Preklampsia

1.6K 118 7
                                    


Selamat malam:)

Terima kasih sudah selalu menunggu:)

















****


Saat Allah memberi ujian pada hamba-Nya, tak mungkin luput dari kekuasaan-Nya. Mengeluh itu biasa, tapi jangan lupa untuk berserah diri pada Sang Pencipta. Cobaan tidak akan berhenti menghampiri setiap manusia sampai ajal menjemputnya.
Akankah aku kuat? Sebenarnya tidak! Terkadang aku merasa lelah menjalani hidup ini. Bertanya-tanya kapan semuanya akan berakhir. Tapi tak kunjung menemukan jawaban.

Tapi aku yakin, Allah tidak akan memberikan ujian diluar kemampuan hamba-Nya, bukankah begitu. Aku bersyukur selalu dikelilingi oleh orang-orang baik yang selalu memberiku support. Baba, Mama, Buya, Muya, selalu memberi kekuatan padaku. Aku tidak tahu jika tidak ada mereka.

Sejak mendapatkan kabar bahwa mas Algha sedang koma, pikiranku semakin kacau. Ingin sekali aku berada disampingnya, berdoa untuknya, memberikan semangat untuknya, dan merawatnya. Tapi ternyata, aku tidak mampu akan semua itu. Kehamilan ku membuat ku terhambat dalam hal apapun. Aku juga sempat memaksa untuk menyusul mas Algha, tapi semua keluarga melarangnya. Kehamilan ku yang memasuki Minggu ke-32 akan lebih merepotkan jika harus turut ke Arab. Keesokan harinya, Buya dan Gus Kahfi yang terbang untuk melihat keadaan mas Algha.

Kata Teh Firla, mas Algha mengidap leukemia. Semua penyakitnya ia sembunyikan termasuk pada Teh Firla sendiri disana. Baru saat keadaan mas Algha yang tiba-tiba drop dan menyebabkan koma hingga sekarang, Teh Firla mengetahui semuanya.

Muya sangat terpukul mendengar kabar itu. Seminggu terakhir ini, keadaan Muya tak benar-benar sehat. Keadaan ndalem begitu kacau. Bahkan aku tak mampu berpikir apapun. Yang kulakukan hanya berdoa dan berserah diri pada yang Maha Kuasa.

"Mbak!" Terdengar suara Mama membuyarkan lamunanku. Sejak berita itu, Mama setiap hari menemani ku di ndalem.

"Makan ya ...." Tawar Mama yang sudah membawa nampan ditangannya.

"Ay, ngga nafsu, Ma!" Tolakku. Lidah ku begitu pahit untuk menelan makanan.

"Sedikit aja, Mbak! Kasian mereka yang disini, Lo!" Bujuk Muya mengusap perut buncit ku. Akhirnya aku pun menerima suapan dari Mama. Kunyahan demi kunyahan aku lalui bersama pikiran yang sedang berkelana. Bayangan mas Algha yang terbaring lemah di rumah sakit menghantui pikiranku. Bagaimana jika Allah mengambil mas Algha dariku. Mampukah aku membesarkan anak-anaknya sendirian. Tak terasa, cairan bening mengalir indah di pipiku.

"Kamu harus kuat, ya, Mbak! Tetap berpikir positif!" Ucap Mama memberiku semangat.

"Kenapa harus, Ay, Ma?" Lirihku dengan pandangan kosong.

"Ay benar-benar lelah, Ma!!" Ucapku lagi. Seketika Mama memelukku.

"Nduk! Mama yakin, kamu kuat! Kita lewati bersama-sama ya ....!" Tutur Mama yang turut menangis.

Aku tidak tahu harus berbuat apa. Nyatanya aku memang tak berguna sedikitpun. Mungkin jika aku tidak egois kala itu, keadaannya tidak akan serumit saat ini. Jika aku tidak menuntut mengejar karirku, mungkin aku akan bersama mas Algha saat ini. Ya, semua hanyalah tinggal bayangan saja.

"Kita ke masjid, yuk! Sebentar lagi istighosah Akbar," ajak Mama setelah aku menolak suapan ketiga Mama.
Aku hanya mengangguk pelan. Mama langsung beranjak mempersiapkan mukenah ku kemudian membantuku ke kamar mandi.

Hari ini memang kebetulan jadwal rutinan istighosah Akbar yang pastinya terbuka untuk umum. Sekaligus diadakan doa bersama untuk mas Algha. Istighosah kali ini dipimpin oleh Gus Alfan, putra Ammi Ilham, sekaligus pengasuh santri putra.

Jodohku, Kamu! [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang