aja masuk" jawab papa dengan segera menghapus air matanya.
"Oh. Ayo pa, ma, silakan duduk" ajak Devi mempersilakan kedua orang tuanya masuk dan duduk dengan nyaman di ruangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Andai Kau Tahu Sakitnya Melepaskan (Terbit)
Ficción GeneralJanji suci di antara kita, memiliki makna yang berbeda. Suci dan kebahagiaan bagiku namun, kosong dan neraka bagimu. Walau hatiku telah jatuh padamu, aku bisa apa? Jika akhirnya kau memilih menepi. Aku hanya bisa merelakan tanpa mampu lagi menahan. ...