48. Tertohok Kenangan Lalu

2K 140 8
                                    


Yuhuuuu..

Selamat malam semuanya..

Duh, aku seneng banget bacain komen kalian yang pada geregetan..

Sampai aku Atit peyut.. 🤭🤭🤭

Ma kasih buat yang udah vote, komen, dan follow..

Kalian semua semangatku🥰🥰🥰

Happy reading ya, readersku..

❌❌❌

Suasana duka masih menyelimuti kediaman Rama. Lintang telah di kebumikan kemarin sore. Walau begitu, masih banyak orang yang berdatangan untuk berbela sungkawa hingga pagi ini.

Di tinggal pergi untuk selama-lamanya, adalah pukulan besar bagi Rama. Pria itu kehilangan semangat hidupnya. Ia terus saja melamun dan sesekali histeris memanggil sang istri yang tidak mungkin bisa hidup kembali.

Ia mengabaikan tugasnya sebagai ayah, yang seharusnya merawat dan menjadi penenang bagi kedua putranya.

Banyak yang menyesalkan tingkahnya namun, berakhir membiarkan. Karena mereka semua berpikir jika Rama memang sedang dalam masa kehilangan. Dan kehilangan pasangan hidup, tentu adalah kepahitan yang siapa pun tak akan ada yang sanggup membayangkan.

Angka jam dinding di kamarnya sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Matahari juga semakin terik namun, ia tak sekalipun beranjak dari tempat tidurnya. Ia masih setia berbaring dengan memeluk foto pernikahannya dengan almarhumah.

Ah, dadanya kembali sesak mengingat kebersamaan dengan sang istri yang tidak begitu lama. Kalau dulu mereka sempat terpisah karena perjodohan, maka sekarang mereka terpisah karena kematian.

Di lantai bawah, suasana tengah ramai dengan tangisan Rafkha dan Arjuna, yang sudah rewel sejak bangun pagi tadi. Sepertinya mereka merasakan kehilangan seperti yang papa mereka rasakan.

Mama Rama dan mertuanya dengan sabar menenangkan dua anak yang telah piatu itu. Berbagai cara mereka lakukan agar sang cucu bisa tenang.

Papa Hendra yang tak tahan dengan tingkah kekanakan Rama, tanpa permisi naik ke lantai dua untuk memanggil putranya itu.

Sampai di depan kamar Rama, beliau begitu saja membuka pintu. Tidak ada reaksi apa pun setelahnya, karena sang pemilik kamar tengah termenung dengan posisi yang sama seperti tadi.

Pria nyaris enam puluh tahun itu mendekati putranya. Hatinya juga pilu melihat putranya yang seperti itu. Tapi, ada yang lebih penting dari perasaan Rama sendiri, yaitu dua anak peninggalan almarhumah.

"Setiap yang hidup sudah di pastikan mati. Kita hanya ciptaan Allah, kembali pun juga pada Allah. Segala sesuatu dalam hidup nggak ada yang abadi, nak" ucap papa Hendra sembari mengelus pundak Rama.

"Rama udah kehilangan istri, pa. Rasanya seperti mimpi, sakit sekali pa" sahutnya lirih dengan posisi masih membelakangi di mana papanya tengah duduk.

"Iya, papa tahu. Terpisahkan oleh kematian adalah mimpi buruk bagi setiap orang. Namun, kamu harus ingat, ada anak yang harus kamu urus juga. Sedari pagi mereka rewel terus. Mungkin kangen sama bundanya. Dan karena bunda mereka udah di alam sana, tugas kamu menenangkan mereka. Temui anak-anakmu, ya?" bujuk papa Hendra pelan.

"Nggak pa, aku nggak mau ketemu mereka. Lihat wajah mereka, maka akan semakin munculin bayangan istriku di sana" tolak Rama tegas.

"Rama! Jangan egois! Oke kamu memang kehilangan istri tapi, jangan sampai anak-anak kamu kehilangan kasih sayang papanya juga! Ingat Rama, maut itu udah jadi takdir dari Allah. Merawat anak adalah kewajiban yang nanti akan di pertanyakan setelah kematian, entah dengan atau tanpa istri. Apa kamu rela, nelantarin anak kamu gitu aja?!" sergah papa Hendra tajam.

Andai Kau Tahu Sakitnya Melepaskan (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang