Permintaan

1.6K 126 8
                                    

Rintik kecil mengguyur kecamatan Sedati, Sidoarjo pagi ini. Suasana semalam yang panas kini terbayarkan dengan sejuknya fajar pagi. Adzan subuh membuat ku terpaksa meninggalkan gulungan selimut yang begitu hangat. Terlihat mas Algha sudah rapi dengan sarung dan baju kokonya.

"Ayo cepet! Saya tunggu!" Perintahnya agar aku lekas mengambil wudhu.
Keluar dari kamar mandi, mas Algha sedang menegakkan shalatnya lengkap dengan sajadah dan mukenah di sampingnya. Tumben mas Algha menyiapkannya untukku.

Dengan segera aku memakai mukenah itu kemudian menyusul untuk melaksanakan shalat Sunnah qabliah subuh. Shalat Sunnah yang hampir tak pernah aku lewatkan. Karena pahalanya yang lebih besar dari alam dan seisinya.

Usai berjamaah subuh, aku merapikan semua barang-barang sebelum meninggalkan hotel. Pukul sebelas siang, mas Algha harus check in ke bandara. Iya, hari ini adalah hari keberangkatannya ke Arab. Aku mengantarnya sendiri.

"Neng!" Panggil mas Algha saat aku menata koper yang sempat terbuka tadi malam.

"Dalem!" Jawabku setelah meletakkan koper itu di samping kasur. Mas Algha yang ternyata sudah duduk ditepi kasur menarikku agar turut duduk disampingnya.

"Maaf!" Ucapnya lirih sembari mengecup punggung tanganku. Netranya terus memandangi wajahku membuat detak jantungku semakin tak karuan. Aku hanya memalingkan wajah untuk mengurangi rasa gugup pada diriku.

"Apa sampeyan benar-benar ikhlas dengan kepergian saya?" Tanyanya lembut. Sangat lembut. Membuat mataku semakin memanas. Kenapa mas Algha baru bertanya mengenai hal ini.

"Jawaban Ay tidak berguna, bukan Mas? Meskipun Ay jawab tidak, jenengan akan tetap pergi!" Jawabku membalas tatapannya.

"Maaf!" Ucapnya lagi menarik tubuhku hingga tenggelam ke dalam dada bidangnya.

"Jenengan jahat!" Tangisku memukul-mukul dadanya. Mas Algha semakin mendekapku erat seolah tak ingin melepaskan. Ia kembali menatapku dalam-dalam. Wajahnya begitu sayu penuh beban. Matanya pun memerah menahan tangis.

"Maafkan saya, Neng! Saya mohon, sampeyan bertahan, nggih!" Ucapnya pelan.

"Bagaimana Ay bertahan jika tidak ada jenengan?" Aku kembali mengamuk padanya. Semua emosiku ku keluarkan juga saat ini.

"Kenapa jenengan menikahi, Ay?"

"Kenapa jenengan tidak mau melepaskan, Ay?"

Cup! Mas Algha mencium bibirku membuat ocehanku berhenti seketika. Kecupan mas Algha beralih ke kuluman. Ia terus mencumbu ku dengan penuh kasih sayang. Ini baru pertama kalinya untukku. Aku benar-benar tidak siap dengan serangan mas Algha. Aku memukul dadanya saat merasa kehabisan oksigen.

Seketika aku mengalihkan pandanganku setelah mas Algha melepaskannya. Aku menutupi pipiku yang memanas. Jantungku berdegup sangat keras.

"Neng!" Panggil mas Algha menarik wajahku untuk menatap nya. Kini wajahnya terlihat semakin sayu. Matanya pun berkaca-kaca seolah takut kehilangan.

"Percayalah! Saya tidak akan meninggalkan sampeyan sampai kapanpun!" Ucapnya kemudian mencumbu kembali seluruh wajahku.
Aku mendorong paksa tubuh mas Algha, tidak terima dengan perbuatannya. Bagaimana bisa aku percaya bahkan ia akan meninggalkan ku dalam waktu cukup lama.

"Bolehkah Ay meminta sesuatu sebelum jenengan pergi?" Tanyaku ragu. Aku berharap semoga keputusan ku menjadi yang terbaik. Aku hanya tidak ingin kehilangannya.

Bolehkah aku egois untuk mempertahankan rumah tangga ini.
Mas Algha mengangguk setuju membuat bibirku semakin kelu untuk berkata-kata.

Bismillah, "Ay ingin menjadi istri seutuhnya untuk jenengan" ucapku menggigit bibir.

Mas Algha nampak terkejut dengan permintaan ku. Ia memejamkan mata kemudian menghela nafas panjang.

"Saya tidak ingin sampeyan menyesal nantinya!" Seru mas Algha mengusap rambutnya kasar.

"Apa yang harus Ay sesali? Salah jika Ay menuntut hak Ay? Jelas salah! Karena memang jenengan tidak pernah mengharapkan Ay!" Ucapku terlalu malu. Kenapa begitu sakit saat mendapat penolakan darinya. Sebegitu bencinya kah mas Algha padaku.

"Terima kasih, mas! Mungkin cukup disini Ay mengantar jenengan!" Ucapku kemudian berdiri mengambil barang-barang ku.

"Sampeyan mau kemana?" Tanya mas Algha dengan nada tak percayanya.

"Apa masih penting buat jenengan?"

"Please, Neng! Tolong mengertilah!"

"Jangan selalu menuntut untuk dimengerti, jika jenengan tak mampu memahami!" Ucapku melangkahkan kaki ke arah pintu.


Grep! Mas Algha memelukku erat menahan kepergian ku. Aku tak cukup tenaga untuk memberontak darinya. Koper dan tas yang ku bawa pun sudah ia singkirkan dengan paksa.

"Jangan pernah menyesal karena saya melakukan ini," lirihnya sebelum membawa tubuhku kembali ke ranjang. Ia terus melakukan aksinya dengan begitu berhati-hati. Entah aku harus senang atau menyesal saat mas Algha menuruti permintaan ku.

.
.
.
.
.

Akhirnya, fajar pagi Sedati, Sidoarjo menjadi saksi bisu penyatuan kami. Pagi itu, mas Algha benar-benar memiliki ku seutuhnya. Tiga jam sebelum keberangkatannya meninggalkan tanah air.

Bukan tak memiliki alasan mengapa aku begitu memaksanya kala itu. Aku hanya benar-benar tidak ingin kehilangannya. Agar aku juga tidak memiliki alasan untuk lelah menunggu kepulangannya.

Dan kini, tepat dua bulan kepergian mas Algha, aku hanya mampu menatap benda putih kecil itu dengan berlinang air mata. Aku tidak tahu, apakah ini akan menjadi kabar bahagia untuk mas Algha atau malah menjadi kabar duka baginya. Ya, pergulatan ku dengan mas Algha pagi itu benar-benar membuahkan hasil.

Ini memang tujuan ku. Sepertinya dengan aku mengandung anak mas Algha akan mengeratkan hubungan kami. Dengan adanya bayi ini, mas Algha akan bersamaku. Yah, itu harapanku kala itu. Saat memutuskan menyerahkan diri sepenuhnya untuk mas Algha.

Tapi semua harapan ku mungkin akan sirna. Seminggu terakhir, mas Algha tak ada kabar. Ponselnya tak bisa dihubungi. Aku masih mencoba bersabar dan berharap semoga ia baik-baik saja. Meskipun komunikasi ku dengan mas Algha hanya sekadar membahas pekerjaan, setidaknya aku tahu bahwa ia sedang baik-baik saja disana.

Setiap harinya, aku selalu mencari topik mengenai pekerjaan agar memiliki alasan untuk berkomunikasi dengan mas Algha. Miris memang, status suami istri tidak cukup membuat ku leluasa untuk memilikinya.

Jujur, pagi ini aku begitu merindukan mas Algha. Setelah beberapa kali bolak-balik ke kamar mandi, aku hanya mampu tersenyum miris menatap alat pendeteksi kehamilan yang ku simpan sejak dua Minggu yang lalu. Bahkan hingga saat ini pun belum ada satu orang pun yang kuberi tahu mengenai kehamilan ku ini.

Entahlah, aku masih ragu walaupun hanya untuk mengabari orang tua dan mertuaku. Aku takut, mereka akan membawaku pergi dari rumah singgah ini.

Semoga Allah selalu memberiku kekuatan untuk melewati ini semua meskipun sendirian.

Jodohku, Kamu! [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang