Seminggu KemudianPagi telah datang namun, masih gelap. Karena matahari belum meremang apa lagi terang. Di dalam rumahnya, Devi sudah terbangun sedari pukul tiga pagi. Ia sedang memasak sesuatu, untuk bekal mbok Wati di perjalanan nanti.
Hari ini, perempuan paruh baya lebih itu akan kembali ke kampung halamannya. Beliau resmi mengundurkan diri hari ini. Bukan karena tidak betah bekerja pada Devi, hanya saja anak beliau menginginkan mbok Wati beristirahat di masa tuanya. Devi tentu tak bisa menolak kemauan mulia anak pembantunya tersebut.
Mbok Wati sedang berada di kamarnya. Beliau sedang memasukkan sisa-sisa barang pribadinya, yang belum sempat beliau masukkan. Mbok Wati tidak tahu kalau majikannya sedang memasak untuknya.
Setelah selesai, mbok Wati segera keluar dari kamar dan menuju dapur. Sampai di sana ia melihat majikannya tengah memindahkan masakan ke piring.
"Mbak Devi dari kapan ada di dapur?" tanya mbok Wati sembari mendekat.
"Dari tadi, mbok. Devi mau masakin mbok sebelum mbok pulang. Selama ini kan mbok yang selalu masak buat Devi. Jadi, biar di sisa waktu kebersamaan kita yang tinggal beberapa jam lagi, Devi gantian melayani mbok" jawab Devi panjang lebar.
"Wah, terima kasih. Saya bantu apa nih, mbak?" tanya mbok Wati hendak menyentuh alat masak.
"Eh, jangan mbok! Jangan lakukan apa pun, semua apa kata Devi. Mbok duduk aja, terima jadi. Ini lauknya sudah matang, sebentar lagi nasinya juga siap"
"Beneran, mbok duduk aja?" tanya mbok Wati ragu.
"Iya mbok, anggap aja mbok lagi makan di restoran Devi, terus Devi pelayannya"
"Mbak bisa aja"
"Nggak, apa-apa. Ayo mbok, duduk dulu"
"Baiklah"
Mbok Wati menyerah dan duduk di kursi sesuai perintah Devi. Sementara perempuan muda itu, kembali merampungkan memasak yang tinggal satu menu lagi.
Tak lama berselang, semua masakan telah siap. Devi menata semuanya ke atas meja. Juga beberapa sebagian ia masukkan ke dalam rantang makanan yang masih baru. Ia sengaja menyisihkan untuk bekal mbok Wati di perjalanan.
"Devi mau salat shubuh dulu ya, mbok? Nanti kita sarapan sama-sama"
"Iya, mbak"
Devi melepas Appron dan mencuci tangannya, kemudian beranjak masuk ke dalam kamarnya untuk melaksanakan kewajiban paginya.
❌❌❌
Devi dan mbok Wati kembali duduk bersama di meja makan, ketika matahari baru menampakkan biasnya. Mereka memulai sarapan bersama di jam-jam terakhir kebersamaan mereka. Dua perempuan berbeda generasi itu makan dalam keheningan.
Sepuluh menit berselang, mereka berdua akhirnya selesai sarapan. Mbok Wati segera membawa piring bekas makan mereka berdua.
Saat itulah, suara derum mobil masuk ke halaman rumah Devi dan tak lama mati. Kemudian pintu di ketuk perlahan. Devi yang sedang menganggur, memilih beranjak ke deona untuk membukakan pintu.
Kunci sudah ia buka berikut daun pintunya. Seorang lelaki muda nampak di depannya. Dialah Yoga, anak bungsu mbok Wati. Yang sudah sempat Devi kenal ketika ia membawa mbok Wati dua tahun lalu.
"Yoga, kan?" sapa Devi.
"Iya mbak, saya Yoga"
"Ayo masuk dulu, mbok kamu sedang di dapur. Ayo masuk, kamu sarapan dulu" ajak Devi pada anak pembantunya itu.
Lelaki muda itu menurut, karena jujur saja perutnya sudah keroncongan. Ia mengikuti langkah Devi yang menggiringnya ke meja makan.
"Mbok? Ini ada anaknya dateng! Tolong ambilkan makan ya, mbok?"
"Iya, mbak"
Mbok Wati yang baru selesai mengelap piring segera menghampiri Devi yang sudah bersama anaknya.
Ibu dan anak itu begitu saja berpelukan, saling melepas kerinduan. Meski selama ini tak putus berkomunikasi tapi, bersua secara langsung tentu berbeda rasanya.
"Yoga kangen, Mak" ucap lelaki itu setelah merenggangkan pelukan.
"Sama, Mak juga kangen. Anak istrimu baik?"
"Baik, Mak. Mereka udah nggak sabar pengin ketemu dan kumpul sama Mak. Makanya Yoga cepet dateng nyusulin Mak ke rumah Bu bos"
"Iya. Ya udah, kamu makan dulu ya? Mak ambilin"
"Iya, Mak."
"Devi tinggal ke kamar bentar ya? Yoga makan aja yang banyak. Nanti Devi bekalin juga kok, tenang aja"
"Terima kasih, mbak"
"Sama-sama, santai aja."
Setelah itu, Devi masuk kembali ke dalam kamarnya. Meninggalkan mbok Wati dan anaknya di meja makan. Ada sesuatu yang ingin ia ambil.
❌❌❌
Mbok Wati sedang mengeluarkan barang-barangnya dari kamar. Devi dan Yoga menunggu di ruang keluarga. Ada sedikit kepentingan yang ingin ia sampaikan.
Mbok Wati nampak keluar dengan membawa dua tas sedang, yang langsung di ambil alih oleh Yoga. Mbok Wati menyusul duduk di samping Devi. Tangan yang mulai keriput itu menyentuh tangan majikannya yang baik hati.
"Mbak, mbok pamit pulang dulu ya? Terima kasih untuk dua tahun ini. Terima kasih untuk segala kebaikan mbak selama ini. Jujur, mbok berat ninggalin mbak sendiri. Tapi, mbok harus pulang demi keluarga" pamit mbok Wati sedih.
"Iya mbok. Terima kasih juga untuk waktunya selama ini. Mbok udah jadi keluarga Devi, nguatin Devi di segala situasi. Mbok bekerja tanpa cacat selama ini. Ini mbok, tabungan buat mbok" ucap Devi sembari mengangsurkan buku tabungan, yang di terima mbok Wati dengan ragu.
"Ambil mbok. Ini milik mbok, selama jadi pekerja Devi. Devi emang sengaja bikinin buat mbok. Isinya memang nggak banyak mbok tapi, semoga berguna buat mbok sekeluarga" ucap Devi bersungguh-sungguh.
"Terima kasih, mbak. Mbak baik banget. Padahal gaji tiap bulan aja udah cukup"
"Sama-sama. Ini memang khusus Devi bikinin untuk pegangan mbok"
"Terima kasih, mbak"
"Terima kasih mbak Devi, udah baik sekali sama emak saya" sahut Yoga.
"Sama-sama, Yoga. Oh iya, ini ada sedikit rezeki buat kamu sekeluarga. Salam kangen dari saya untuk mereka, ya? Mudah-mudahan entah kapan waktunya kita bisa berjumpa kembali" ucap Devi sembari menyerahkan amplop berisi uang, yang mau tak mau Yoga terima. Karena Devi tidak menerima penolakan.
Sekali lagi, Devi dan mbok Wati berpelukan erat. Ini adalah kebersamaan mereka terakhir kali. Setelah ini Devi akan benar-benar sendiri. Kecuali ia kembali pada keluarganya.
Dengan di temani Devi, mbok Wati keluar rumah lalu masuk ke dalam mobil yang di bawa Yoga. Beberapa tetangga berkerumun untuk mengucapkan salam perpisahan pada mbok Wati.
Mobil sedan itu telah hidup, dan perlahan meninggalkan halaman rumah Devi. Lambaian tangan tiada henti, menjadi pamungkas hari terakhir Devi dan mantan pembantunya.
Mobil itu benar-benar hilang, membawa mbok Wati dan Yoga ke kampung halamannya. Sementara Devi masuk kembali ke dalam rumah.
Hal yang pertama ia rasakan ketika ada di dalam rumah adalah kekosongan. Karena ia benar-benar tak lagi memiliki teman. Ah, melepas mbok Wati ternyata juga sulit. Karena wanita paruh baya itu adalah teman sejatinya siang dan malam.
❌❌❌
Faidatul Mar'ah
Jember, 24 April 2022
Revisi, 07 Agustus 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Andai Kau Tahu Sakitnya Melepaskan (Terbit)
General FictionJanji suci di antara kita, memiliki makna yang berbeda. Suci dan kebahagiaan bagiku namun, kosong dan neraka bagimu. Walau hatiku telah jatuh padamu, aku bisa apa? Jika akhirnya kau memilih menepi. Aku hanya bisa merelakan tanpa mampu lagi menahan. ...