Hampir pukul sepuluh malam, keluarga mas Algha pamit pulang begitu juga dengan Pakdhe Rasyid. Kini mas Algha sedang berbincang-bincang dengan Baba di ruang tamu.
"Sudah malam Gus! Silahkan masuk! Sudah ditunggu sama Ayu!" Ucap Baba saat menyadari ku hendak menghampiri mereka. Aku hanya memenuhi permintaan Mama untuk mengajak mas Algha beristirahat. Ah! Rasanya masih gugup sekali.
Mas Algha mengangguk kemudian pamit meninggalkan ruang tamu pada Baba. Aku masuk ke kamar diikuti oleh mas Algha. Tak lupa ia juga menutup pintu. Ah kenapa dadaku berdegup sangat kencang.
Satu hal yang dilakukan oleh mas Algha saat memasuki kamarku, ia mengedarkan pandangannya hingga ke sudut kamar. Kamarku memang kecil jika dibandingkan dengan kamar yang ada di ndalem mas Algha. Bisa jadi hanya setengahnya. Hanya ada satu kasur ukuran sedang, lemari, dan meja rias. Aku duduk di tepi ranjang menunggu mas Algha.
"Tidur! Sudah malam!" Ucapnya tegas. Dengan ragu, aku merebahkan diri di kasur. Memberi ruang untuk mas Algha berbaring juga. Namun ternyata mas Algha berlalu ke kamar mandi.
Aku mencoba untuk memejamkan mata tapi tak kunjung berhasil. Mas Algha juga masih melaksanakan shalat sunnahnya. Ia begitu lama dalam sujud terakhirnya. Aku tak tahu apa yang ia ceritakan pada Tuhannya. Apapun kegelisahannya aku berharap semoga segera berlalu.
Ya, sejak tadi aku memang menangkap kegelisahan dari mata mas Algha. Aku masih bertanya-tanya, akankah ia tidak benar-benar menerima pernikahan ini.
"Jenengan mau kemana?" Tanyaku saat menyadarinya mengambil bantal di samping ku. Mas Algha tak menjawab, namun ia lanjut merebahkan diri di tempat ia shalat tadi.
"Mas! Kenapa di bawah?"
"Menurut sampeyan?" Sahutnya dingin.
"Nggih Ay sadar, Ay salah! Ay juga sudah menjelaskan semuanya! Apa jenengan masih belum memaafkan Ay?" Tanyaku berkaca-kaca.
"Saya tidak tahu apakah penjelasan sampeyan tadi benar nyatanya atau hanya bentuk pembelaan saja," ucapnya memalingkan wajah. Sungguh sakit mendengar pernyataan mas Algha. Nyatanya ia masih belum sepenuhnya percaya padaku.
"Kenapa jenengan menerima keputusan tadi Mas?" Tanyaku yang kini sudah berderai air mata.
"Apakah ada kesempatan saya untuk menolak Neng? Tidak kan! Mereka semua percaya dengan pembelaan sampeyan!" Ucapnya sedikit meninggi. Dadaku bagaikan dihujani ribuan belati. Mengapa sesakit ini YaAllah! Seseorang yang baru saja menjadi suamiku tak mempercayai ku sama sekali.
"Terserah jenengan mau percaya atau tidak! Tapi Ay mohon, jika memang jenengan tak Sudi tidur seranjang dengan Ay, biar Ay yang tidur dibawah!" Ucapku memindahkan bantal.
"Jangan aneh-aneh!" Ucap mas Algha mengembalikan bantalku. Aku tersenyum miris saat mas Algha beranjak kemudian turut merebahkan diri di sampingku. Walaupun ia memunggungiku, setidaknya ia masih rela tidur bersama ku.
Jika memang sikap mas Algha membuat ia lega dan memaafkan ku, aku ikhlas YaAllah. Apakah ini memang hukuman ku karena kebodohan ku. YaAllah dadaku sesak. Sebisa mungkin aku menahan suara tangisku agar tak mengganggu mas Algha.
***
Dering ponsel mengganggu kenyamananku. Sepertinya belum lama aku memejamkan mata, tapi alarm telepon sudah beralun merdu. Aku duduk untuk mengumpulkan nyawa yang belum sepenuhnya kembali. Tempat di sampingku sudah kosong, itu artinya mas Algha sudah bangun. Mungkin sekarang ia sedang di mushalla melihat sudah memasuki waktu subuh.
Aku bangun merapikan tempat tidur kemudian berlalu ke kamar mandi. Aku keluar, mas Algha sudah duduk di tepi kasur bermain ponselnya.
"Maaf, Ay bangunnya telat! Jenengan mau Ay buatkan teh atau kopi?" Tawarku.
"Saya puasa" jawabnya tak melirikku sama sekali.
"Loh mas? Tadi jenengan mboten sahur? Maaf, Ay ngga tahu!" Seruku bingung.
"Saya sudah terbiasa!" Ucapnya kemudian keluar kamar. Aku hanya menghela nafas pasrah kemudian beralih ke dapur membantu Mama.
"Gus Arsyad nya mau kerja hari ini mbak?" Tanya Mama sambil memotong sayuran.
"Hehe lupa Ma ngga nanya!"
"Lah gimana? Sana bawain Teh suaminya mbak! Sekalian tanyain kerja apa ndak!"
"Mas puasa, Ma!" Jawabku membuat Mama mengangguk paham.
Semua masakan sudah tertata rapi di meja makan. Aku memutuskan untuk bersiap-siap untuk berangkat ke resto. Kamar mandi tertutup rapat, mungkin mas Algha sedang di dalamnya. Daripada menunggunya, aku memilih untuk mengganti baju di kamar.
Dengan perasaan was-was dan terburu-buru, aku segera mengganti baju santai dengan baju formal. Ya, meskipun mas Algha sudah sah menjadi suamiku, aku masih malu hanya untuk membuka kerudung didepannya.
Ceklek!
Aku terkejut. Reflek mengambil kerudung yang berada di kasur untuk menutupi kepalaku. Hahh untung saja tidak terlambat. Mas Algha menarik sajadah di gantungan kemudian melaksanakan shalat tanpa bersuara. Selesai berias aku keluar untuk sarapan, mas Algha masih belum selesai dengan shalatnya.
"Jenengan kerja?" Tanyaku setelah melihat mas Algha menyelesaikan shalatnya.
"Hmm," jawabnya singkat.
"Jenengan ngga ada baju ganti?"
"Ada di kantor," aku pun mengangguk paham.
"Ayo!" Ajak mas Algha mengambil kunci motorku yang tergantung. Aku yang paham, segera memasang kaos kaki lalu menyusul mas Algha. Jujur, aku merasa gugup harus boncengan dengannya.
Dua puluh menit perjalanan terasa begitu lama. Padahal, mas Algha melajukan motor sudah diatas rata-rata. Salip-menyalip dengan kendaraan lain, untuk berebut di jalan ternyaman. Namun, keheningan sepanjang jalan sepertinya membuat perjalanan ini lebih lama.
Mas Algha mengantarku hingga ke parkiran. Aku turun kemudian mengadahkan tangan untuk menyalaminya. Namun, bukan tangannya yang kudapatkan, tapi kunci motor yang ia sodorkan."Jenengan?" Tanyaku heran.
"Naik ojol!" Jawabannya singkat meninggalkan ku.
"Mas!" Kejarku hingga berhasil meraih lengannya.
"Apalagi?" Tanyanya dengan nada tinggi. Mataku sudah berkaca-kaca mendengar bentakan mas Algha.
Ayu! Kamu harus kuat! Jangan lemah didepannya! Aku memang berjuang merebut posisiku di hatinya lagi. Tapi bukan berarti aku harus mengemis padanya kan?
"Bawa motor Ay! Setidaknya isi bensinnya hingga full. Sudah kewajiban jenengan kan buat menafkahi kebutuhan Ay?" Tuturku memberikan kunci motor pada mas Algha.
"Ay, pamit! Assalamualaikum!" Ucapku setelah menyalaminya kemudian meninggalkan mas Algha yang masih terdiam.
Diam-diam aku melihat gerak-gerik mas Algha dari balik tirai resto yang belum buka ini. Memastikan mas Algha benar-benar pergi dengan motorku.
Ya Allah, mengapa harus seperti ini yang hamba rasakan. Aku kira, dengan menikah hubungan ku dengan mas Algha semakin erat. Nyatanya malah sebaliknya.
Aku mengusap setitik air mata yang hampir menetes. Kemudian bergerak membuka tirai resto.Oke Ayu! Kamu harus semangat!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodohku, Kamu! [SELESAI]
Teen FictionTerkadang hidup tak seperti apa yang kita bayangkan. Boleh jadi hari ini sesuai dengan rencana kita, namun besok yang terjadi diluar nalar kita. Jodoh, rezeki, maut, sudah tergariskan sedemikian rupa. Hanya saja, mampukah kita menjalaninya dengan ik...