35. Terbawa Perasaam

1.8K 127 7
                                    


Devi dengan tidak sabaran membuka pintu ruangannya dan begitu saja masuk ke dalam kamar kecil yang ada di sana. Dengan kasar ia baringkan tubuhnya di atas ranjang sedang itu. Ia tutup rapat wajahnya dengan bantal, demi meredam isakannya yang keras. Ia ingin terlihat kuat namun, Rama adalah titik lemahnya.

Papa, mama, Abang, dan Andita yang baru masuk ke ruangannya kebingungan mencari keberadaan Devi. Hingga mata Andita menemukan ruangan lain yang pintunya terbuka.

"Mas, om, Tante, sepertinya mbak Devi di dalem ruangan itu deh!" tebak Andita.

Mereka berempat bersamaan mendekati ruangan yang di tunjuk Adita. Dan benar saja, perempuan yang tak lain adalah Devi ada di sana. Tengah tengkurap dengan badannya yang terguncang hebat. Sudah pasti perempuan itu tak kuasa menahan sesuatu yang menyesakkan dadanya.

Deni segera mendekat di ikuti yang lain. Dengan pelan ia naik ke ranjang, tepat di sisi Devi yang kosong. Tubuh tegap itu dengan segera merangkul jiwa raga lemah adiknya. Tidak ada yang berani berkata-kata di antara mereka.

Devi perlahan membuka bantal yang menutupi seluruh wajahnya. Ia merubah posisinya menjadi duduk. Ia begitu saja menghambur memeluk tubuh abangnya dengan erat. Kembali terdengarlah isakan yang memilukan dari Devi. Deni hanya mampu mendekap erat adiknya. Mereka menangis bersama.

Luka cinta yang Devi tahan hampir dua tahun kembali ia tampakkan dengan jelas di depan keluarga bahkan calon kakak iparnya. Ia benar-benar lemah jika menyangkut mantan suaminya.

"Keluarin apa yang selama ini kamu tahan. Mencintai tanpa bisa memiliki memang menyakitkan. Apa lagi Rama pernah enam bulan menjadi bagian dalam kisah pernikahanmu. Tapi, satu hal yang harus kamu ingat dek, dia sudah menjadi suami orang. Nggak baik mencintai dalam keadaan seperti sekarang ini" nasehat Deni panjang lebar.

"Hanya terbawa suasana, bang. Adek nggak apa-apa, kok" sahut Devi dengan sesenggukan.

"Jangan gini lagi, ya? Abang tahu adek kuat. Adek bisa lewatin ini semua. Masa depan adek masih panjang. Lupain hal yang sudah bukan wilyahnya adek untuk adek pikirin."

"Adek selalu berusaha untuk itu. Walaupun harus penuh kesabaran, karena melupakan kenangan tak semudah membuang sampah."

"Iya, Abang tahu. Abang salut sama kamu, karena masih kuat sampai hari ini. Kamu sudah luar biasa karena masih mampu menjalin hubungan baik dengan mereka. Semangat, kamu kuat. Ada Abang, papa, mama, dan ada Andita juga yang siap dukung kamu, nguatin kamu. Nggak masalah kalau kamu nggak sanggup pulang, ada kami yang akan siaga dua puluh empat jam bantuin kamu" terang Deni panjang lebar, yang di angguki Devi.

Perempuan itu perlahan-lahan mencoba meredam tangis dan menormalkan emosinya. Saat ia bisa meraih ketenangannya, ia kembali mengulas senyum.

Mama Rumi mendekat untuk membantu mengusap sisa air mata di pipi putrinya. Wanita paruh baya itu mengulas senyum sekuat yang beliau bisa. Ia hanya ingin putrinya kuat dan tidak merasa sendiri karena masih ada keluarga di belakangnya.

"Kamu yang kuat, ya? Anak mama pasti bisa bahagia" bisik mama pelan.

"Iya, ma"

Selanjutnya satu keluarga itu memutuskan untuk kembali ke resto pusat, karena waktu sudah beranjak sore.

Mereka keluar melalui pintu samping restoran karena tidak enak hati bersinggungan dengan keluarga mantan.

Setelah semua masuk, Deni, yang kali ini mengambil alih kemudi. Segera ia melesatkan mobil itu keluar area restoran, untuk kembali ke restoran pusat milik adiknya.

❌❌❌

Malam telah tiba, Deni dan Devi baru saja sampai di rumah. Deni mengarahkan mobil itu masuk ke garasi. Setelah berhasil terparkir dengan rapi, ia dan Devi turun bersamaan dan masuk ke dalam rumah.

Mbok Wati rupanya tengah menunggu kepulangannya. Terbukti dari keberadaannya yang sedang rebahan di sofa ruang keluarga.

Wanita paruh baya lebih itu nampak bangun ketika menyadari Devi yang sudah sampai rumah namun, tidak sendiri.

"Udah pulang, mbak? Eh, ada mas Deni juga. Silakan duduk, mas. Mau minum apa masnya?"

"Nggak usah mbok, terima kasih. Nanti Deni ambil sendiri kalau haus, mbok istirahat aja"

"Oh iya, baiklah kalau begitu. Eh, mbak Dev sama masnya udah makan belum?"

"Udah, mbok. Makan dulu di resto tadi"

"Ya udah, karena mbak udah pulang dan ada mas Deni juga, mbok pamit istirahat ya? Selamat malam"

"Malam, mbok"

Deni mengantarkan adiknya masuk ke dalam kamar. Ia membiarkan perempuan itu membersihkan diri di kamar mandi, sementara ia memilih menata bantal dan selimut. Agar setelah ini adiknya bisa tidur dengan nyaman.

Sepuluh menit berlalu, Devi keluar dari kamar mandi dengan sudah mengenakan pakaian tidur. Ia menghampiri abangnya yang tengah duduk. Ia sandarkan kepalanya di pundak abangnya.

"Bang?" panggilanya dalam.

"Kenapa?" sahut Deni.

"Emm, Abang beneran mau serius sama Andita?" tanya Devi membuka topik yang sudah ia pikirkan sedari tadi mereka di perjalanan pulang dari resto.

"Insya Allah, iya. Kenapa? Kamu nggak setuju?" tanya Deni.

"Setuju, lah. Malah Devi seneng kalau Abang akhirnya nikah, ada yang urusin abang, manjain Abang. Ya, walaupun kelihatan Andita lebih manja dari Devi, sih. Tapi, Devi yakin, dia bisa di bimbing buat jadi lebih baik lagi" jawab Devi menyuarakan pemikirannya.

"Alhamdulillah, kalau kamu kasih Abang ijin buat seriusin dia. Jujur, Abang sebenarnya udah nggak pingin balik lagi sama dia awalnya. Tapi, melihat kesungguhan dia dapetin maaf Abang, Abang nggak bisa nolak. Abang masih cinta dan sayang banget sama dia. Dia pacar Abang yang paling kayak bocah tapi, dengan dia hidup Abang jadi lebih berwarna" cerita Deni panjang lebar, dan Devi tersenyum mendengarnya.

"Kalau memang jodoh, nggak akan ke mana, bang"

"Aamiin"

"Abang jangan lama-lama resmiin Andita nya. Kalau perlu langsung lamar nikah aja. Umur Abang udah cukup banget buat jadi bapak. Dan di gantung adalah hal yang paling tidak enak" pesan Devi sungguh-sungguh.

"Iya, adekku sayang. Abang paham maksud kamu. Akan Abang laksanakan segera pesan kamu" ucap Deni.

"Iya. Ya udah, Devi tidur dulu ya bang? Abang juga cepetan istirahat. Seharian ini kita udah bercapek ria bersama"

"Iya. Kalau gitu, Abang ke kamar sebelah, ya? Kamu cepet tidur, selamat malam"

"Iya. Selamat malam, Abang"

Deni pun berjalan meninggalkan kamar adiknya. Setelah Deni menutup pintu, Devi segera memejamkan mata. Ia sudah lelah karena seharian menangisi hatinya. Kali ini, ia mencoba tidur tanpa hal-hal yang berbau Rama. Ia ingin mengikuti saran abangnya. Membiasakan diri tanpa lelaki itu dan kenangannya.

❌❌❌

Faidatul Mar'ah

Jember, 18 April 2022

Revisi, 07 Agustus 2022

Selamat dini hari menjelang sahur..

Maaf, untuk part ini pendek sekali..

Semoga kalian menikmati..

Terima kasih buat yang udah baca, vote, dan komen. Berkah buat kita semua, Amien..

Terima kasih..

Sampai jumpa...

Andai Kau Tahu Sakitnya Melepaskan (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang