Devi telah kembali dari lantai dua. Ia berganti mengenakan rok tutu panjang berwarna hitam, dengan kaos warna ungu tua berlengan panjang sebagai atasan. Rambut yang tadi ia gerai, sekarang ia ikat menjadi satu agar lebih sopan.Semua orang rupanya berada di ruang keluarga yang lebih santai. Termasuk Abang dan iparnya yang ternyata juga sudah datang.
"Maaf membuat anda sekalian menunggu" ucap Devi yang mengambil duduk di sebelah Diky. Karena hanya itu tempat yang tersisa.
Diky dan Devi secara tidak sengaja saling menoleh. Mereka pun bertemu pandang. Untuk sesaat, mereka seperti berusaha merangkum sketsa wajah masing-masing dalam memori mereka.
Dalam posisi seperti itu, jujur saja degup jantung seorang Diky menggila. Dan tanpa Diky sadari, Devi juga merasakan hal yang sama. Dada perempuan berkacamata itu berdebar untuk pertama kalinya, setelah kebersamaan mereka di rumah sakit tempo hari. Walaupun debaran itu masih berupa getaran halus tapi, ia tidak bodoh untuk memaknai ke mana maksut reaksi anggota tubuhnya.
"Pakdhe!" panggil Bima, yang membuat kontak mata mereka terputus.
"Iya dek Bima? Kenapa?" tanya Diky lembut.
"Bima pingin pipis" ucapnya lirih.
"Ayo. Mohon izin pak, Bu, saya numpang ke toilet sebentar. Ini ponakan minta buang air" ucap Diky meminta izin.
"Oh, mau ke toilet ya? Silakan pak dokter ke belakang aja, di samping dapur ada toilet" sahut mama Rumi mempersilakan.
"Permisi"
"Iya, silakan"
Dengan segera Diky menggendong Bima ke belakang untuk di bawa ke toilet.
Sementara Devi masih bertahan di tempatnya. Ia memberanikan diri berinteraksi lebih dekat dengan keluarga dari dokter Diky.
"Sebelumnya, terima kasih atas kunjungan bapak dan ibu sekeluarga. Kami, khususnya saya pribadi, benar-benar tidak menyangka akan bertemu keluarga dokter Diky. Karena jujur aja, dokternya nggak ada bilang sama Devi. Jadi Devi terkejut" ucap Devi berbasa-basi.
"Iya, sama-sama. Saya sebagai mama Diky, meminta maaf atas tingkah dia. Pantas kalau nak Devi terkejut. Kami aja yang di ajak ke sini juga terkejut, karena dia ngajaknya tadi malam" sahut mama Nining.
"Iya Bu, nggak apa-apa."
"Nak Devi pasti sudah paham kan, kedatangan kami sekeluarga ke sini?" ucap papa Agus.
"Iya pak, saya sudah paham. Ini memang saran saya tempo hari. Saya dan pak Diky sudah sama-sama dewasa. Dan alangkah baiknya, niat pak Diky melibatkan keluarga. Dan saya menghargai keberanian beliau. Namun, sebelum semua berjalan lebih jauh. Saya ingin menyampaikan bahwa saya sudah janda pak, Bu" ucap Devi membeberkan kondisinya.
Lalu tanpa di minta, Devi menceritakan bagaimana awal mula kisah pernikahannya hingga berakhir di meja hijau. Bagaimana ia berjuang menghadapi mimpi buruk setiap malam, hanya berteman seorang mbok Wati. Berbagai ekspresi muncul di wajah-wajah pendengar Devi. Padahal si pencerita memasang wajah normal.
"Begitulah garis besar kisah masa lalu saya. Berkenan atau tidak itu kuasa keluarga anda sepenuhnya pak, Bu"
"Mas, bagaimana?" tanya mama Nining pada putranya.
"Iya ma, mas lanjut. Mas udah niat serius sama mbak Devi, mas nggak akan mundur."
"Bagus! Anak baik, mama!" sahut mama terharu.
"Di sini, bukan hanya mbak Devi yang punya masa lalu. Saya juga punya masa lalu kurang menyenangkan. Mbak Devi juga bapak dan ibu, sudah mendengarnya tempo hari. Kita sama-sama punya kekurangan. Mbak Devi menerima saya, maka saya akan berusaha menutupi setiap kekurangan yang ada. Soal perasaan bisa kita tumbuhkan bersama" ucap Diky panjang lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Andai Kau Tahu Sakitnya Melepaskan (Terbit)
Ficción GeneralJanji suci di antara kita, memiliki makna yang berbeda. Suci dan kebahagiaan bagiku namun, kosong dan neraka bagimu. Walau hatiku telah jatuh padamu, aku bisa apa? Jika akhirnya kau memilih menepi. Aku hanya bisa merelakan tanpa mampu lagi menahan. ...