41. Menemui Devi

1.7K 137 4
                                    


Dua Minggu berlalu dari kepulangan Devi. Perempuan itu kembali beraktivitas seperti biasa. Bahkan kini, kegiatannya bertambah. Selain menjalankan resto, ia juga harus terjun di kantor yang telah sang papa amanatkan kepadanya.

Bagaimanapun lelahnya, ia sangat menikmati peran barunya. Segala hal yang berbau selain pekerjaan ia tinggalkan. Tak ada waktu baginya untuk kembali menjadi lemah seperti dulu.

   Pagi ini, seperti biasa, ia sudah siap dengan tas kerja dan barang-barang penting lainnya. Ia berencana di jam makan siang nanti, akan berkunjung ke restonya yang sudah dua Minggu ini ia tinggalkan.

Ia lantas melangkah turun ke lantai bawah, untuk menikmati sarapan bersama keluarganya.

Ah, berbicara tentang keluarga, ada hal besar yang akan di lalui keluarganya. Deni, sang kakak, sebentar lagi akan menikah. Minggu depan proses lamaran kedua sejoli itu akan di gelar. Hanya lamaran sederhana, sesuai kesepakatan kedua keluarga.

Devi mendudukkan diri di kursi yang biasa ia duduki, ketika sampai di meja makan. Di meja itu sudah terlihat secangkir kopi hitam yang di suguhkan. Ia dengan berbinar segera meraih kopi itu, dan meminumnya penuh penghayatan. Tingkahnya itu membuat si abang diam-diam mencebikkan bibir.

"Ini dateng-dateng langsung kopi aja! Sapa dulu kek atau gimana, keluarganya" protes Deni dengan wajah kesal, Devi hanya tersenyum seadanya.

"Nikmat mana lagi yang bisa aku dustakan, Abang? Kopi hitam adalah nyawaku" selorohnya menimpali protesan Deni.

"Isi nasi dulu nak, perutnya. Biar maag kamu nggak kambuh" peringat mama Rumi yang tengah mengisi piring papa dengan nasi.

Keluarga itu memang berada namun, memakan nasi di pagi hari adalah rutinitas yang tak bisa mereka tinggalkan. Mereka tidak terbiasa memakan roti sebagai menu sarapan. Seperti orang kota kebanyakan.

"Iya, ma" jawabnya singkat.

Ia kemudian segera mengisi piringnya dengan makanan lalu mulai menyantapnya, karena hari sudah semakin siang. Bukan tidak mungkin ia akan terjebak macet di jalanan, jika ia tak segera berangkat.

Selesai dengan acara makannya, ia segera berpamitan untuk berangkat ke kantor pada keluarganya. Ia akan berangkat sendiri karena letak kantornya berbeda arah dengan kantor pusat, yang di kelola langsung papa dan abangnya.

Masuk ke dalam mobilnya, ia segera membawa kereta besi itu mengaspal. Menuju tempat di mana ia menghabiskan sehari penuhnya beberapa hari ini.

❌❌❌

     Di waktu yang sama namun, di tempat yang berbeda. Diky tengah menikmati sarapan bersama keluarga besarnya. Arila, sang tunangan, juga setia berada di sampingnya.

Pertemuan mereka dengan Devi di resto waktu itu, membuat Arila akhirnya paham. Bahwa Diky yang kini menjadi tunangannya, adalah orang yang pernah berjuang untuk perempuan pemilik resto itu. Salah paham, membuat Diky akhirnya menerima perjodohan mereka.

Pertemuan itu sedikit banyak membuat kebimbangan di hati Diky, Arila tahu itu. Tapi, ia tidak akan menyerah begitu saja. Biar saja Diky belum mencintainya. Cepat atau lambat, Arila pastikan calon suaminya itu, akan berbalik memberikan hati dan cintanya dengan suka rela.

Lelaki penurut itu tidak akan berani melewati batas. Karena undangan pernikahan mereka sudah tercetak bahkan sebagian sudah di sebarkan. Ia tak akan tega mengecewakan dua keluarga dengan membatalkan rencana pernikahan, yang sudah di rancang sedemikian matangnya.

"Kamu udah selesai makannya?" tanya Diky pada Arila. Ia akan mengantarkan perempuan itu ke kantornya.

"Udah, mas. Kamu nggak apa-apa nganterin aku? Nggak kesiangan?" jawab dan tanya Arila.

Andai Kau Tahu Sakitnya Melepaskan (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang