Selamat Jalan

2K 120 4
                                    

Aku segera turun dan berlari saat mobil Pajero ini tiba dihalaman ndalem. Pintu ndalem terbuka lebar, ada beberapa santri didalamnya yang tak berhenti membaca surah Ar-Ra'd. Tanganku bergetar hebat, dadaku berdegup kencang, mataku memanas. Fadilah membaca surah Ar-Ra'd adalah kemudahan dalam sakaratul maut. Tak sedikit dari mereka pun yang meneteskan air mata.

Aku menggelengkan kepala berharap perkiraan ku salah. Tempat yang ku tuju pertama kali adalah kamarku dan mas Algha. Benar saja, pintunya terbuka lebar dan terlihat banyak orang didalamnya. Kakiku terhenti diambang pintu saat melihat Buya membisikkan kalimat pada laki-laki yang terbaring dihadapan.

"Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un" tidak! Tidak mungkin! Mas Algha tidak mungkin secepat itu meninggalkan ku!

"Muya? Mas Algha baik-baik saja kan?" Tanyaku menghampiri Muya yang sudah berderai air mata. Beliau duduk tepat di samping kaki mas Algha. Muya hanya menggeleng menjawab pertanyaan ku.

"Teteh kenapa nangis? Mas Algha lagi istirahat kan?" Tanyaku lagi pada Teh Khalwa. Tapi ia juga tidak menjawab pertanyaan ku. Buya masih disamping mas Algha dengan menunduk. Kemudian berdiri menghampiri ku.

"Arsyad sudah pulang, Nduk!" Tutur Buya mengusap pundakku. Seketika tubuhku runtuh kelantai. Kakiku tak mampu lagi untuk menopang. Dadaku begitu sesak, air mataku mengalir begitu deras.

"Buya bohong kan? Tadi mas Algha janji nungguin Ay pulang!"

"Mas! Jenengan tidur kan! Bangun yuk! Sebentar lagi jumatan!"

"MAS ALGHA BANGUN! KENAPA JENENGAN TINGGALIN AY?" teriakku menggoyangkan tubuhnya.

"Nduk, yang ikhlas ya!" Ucap Muya memelukku. Buya bergerak mengambil gunting yang diberikan santri kemudian menuju kearah mas Algha. Buya juga menggerakkan tangan mas Algha bersendekap kemudian menutup seluruh tubuh mas Algha dengan selimut. Dibalik selimut, Buya menggunting seluruh pakaian yang digunakan mas Algha. Aku masih tidak percaya dengan semua ini.

"Muya, Ay mimpi kan? Tolong bangunkan Ay, dari mimpi buruk ini!"

"Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un! Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un! Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un!" Suara pengeras masjid terdengar. Hatiku ngilu mendengarnya.

"Telah berpulang ke Rahmatullah, Gus Arsyad, Putra Kiai Arham," suara itu terdengar bergetar. Entah berapa banyak air mata yang mengalir karena kepergiannya.

"MAS ALGHA!" teriakku saat beberapa orang mengangkat Mas Algha keluar. Tubuhku lemas, hilang sudah kebahagiaan ku. Hilang sudah sebagian hatiku. Hilang sudah separuh jiwaku. Mengapa Allah begitu cepat mengambil semua ini. Kasur didepan ku sudah kosong. Keributan kini pindah keluar, kepalaku begitu pening. Bolehkah aku memilih untuk ikut bersamanya. Tubuhku semakin meluruh ke lantai sampai gelap menghampiri ku.

.
.
.
.
.
.
.
.

Wangi aromaterapi menusuk hidungku. Mataku terlalu berat untuk terbuka. Kepalaku pening. Dadaku masih terasa sesak hingga membuatku sulit untuk bernafas.

"Minum dulu, Mbak!" Titah Mama yang entah dari kapan beliau di sampingku. Sedikit aku menyeruputnya. Air mataku kembali menetes dengan sendirinya.

"Ay, barusan mimpi kan Ma? Mas Algha tidak meninggalkan Ay kan?" Tanyaku memastikan pada Mama. Tapi Mama malah memelukku, mengusap punggungku. Box bayi didepan ku berpindah posisi. Kamarku juga sudah terlihat sepi.

"Ngapunten, Bu. Jenazah Gus Arsyad akan segera dimandikan!" Ujar salah seorang santri pada Mama. YaAllah mengapa ini terlalu nyata untuk ku. Tolong bangunkan aku dari mimpi buruk ini!

"Kamu istirahat saja, ya, Mbak!" Titah Mama membuatku menggeleng cepat.

"Ay, mau lihat mas Algha!" Lirihku membuat Muya membantu ku keluar.

Jodohku, Kamu! [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang