Resepsi 2

1.6K 118 2
                                    

Suara soundsystem sudah mulai pelan. Tapi tamu masih terus berdatangan. Motor bahkan mobil terus keluar masuk dari area pesantren. Acara di As-Syafi'iyah sangat meriah. Buya dan Muya begitu sempurna menyiapkan acara. Entah berapa ribu undangan yang berdatangan. Sejak pagi aku hanya istirahat shalat saja. Kakiku terasa begitu pegal.

Jangan tanya mas Algha bagaimana. Dia masih cuek, sama seperti saat dirumah kemarin. Bahkan tak sekalipun ia bersuara jika tak kuajak berbicara. The real definisi dekat tapi tak bersama.

Kali ini aku sudah berganti pakaian. Sejak ba'da Maghrib tadi, aku dan mas Algha sudah tidak memakai gaun pengantin. Acara shalawatan untuk menghibur santri pun baru saja selesai. Kini aku duduk bersama saudara mas Algha yang dari Muya. Benar ternyata, Muya berasal dari keluarga biasa. Bahkan tak ada satupun keluarga Muya yang berlatar belakang pesantren. Berbanding terbalik dengan keluarga Buya yang mayoritas memiliki pesantren masing-masing.

"Ndang! Mumpung belum duduk coba ambilkan hp nya mbak di atas!" Wanita yang tengah makan disampingku menunjuk meja didepannya. Kalau tidak salah dia mbak Shasa sepupu mas Algha. Tapi, laki-laki yang ia panggil 'Ndang' itu aku tidak tahu siapa. Ya, aku masih belum hafal semua saudara mas Algha.

"Kamu ngga makan?" Tanya mbak Shasa padaku.

"Nunggu Mas, Mbak!" Jawabku tersenyum. Aku memang sedang menunggu mas Algha yang sedang menemui teman-temannya didepan. Aku tak turut serta karena memang tamu mas Algha laki-laki. Bukan tak ingin turut serta, hanya saja tamu pria dan wanita di pisah, membuat ku hanya berada di wilayah tamu wanita.

"Heh! Jangan buka aneh-aneh ya Rindang!" Tegur mbak Shasa yang melihat ponselnya menyala.

"Sih namanya pake 'Mas sayang' ada lopek nya juga!"

"Jomblo jangan iri! Mbak kan emang sayang sama suami mbak, ya wajar lah!"

"Dih mbaknya aja yang alay! Kontaknya mas Arsyad loh di handphone nya Mbak Ayu bukan mas sayang, tapi nama lengkap, tapi Mbak Ayu sayang kan ke mas Arsyad?"

"Ya sayang dong!" Aku menimpalinya turut bercanda.

"Beda Ay! Ih kamu mah masih baru! Kalo mbak tuh udah sayang, cinta, dan segalanya," bangga mbak Shasa.

"Kok saya geli ya mbak dengernya," sahutku tertawa.

"Loh Syad? Istrimu ngga diajak makan?" Tanya mbak Shasa saat mas Algha menghampiri kami dengan membawa sepiring nasi.

"Hehe, laper mbak! Sampean ambil sendiri bisa kan?" Tanya mas Algha padaku, tapi tatapannya beralih ke samping ku.

Aku hanya menjawab lirih, "Nggih mas".

"Wooo ngga so sweet kamu! Seharusnya kan sepiring berdua!" Celetuk laki-laki dewasa yang aku tak tahu siapa. Terlihat dari penampilannya umurnya tidak berbeda jauh dengan mas Algha.

"Samean tau apa tentang so sweet? La wong Sampek sekarang belum ada yang mau di so sweet i?" Sahut mas Algha membuat laki-laki itu mendengus.

"Nahh bener! Sok sok suhu padahal sek cupu hahaha," tawa mbak Shasa.

"Tunggu ya bulan depan," jawabnya.

"Budhe!!! Mas Fahmi mau lamaran bulan de mpphhh ...." Belum sempat selesai Rindang berteriak, mulutnya sudah di bekap oleh mas Fahmi. Kami pun turut tertawa melihatnya.

"Mau tak bantu bilang ke Budhe Wasil ta, Mas? Masih sama yang Lumajang to?" Tiba-tiba teh Khalwa datang menimpali.

"Wa!!" Tegurnya.

"Oalah CLBK toh masih Teh? Cinta lama belum kelar? Hahah!" Tawa Rindang. Meskipun aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, melihat kebersamaan mereka saja membuat ku bibirku turut keatas.

"Lah pengantinnya malah cekikikan disini! Cepet diselesaikan makannya! Di luar masih ada tamu!" Tegur wanita paruh baya memutus keramaian kami.

"Pengantin juga butuh tenaga budhe! Ya ngga, Neng?" Bela mas Algha membuatku tersenyum canggung.

"Ini sudah kok budhe ... Jenengan juga sudah kan? Piringnya Ay bawa nggih!" Ucapku yang mendapat anggukan dari mas Algha.

Aku kembali setelah meletakkan piring kotor. Ternyata mas Algha menunggu ku kemudian berisyarat mengajak menemui beberapa tamu.
Tenda sudah tidak seramai tadi. Hidangan di meja pun beberapa kosong dan tidak diperbarui lagi. Aku menghampiri Muya yang sedang menggendong bayi.

"Boleh Ay menggendongnya, Muya?" Tanyaku yang mendapat respon baik dari Muya. Beliau langsung memindahkan bayi mungil itu padaku. Aku merasa tak asing melihat bayi ini. Ah, mungkin hanya perasaanku saja. Bukankah muka bayi itu memang sama semua.

"Putrane sinten, Muy?" Tanya mas Algha yang turut menoel-noel pipi bayi ini. (Anaknya siapa)

"Subhanallah! Syakira anteng temen toh nduk?" Belum sempat Muya menjawab, Bunyai Marfuah menyapaku terlebih dahulu. Aku kaget menyadari bayi siapa yang kugendong ini. Jujur, aku benar-benar tidak tahu. Pantas saja aku merasa tidak asing tadi. Aku melirik mas Algha, mukanya kini kembali masam. Ah! Aku salah lagi!

"Sepuntene Bunyai! Saya kira bukan Ning Syakira loh ini. Sudah besar ternyata!" Ucapku hanya sekedar basa-basi.

"Walah makin besar apanya Nduk? Lawong ya samean tidak bertemu belum sebulan sama Syakira!"

"Hehehe nggih Bunyai, tapi saya sudah pangling!"

"Samean bisa aja! Kalau begitu saya mohon pamit dulu nggih Bunyai!" Pamitnya pada Muya setelah mengambil alih Syakira dariku.

"Jangan terburu-buru Bunyai! Syakira masih betah toh sama Ayu!" Cegah Muya. Sikap mas Algha sudah sangat tidak nyaman melirikku. Ingin rasanya aku pergi tapi tidak nyaman dengan Bunyai Marfuah.

"Sudah malam Bunyai, Abahnya Syakira sepertinya sudah menunggu!"

"Abah?" Tanya Muya tak mengerti.

"Gus Irsyad!" Seketika aku terkejut, ternyata Irsyad turut hadir.

"Loh Gus Irsyad sudah sehat Bunyai?"

"Alhamdulillah sudah, hanya saja masih perlu bantuan kruk untuk berjalan" jawab Bunyai Marfuah kemudian benar-benar pamit.

"Loh Arsyad kemana?" Tanya Muya membuatku sadar jika mas Algha sudah pergi.

"Mungkin kebelakang, Muya" dalihku. Akankah mas Algha pergi karena marah padaku. Tolong mas! Jangan membuatku selalu overthinking!.
Tak mau memikirkan mas Algha, aku pun turut menyapa tamu-tamu yang lain bersama Muya hingga semua tamu pulang. Sekitar pukul sebelas malam, aku pamit untuk masuk ke kamar. Badanku benar-benar lelah setelah seharian.

Sebelumnya aku juga sudah mencari mas Algha untuk mengajaknya beristirahat. Namun tidak kutemukan. Akhirnya mau tidak mau aku ke kamar sendirian. Benar saja, mas Algha tidak ada disana. Entahlah, sejak pertemuan ku dengan Bunyai Marfuah aku tidak melihat mas Algha sama sekali. Bolehkah aku merasa mas Algha cemburu melihat interaksi ku dengan Bunyai Marfuah. Atau dia muak melihatnya tadi. Aku benar-benar tidak mengerti dengan sikap mas Algha! Allah! Kapan ini akan berakhir?

Jodohku, Kamu! [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang