26. Level 10

1.4K 135 4
                                    


Di rumah Devi, papa, mama, dan abang dari Devi, tengah berada di meja makan. Mbok Wati mempersilakan keluarga majikannya untuk menikmati sarapan yang sudah terlewat dari jamnya.

Berbagai hidangan di siapkan mbok Wati. Untung saja, tadi pagi ia sempat berbelanja stok sayuran dan daging walau tidak banyak. Jadi ia tidak repot ketika ada tamu dadakan datang.

"Silakan di nikmati makanan sederhana, masakan mbok. Maaf, masakan mbok masakan desa. Ini yang mbok dan mbak Devi makan biasanya, silakan" ucap mbok Wati sedikit canggung.

"Iya mbok, terima kasih untuk jamuannya. Ngomong-ngomong Devi nya, keluar ke mana ya?" jawab dan tanya papa Devi.

"Mbak Devi sedang ada reuni di kampus, pak. Belum begitu lama perginya. Tapi, mbok udah telepon mbak sih, supaya mbak pulang" terang mbok Wati.

"Pergi sama siapa adikku, mbok?" tanya Deni penasaran.

"Dengan mas Diky, mas. Teman kerjanya mbak Devi. Kalau begitu, mbok pamit ke belakang dulu. Silakan di nikmati makanannya, pak, Bu, mas, permisi"

Mbok Wati pun melangkah ke belakang, meninggalkan keluarga Devi yang memulai menyantap makanan yang telah di hidangkan perempuan paruh baya itu.

❌❌❌

   Satu jam berada di dalam mobil taksi, akhirnya Devi sampai di depan rumahnya. Setelah taksi itu berhenti, dan Devi membayar tarifnya, ia keluar dari kereta besi tersebut.

Setelah mobil itu berlalu, Devi mulai melangkahkan kakinya memasuki halaman rumahnya. Dan benar saja, di halamannya terdapat mobil yang masih sangat ia hafal. Mobil itu adalah mobil milik Deni Satria, kakaknya.

Menenangkan kegugupannya sejenak, Devi memantapkan diri untuk melangkah masuk ke dalam rumahnya.

"Assalamualaikum!" sapa Devi pada keluarganya yang tengah bersantai di ruang tengah rumahnya.

Suara tenang Devi membuat papa, mama, dan abangnya terpaku, dengan ekspresi yang sulit di artikan. Ia tak berusaha mendekat, keluarganya juga demikian. Masih sama-sama tertelan kebisuan karena perjumpaan yang tak di rencanakan bahkan, tak pernah terbayangkan dalam mimpi sekalipun.

Beberapa detik ruangan itu dalam keheningan, mbok Wati datang untuk mencairkan ketegangan.

"Nah, bapak, ibu, mas, mbak Devi nya sudah datang tuh!"

Tipis. Sangat tipis bibir Devi mengurai senyum. Sebelum akhirnya, tubuhnya di lingkupi pelukan hangat papanya. Lelaki yang teramat Devi rindukan.

Perempuan itu luluh dan begitu saja membalas pelukan papanya. Saat sang papa menghadiahkan kecupan sayang di keningnya, air mata haru menetes begitu saja. Inilah hal yang paling Devi inginkan selama ini. Di sambut pelukan cinta pertamanya, ketika nasib buruk menghantam jiwa raganya.

"Putriku sayang, apa kabar?" tanya papa dengan pelan setelah sedikit memberi jarak di antara mereka.

"Baik" jawabnya singkat.

"Mama rindu kamu nak, kamu kemana aja?" tanya mamanya sembari mendekat dan mengelus tangannya yang dingin.

"Saya, nggak ke mana-mana. Saya di rumah ini dengan mbok Wati" jawabnya setenang mungkin tanpa menyebutkan status kedudukan orang tuanya.

Ia hanya berjaga-jaga, kalau-kalau orang tuanya tidak berkenan dengannya. Mengingat di mana malam itu, saat ia bersandiwara, keluarganya sudah memutus tali dengannya bahkan mengusirnya begitu saja.

Lamunan Devi kembali buyar, saat Deni abangnya, memeluk dirinya sebagai pelampiasan dari rasa rindu. Bohong kalau ia tak merindukan adiknya yang bahkan tak pernah terpisah darinya sejak kecil.

Andai Kau Tahu Sakitnya Melepaskan (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang