52. Ungkapan Rasa Untuk Arvika

1.9K 150 18
                                    


Oke, aku lanjut lagi ya kawan?

Happy, reading..

❌❌❌

Empat hari sudah Devi di rumah sakit. Pagi ini masuk hari ke lima, dan ia di izinkan pulang hari ini. Ia bisa bernafas lega karena ia akan terbebas dari rasa bosan yang mendera.

Dengan di bantu mamanya, ia merapikan baju ganti ke dalam tas. Sang papa sedang ada di kantin membeli sesuatu.

Tak lama kemudian seseorang masuk ke dalam ruang perawatannya. Devi dan mama menoleh bersamaan. Yang datang ternyata papanya. Calon kakek itu membawa minuman dingin di tangannya.

"Papa tumben beli minuman dingin?" tanya mama heran.

"Lagi pengin aja, ma. Udah siap, beres-beresnya?" jawab dan tanya balik papa.

"Dikit lagi, pa. Dikit lagi selesai" jawab mama.

"Oke, papa tunggu" sahut papa sembari beralih duduk di sofa.

Devi dan mamanya memasukkan barang bawaan terakhir. Bersama dengan itu, pintu yang tidak sepenuhnya tertutup kembali terbuka lebar. Sosok dokter Diky dan susternya muncul di sana. Dua orang itu mendekat.

Tatapan sang dokter pada Devi terlihat sendu, tidak seperti biasanya. Ia seperti tak rela berpisah dengan pasiennya itu. Beruntunglah ia karena belum ada yang menyadari perubahan riak wajahnya.

"Selamat pagi" sapa dokter Diky berusaha bersikap senormal mungkin.

"Pagi juga, dokter" sahut papa, mama, dan Devi hampir bersamaan.

"Udah mau pulang?" tanya sang dokter.

"Iya dok, sebentar lagi. Duh, saya senang sekali bisa cepet pulang!" sahut Devi antusias.

"Iya, selamat ya? Mbak bisa bebas bau rumah sakit. Nanti jangan lupa kontrol lagi ya, mbak? Obatnya juga jangan lupa di minum. Ingat pesan saya tempo hari soal kebiasaan asik mbak yang harus mulai di kurangi, sukur-sukur di tinggal aja" pesan dokter Diky panjang lebar.

"Iya dokter, terima kasih untuk semuanya" sahut Devi.

"Emm, mohon maaf sebelumnya pak, Bu, mbak. Ada yang ingin saya sampaikan" ucap dokter Diky mengawali. Namun, sebelum itu ia meminta sang suster kembali.

Setelah sang suster setuju untuk keluar, Diky mengambil posisi duduk di sofa tak jauh dari posisi papa Zakaria. Sementara Devi dan mama Rumi duduk di brankar.

Mama dan papa Devi secara bersamaan saling melempar pandang, saling mengedipkan mata. Mereka menyadari bahwa ada kebimbangan di diri sang dokter.

"Pak dokter? Pak dokter mau menyampaikan apa?" tanya mama Rumi langsung pada intinya.

Dokter Diky menjadi gugup luar biasa. Ia berulang kali terlihat menghembuskan nafas lewat mulut, kebiasaannya untuk mengatasi diri yang terlampau emosional.

"Em.. duh, mulai dari mana ya?" monolog dokter Diky sembari mengusap tengkuknya yang tiba-tiba terasa berat.

"Ngomong aja dok, nggak apa-apa" sahut papa Zakaria.

"Begini pak, Bu. Saya mau minta izin pada anda berdua, untuk emm, mengenal putri bapak dan ibu lebih dekat lagi. Saya, saya jujur saja, tertarik dengan putri anda, pak" ucap dokter Diky mati-matian menahan malu.

"Tertarik dalam artian gimana ya, dok? Asal dokter tahu aja, saya ini janda loh!" tanya dan papar Devi tentang statusnya.

Pengakuan Devi tentu saja mengagetkan sang dokter. Namun, sejenak kemudian dokter tersebut tersenyum.

"Saya tertarik dengan mbak Devi. Ya, sebagai lelaki dewasa tertarik dengan perempuan. Maaf kalau ungkapan saya ini terkesan terburu-buru, karena kita kenal juga baru beberapa hari. Saya tidak sekali ini jatuh cinta, saya tipe yang sulit untuk hal itu. Tapi, entah mengapa, beberapa hari bersama mbak. Saya menyadari kalau saya tertarik, suka, atau bahkan jatuh cinta sama mbak. Kalau Mbak janda, saya juga pernah gagal kok. Wajah saya ini menipu lho, saya udah tiga puluh lima tahun. Jadi, jika saya jatuh cinta, saya ingin menjalaninya ke ranah yang serius. Begitulah pak, Bu" terang dokter Diky panjang lebar dengan mimik yang lebih santai.

Andai Kau Tahu Sakitnya Melepaskan (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang