"Neng!" Aku menatap tak percaya. Wajah yang begitu kurindu kembali datang. Wajahnya berseri, senyumnya begitu cerah, membuatku tak bisa menahan air mata. Aku bahagia, rasanya ini begitu nyata.
"Ini jenengan, Mas?" Tanyaku memastikan. Ia mengangguk tersenyum.
"Jangan paksakan untuk bahagia sendiri, ya! Jemput kebahagiaan sampeyan. Saya bukanlah akhir dari kehidupan sampeyan!" Ucapnya membuat ku bertanya-tanya. Aku memejamkan mata sebelum kembali bersuara.
Aku kembali membuka mata. Tapi ruangan kali ini berbeda dengan sebelumnya. Tak ada lagi mas Algha yang tersenyum padaku. Ah! Ini kamarku dengannya! Ingatan kedatangan mas Algha kembali hadir. Akankah itu mimpi?
"Jangan paksakan untuk bahagia sendiri, ya! Jemput kebahagiaan sampeyan. Saya bukanlah akhir dari kehidupan sampeyan!"
Aku meneteskan air mata mengingat ucapannya. Mengapa mimpi itu terasa begitu nyata. Jika ditanya, aku rindu akan keberadaan mas Algha, sangat! Aku sangat membutuhkan kehadirannya. Nyatanya aku tidak sekuat itu untuk menjalankan hidup ini. Ada kalanya aku merasa lelah. Mengapa harus takdir demikian yang aku jalankan. Bolehkah aku memberontak?
Aku akui, aku tidak sekuat yang orang lain kira. Aku jauh dari kata kuat. Aku lemah, sangat lemah! Aku lelah menjalankan hidup ini! Aku bagaikan atap tanpa penopang. Mustahil bertahan lama tanpa penyangga. Aku lelah dengan topeng yang kutunjukkan pada semua orang. Bohong, jika berkata aku baik-baik saja selama ini! Aku iri pada mereka yang terlihat bahagia bersama keluarganya. Sedangkan aku? Aku hanya seorang janda yang berusaha bertahan untuk kedua anaknya.
Berumahtangga? Entah aku tidak tahu. Saat aku kembali memutuskan untuk berumah tangga, aku takut yang terjadi di masa lalu kembali terulang. Dimana rumahtangga ku dengan mas Algha sejak awal tidak pernah baik-baik saja. Aku takut Iyan dan Iyah tidak bisa mendapatkan kasih sayang seorang ayah dengan sempurna. Aku takut Iyan dan Iyah merasa iri saat kasih sayang ku pada mereka terbagi. Dan banyak ketakutan lainnya yang selalu menghantuiku selama hampir 7 tahun ini. Aku lelah hanya dihantui dengan pikiran asing yang selalu menghampiri.
.
.
.
.
."Assalamualaikum, Mas! Ay, datang hari ini." Sapaku menatap makam berkeramik putih itu.
"Maaf, Ay tidak membawa Iyan dan Iyah, karena Ay ingin berdua saja dengan jenengan!" Tutur ku. Setiap menatap makamnya, air mata ini kembali luruh dengan sendirinya.
Tujuh tahun kepergiannya, tapi aku masih merasakan keberadaanya. Rasanya, tanpa raganya masih tertinggal jiwanya disekitar ku.
Seperti biasa, kunjungan ku akan selalu dipenuhi dengan cerita. Walaupun hanya aku yang bersuara, tapi aku suka melakukannya. Aku menceritakan banyak hal padanya, mulai dari Iyan dan Iyah, perkejaan, kerinduan, hingga keluh-kesah kuungkapkan. Walaupun aku tak melihat wujudnya, aku yakin dia mendengar semua ceritaku."Mas, Ay capek!" Keluhku. Tanganku bergerak bermain kelopak mawar yang tertabur. Air mataku tiada henti sejak tadi.
"Doa Ay, masih sama. Ay selalu berdoa agar berjodoh dengan jenengan bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat. Apakah salah, jika Ay tidak mengharapkan pengganti jenengan? Kenapa semua orang selalu meminta Ay untuk mencari pengganti!" Aku menumpahkan keluh-kesah ku padanya. Aku terlalu lelah mencari alasan. Banyak yang mendekati ku secara diam-diam bahkan terang-terangan. Tak jarang juga langsung memintaku pada Baba bahkan pada Buya sekalipun. Aku tidak memiliki pandangan sedikitpun untuk menikah lagi. Adanya Iyan dan Iyah sudah cukup untukku.
Setelah entah berapa lama aku menghabiskan waktu dengan mas Algha, aku pun memutuskan untuk kembali ke ndalem. Kemarin sepertinya tempat ini ramai dengan para peziarah. Terlihat dari banyaknya bunga yang tertabur di makam mas Algha dan Mbah. Wajar saja, tadi malam ada acara tahlil Akbar dalam rangka memperingati haul ke-7 wafatnya mas Algha. Tidak terasa ia meninggalkan ku begitu lama.
Di ndalem masih cukup ramai. Banyak santri yang membantu membersihkan sisa-sisa acara tadi malam. Iyan dan Iyah sudah berangkat sekolah bersama Gus Kahfi, sebelum aku pergi ke makam, tadi. Mereka sudah duduk di bangku kelas 1 SD. Sengaja, aku menyekolahkan mereka di salah satu sekolah full day di kota ini. Selain pendidikannya yang memang terkenal bagus, kesibukan ku juga tak bisa menjaga mereka jika harus sekolah setengah hari.
"Sudah pulang, Nduk?" Sapa Muya.
"Nggih, Muya!" Jawabku.
"Jangan lupa sarapan, ya! Setelah itu, Buya mau bicara!" Tutur Muya membuatku deg-degan. Pasti ada hal yang serius jika Muya bertitah demikian. Aku mengangguk menyetujui.
Sesuai permintaan Muya, aku menemui Muya dan Buya setelah sarapan. Terlihat Buya sedang membaca kitab di sofa singlenya. Sedangkan Muya sedang duduk menikmati pisang goreng di meja.
"Sudah sarapan, nduk?" Tanya Muya saat menyadari kehadiranku. Aku menjawab dengan mengangguk kemudian duduk di samping Muya. Buya menutup kitabnya lalu meletakkannya di meja.
"Ngga usah tegang gitu, Nduk!" Canda Buya setelah menyesap kopinya. Aku hanya meringis menutupi kecanggunganku. Meskipun beliau sudah kuanggap orang tuaku, rasa segan pada beliau masihlah ada.
"Nduk, kamu ngga ada niatan buat menikah lagi?" Tanya Buya begitu berhati-hati. Aku sudah menduganya, bukan hanya kali ini beliau menanyakan hal demikian. Tapi, aku selalu berhasil mencari alasan. Aku diam menunduk tidak menjawab.
"Kepergian Arsyad sudah cukup lama. Buya rasa kini sudah waktunya kamu memulai yang baru, Nduk." Tutur Buya membuat air mataku menetes begitu saja.
"Apa kamu tidak ingin mencari pahala panjang dengan menikah?" Tanya Muya mengusap punggungku.
"Merawat anak yatim, juga pahala, kan Muy?" Belaku.
"Memang, Nduk. Tapi Iyan dan Iyah tidak selamanya kecil, kan? Mereka juga butuh sosok ayah."
"Ay, takut, Buya.... Jika menikah lagi, ay takut tidak bisa menerima Iyan dan Iyah dengan baik. Ay takut, mereka hanya mementingkan status sosial saja. Ay juga takut, Iyan dan Iyah tidak bisa menerima orang baru di kehidupan mereka," jelasku yang kini sudah menangis dipangkuan Muya.
"Nduk, kamu tahu kenapa Arsyad memintamu pergi sebelum ia meninggal?" Tanya Buya membuatku mendongak.
"Karena Arsyad tidak ingin melihat kesedihan kalian saat ia meninggalkan kalian. Arsyad juga meminta Buya dan Muya untuk turut menjaga kalian. Satu lagi, Arsyad meminta kami untuk tidak menghalangi kamu untuk menikah lagi." Hatiku begitu ngilu mendengar cerita Buya. Aku memang tidak ada disaat terakhir mas Algha. Aku tidak menyangka jika ia berpesan demikian.
"Tapi Ay tidak ingin menikah lagi, Buya! Ay hanya ingin fokus pada Iyan dan Iyah!"
"Apa salah, jika Ay berharap berjodoh dengan mas Algha bukan hanya di dunia?" Lirihku yang kini sudah menangis sesenggukan.
"Nduk, jodoh, rezeki, kematian, sudah diatur sedemikian rupa oleh Sang Maha Kuasa. Bagaimanapun kamu menolaknya, akan ada jalan untuk menuju ketetapan-Nya. Buya ataupun Muya, tidak memaksa keputusan kamu untuk menikah lagi. Kami sebagai orang tua hanya ingin melihat kamu bahagia, Nduk! Muya tahu, kamu kuat. Kamu mampu jadi atap yang baik untuk Iyan dan Iyah. Tapi ketahuilah, Nduk! Sebaik-baiknya atap, sekuat-kuatnya atap, akan rapuh jika tidak memiliki penyangga!" Nasihat Muya yang turut sedih memelukku.
"Ay perlu waktu, Ay masih belum bisa melupakan Mas Algha! Ay bahkan masih merasakan kehadirannya disekitar, Ay!"
"Nduk, sampai kapanpun kamu tidak akan bisa melupakan Arsyad! Karena kalian sudah merangkai cerita di buku yang sama. Cerita itu sudah selesai, kamu tidak bisa melanjutkannya lagi. Bagaimanapun, kamu hanya bisa membaca ulang saja. Dan kini saatnya kamu untuk membuka buku baru, merangkai cerita baru bersama orang baru!" Tutur Buya. Dalam hati aku membenarkan perkataan Buya. Ucapan mas Algha pagi tadi pun kembali terputar di otakku. Benarkah ini saatnya untuk aku membuka buku baru? Allah! Hamba serahkan semua pada-Mu!
****
Maaf semuanya:)
Ternyata belum Ending 🤭
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodohku, Kamu! [SELESAI]
Teen FictionTerkadang hidup tak seperti apa yang kita bayangkan. Boleh jadi hari ini sesuai dengan rencana kita, namun besok yang terjadi diluar nalar kita. Jodoh, rezeki, maut, sudah tergariskan sedemikian rupa. Hanya saja, mampukah kita menjalaninya dengan ik...