Sadar

1.6K 127 8
                                    

Waktu antara Maghrib dan isya memanglah terbilang sebentar. Tapi setidaknya sudah cukup menenangkan hatiku ini. Seperti biasa, aku melakukan beberapa aktivitas sembari menunggu waktu isya, mengadu pada sang pencipta, meminta agar lebih lapang dada.
Selepas shalat isya, Teh Firla menyusul ku untuk ke rumah sakit.

Ada rasa bahagia sekaligus gugup untuk kembali bertemu dengannya setelah sepuluh bulan lamanya. Walaupun keadaan mas Algha dibawah alam sadarnya, tapi aku yakin dia akan menyadari kehadiran ku. Doaku tak pernah lepas untuk kesembuhannya.

Kini kuhanya menangis dibalik kaca. Melihat mas Algha tak berdaya dengan bantuan alat-alat medis membuat ruang sesak didada. Kata dokter, keadaan mas Algha sudah kembali normal, hanya saja menunggu ia sadar segera.

"Teteh tahu, sudah berapa lama mas Algha menyembunyikan penyakitnya? Ay rasa tidak mungkin semua terjadi secara tiba-tiba" tanyaku. Kami duduk di kursi penunggu de depan ruangan mas Algha.

"Lebih tepat kapannya, Teteh ngga tau. Tapi, Teteh rasa Arsyad mengetahui penyakitnya sejak ia di Indonesia"

"Apa Teteh tidak pernah bertanya padanya?"

"Dia tidak pernah menjawabnya. Bahkan dia marah kepada Teteh saat Teteh mengabarkan bahwa ia sedang sakit. Teteh tidak sengaja pernah menemukan banyak obat-obatan di kamarnya sekaligus beberapa surat yang menunjukkan ia sedang menjalani serangkaian pengobatan. Teteh tidak berani menanyakan lebih lanjut mengingat kondisinya yang tidak pernah benar-benar stabil."

"Kenapa mas Algha sengaja menyembunyikannya?" Tangisku kembali pecah. Aku benar-benar merasa gagal menjadi istri untuknya.

"Arsyad pasti punya alasan untuk itu semua. Yang terpenting sekarang doa kita untuknya jangan pernah lepas!" Aku berharap semoga benar-benar demikian. Semoga apa yang kutakutkan selama ini hanya angan ku saja.

"Sekarang kamu masuk, ya! Teteh yakin, Arsyad sebenarnya sudah menunggu kehadiran kamu sejak lama. Ingat, kamu harus kuat dihadapannya!"

Dengan kaki yang begitu berat kulangkahkan menemui mas Algha yang terbaring lemah. Senyum di bibirnya terlihat begitu tipis. Ku raih punggung tangannya untuk kucium.

"Mas, Ay ada disini. Jenengan tidak
marah kan? Karena Ay sudah kemari tanpa izin jenengan" aku berbisik menahan air mata.

"Jenengan kapan bangun? Iyan dan Iyah menunggu kepulangan jenengan! Maafkan Ay, nggih. Ay selama ini belum bisa menjadi istri yang baik untuk jenengan. Bahkan Ay juga tidak bisa menjadi ibu yang baik untuk Iyan dan Iyah. Mas! Kembalilah! Kami membutuhkan jenengan!" Aku tetap mengoceh dengan sendirinya walaupun tidak mendapatkan respon dari mas Algha. Sebisa mungkin aku menahan sesak di rongga dada, berharap mas Algha tidak menyadarinya.

Satu jam kuhabiskan bercerita dengannya berharap ia akan membuka mata. Namun, harapan ku sirna. Mas Algha tak kunjung membuka mata hingga malam begitu larut. Dengan terpaksa aku meninggalkannya dan berjanji besok akan kembali menemaninya.

***

Entah mimpi apa semalam, hari ini aku mendapat kabar yang begitu menyenangkan. Pagi tadi aku sempat menghubungi Muya untuk menanyakan keadaan si kembar. Alhamdulillah mereka semakin aktif bergerak.

Kemudian baru saja aku mendapat telepon dari Teh Firla bahwa mas Algha sudah sadar. Ia sedang perjalanan pulang dari sekolahnya untuk menjemput ku. Aku begitu bahagia mendengarnya. Aku menyiapkan penampilan terbaikku untuknya. Setelah hampir satu tahun tidak bertemu nyatanya masih saja membuat degup jantungku tak menentu.

"Assalamualaikum!" Suara Teh Firla terdengar memasuki flat milik mas Algha. Sepulang dari RS aku memang memutuskan untuk menginap di flat milik mas Algha. Teh Firla memahami keinginan ku, ia bahkan menawarkan Bu Sumi untuk menemani ku, tapi aku menolaknya. Lagian flat kami bersebelahan, tak perlu ada hal yang dikhawatirkan.

Jodohku, Kamu! [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang