Sudah dua bulan aku berstatus sebagai istri Irsyad. Kami juga sudah mulai sibuk dengan urusan masing-masing. Hanya Nisa yang tinggal tetap bersama kami. Sedangkan Iyan dan Iyah tidak. Iyah memilih tinggal di ndalem bersama Buya dan Muya membuat Iyan pun turut bersamanya.
Iyah masih saja menunjukkan sikap tidak sukanya pada Irsyad dan Nisa. Padahal semua keluarga sudah berusaha memberinya pengertian. Tapi selalu saja mendapatkan penolakan darinya. Aku berusaha memahami Iyah. Aku mengalah, walaupun dari hati kecilku aku tidak ingin jauh dari kedua putra-putri ku.
"Nisa kalau sudah sarapannya, cepat siap-siap!" Titah Irsyad di tengah sarapan kami. Nisa memang penurut, ia langsung beranjak dari tempat duduknya kemudian pergi meninggalkan aku dan Irsyad berdua.
"Mau aku suapin?" Ucapnya membuat pandangan ku teralihkan padanya. Aku mengernyit bingung tidak mengerti maksudnya.
"Ayo buka mulutnya!" Perintahnya mengarahkan sesuap nasi padaku membuat ku tersadar.
"Ehh! Maaf, aku bisa sendiri, kok mas!" Cegahku mengambil alih sendok darinya.
"Kenapa?" Tanyanya lembut mengusap punggung kepalaku. Tak sadar membuat air mata ku menetes begitu saja.
"Ngga apa-apa!" Jawabku mengusap air mata kemudian melanjutkan makan walaupun terasa begitu hambar.
"Aku ada salah, hmm?" Tanyanya lagi membuatku menggeleng cepat.
"Kangen si kembar?" Tebaknya yang sangat mengenai sasaran membuat ku seketika menunduk menangis hebat.
Benar, aku rindu si kembar. Rindu keributan mereka ketika hendak pergi ke sekolah. Rindu tangis dan tawa mereka. Rindu semua hal tentang mereka.
Kini aku tak banyak interaksi dengan mereka. Aku hanya mengantar jemput mereka sekolah. Itupun Iyah sudah tidak se ekspresif dulu padaku.
"Maaf, ya... Karena kamu menikah dengan ku, membuat keadaan seperti ini!" Lirihnya menarikku ke pelukannya.
Aku melepaskan diri darinya sambil mengusap air mata, "Bukan, mas! Ini bukan salah kamu. Ini hanya keadaan yang belum bisa aku terima."
"Aku rela jika kamu memilih Iyah dan Iyan," Ucapnya membuatku terbelalak.
"Dengan entengnya kamu bilang gitu, mas? Kamu dan si kembar punya posisi yang berbeda! Jelas aku tidak bisa memilih diantara kalian!" Ucapku frustasi tidak sadar meninggikan suaraku padanya.
"Hehehe bercanda, maaf!" Ucapnya meringis dengan dua jari di samping wajahnya.
Bercanda? Mudah sekali dia bilang seperti itu. Apa pantas hal demikian dijadikan lelucon?
Aku yang kelewat kesal pun meninggalkan dia sendiri di meja makan. Aku tidak menghiraukan sedikitpun panggilannya meskipun ia menyusul ku ke kamar.
Melihat Nisa juga sudah siap dengan ransel sekolahnya membuatku segera menaiki mobil. Dia benar-benar membuat moodku hancur.
"Kok di belakang?" Tanyanya saat masuk mobil. Aku sengaja duduk di belakang, selain agar bisa bersama Iyan dan Iyah aku juga sedang malas berada disampingnya.
Irsyad hanya menghela nafas kemudian melajukan mobilnya saat aku tak memberi tanda akan merespon pertanyaannya. Sedangkan Nisa sudah duduk dengan tenang di depan.
Tak sampai sepuluh menit, mobil yang dikendarai Irsyad sudah memasuki kawasan pesantren. Terlihat Iyan sudah rapi di teras ndalem.
"Assalamualaikum! Mas Iyan sudah siap?" Sapaku menghampiri putra mas Algha itu.
"Waalaikumussalam, Bunda" jawabnya mengambil tanganku.
"Sudah siap sekolah hari ini?" Tanyaku. Iyan terlihat agak murung pagi ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodohku, Kamu! [SELESAI]
Teen FictionTerkadang hidup tak seperti apa yang kita bayangkan. Boleh jadi hari ini sesuai dengan rencana kita, namun besok yang terjadi diluar nalar kita. Jodoh, rezeki, maut, sudah tergariskan sedemikian rupa. Hanya saja, mampukah kita menjalaninya dengan ik...