Berakhir?

1.4K 121 11
                                    

Bangun pagi, kepalaku terasa berdenyut, mataku juga berat. Mungkin ini efek dari semalam. Aku menangis hampir semalam penuh. Baru pukul 3 pagi, aku bisa memejamkan mata.

Baba dan Mama belum pulang dari pesantren. Untung saja ada sedikit sisa pudding bisa kugunakan untuk sarapan. Aku bangun pukul 6 pagi, hampir saja telat pergi ke resto. Pesanan pagi ini tidak terlalu banyak, membuat 3 partnerku menyelesaikannya di rumah masing-masing. Jadi, tidak ada keramaian pagi ini.

Sampai di resto pun, kepalaku semakin pusing. Aku sengaja menambah kaca mata di fashion ku hari ini, untuk mengurangi penampakan mata panda ku.

Hari ini juga jadwal Tante Ira berkunjung. Laporan terakhirku sebelum benar-benar keluar dari resto ini. Walaupun hati dan fisikku kurang mendukung, aku harus tetap profesional dalam bekerja. Semua laporan sudah kuselesaikan kemarin.

Hari ini aku hanya perlu membaca ulang sembari menunggu Tante Ira.
Sekitar pukul sepuluh, Tante Ira datang bersama Rindu, cucunya. Beliau langsung mengecek laporan ku. Tidak lama, hanya setengah jam. Setelah sedikit berdiskusi dengan Tante Ira, aku kembali mengecek handphone, entah yang ke berapa kali. Chatku pada mas Algha masih sama seperti semalam, centang satu.

"Kamu sakit Ay? Lemes gitu dari tadi," Tanya Tante Ira.

"Hehe maaf Tan, mungkin efek abis kehujanan kemarin," jawabku meringis.

"Walah! Nyatanya hujan tetap melukai ya walaupun banyak yang menyukai," canda Tante Ira.

"Hehe Tante bisa aja!"

"Bunda!!!!" Terdengar teriakan bocah dari luar. Tubuhku menegang hingga memastikan bersama siapa bocah itu.

"Nayeef! Jangan lari nak!" Tegur sang ibu. Bocah laki-laki itu pun sudah berhambur ke pelukanku.

"Seharusnya ucap salam dulu sayang!" Tegurku pada Nayeef. Sebenarnya aku terkejut dengan kedatangan mereka.

"Sama siapa Teh?" Sapaku menyalaminya.

"Sama Arsyad tadi," seketika tubuhku menegang. Lidahku kelu untuk berkata-kata.

"Dimana dia sekarang?" Tanya Tante Ira.

"Mau lanjut ke KUA katanya Tan!" Oh tidak, mas Algha benar-benar merealisasikan ucapannya.

"Loh, udah mau halal Ay?" Aku hanya tersenyum mendengarnya pertanyaan Tante Ira.

"Iya Tan, insyaallah udah deket." Jawab Teh Khalwa. Apa Teh Khalwa belum tahu mengenai niat mas Algha. Bahkan ia nampak biasa-biasa saja. Ah! Aku semakin tidak mengerti dengan mas Algha.

Teh Khalwa berkunjung karena ada keperluan dengan Tante Ira. Aku tak mengerti mengenai hal apa, mungkin tentang resto ini. Kali ini aku sudah tidak berhak untuk ikut campur, mengingat masa kerjaku tinggal hitungan hari. Bukan tak berhak sih, hanya saja aku sungkan untuk ikut campur. Lebih baik aku menemani Nayeef dan Rindu bermain.

Setelah Dzuhur, Teh Khalwa dan Tante Ira memutuskan untuk pulang. Aku memilih menyibukkan diri di dapur untuk mengalihkan pikiran. Nyatanya pikiranku masih berkelana kemana-mana. Menghubungi mas Algha pun masih sama, tak ada respon sedikitpun. Entahlah, aku benar-benar pasrah. Aku tak tahu harus berjuang seperti apa. Aku tidak mungkin mendatangi mas Algha terlebih dulu, melihat Teh Khalwa saja sepertinya masih belum tahu akan pertengkaran kami.

Sebelum pulang ke rumah, aku menyempatkan diri untuk mampir ke resto mas Algha. Berharap semoga ia ada disana. Namun, harapanku seketika meluntur saat tak melihat mobil ataupun motor milik mas Algha yang terparkir. Tapi tak memutus harapan ku, aku mencoba bertanya kepada salah satu karyawan. Sayang, mas Algha benar-benar tidak ada. Ia pergi sejak siang tadi.

Entah mendapat dorongan darimana, aku melajukan motor hingga di bawah gapura As-Syafi'iyah. Untung saja, tak ada satupun santri yang jaga di pos masuk. Gerbang pesantren pun tertutup. Sepertinya para santri sedang sibuk dengan aktivitasnya mengingat waktu sudah hampir Maghrib. Aku pun menyerah, memutuskan untuk pulang.

Sampai di rumah pun keadaan sepi.
Mama dan Baba masih berjamaah di mushalla. Aku pun memutuskan untuk membersihkan diri. Entahlah, hari ini aku ingin berlama-lama di kamar mandi. Tak baik memang, namun suara gemericik air kran membuat ku sedikit tenang. Hingga akhirnya adzan isya' terdengar membuat ku sadar bahwa aku cukup lama di dalam sini. Aku pun segera menyelesaikan ritualku dan keluar sebelum Baba dan Mama turun dari mushalla.

Aku sedikit terkejut saat meja ruang tamu penuh dengan beberapa hidangan namun tak ada seorangpun disana. Aku memutari ruang tengah hingga muncul di pintu samping. Memastikan siapakah yang sedang bertamu.

Deg!

Tubuhku kaku seketika saat menyadari beberapa mobil terparkir di halaman. Di mushalla sedang melaksanakan shalat isya'. Terlihat beberapa punggung disana, sudah pasti bukan hanya warga dan Baba saja. Lantunan alfatihah saat shalat pun terdengar begitu merdu. Aku tahu siapa itu. Apa tujuannya datang kemari. Apakah mas Algha benar-benar ingin membatalkan semuanya.

Pikiranku benar-benar hancur sekarang. Aku tidak bisa berpikir jernih. Apa yang harus aku lakukan. Sepertinya aku memang harus jujur semuanya. Aku tidak peduli apa yang akan terjadi. Everything, aku tidak ingin membatalkan pernikahan ini.

Tapi, jika aku jujur, akankah mas Algha akan menerima pembelaan ku?
Suara ruang tamu kini ramai dan terdengar hingga kamarku. Namun aku masih belum berani untuk keluar kamar. Entahlah, aku benar-benar takut. Suara di ruang tamu tiba-tiba hening. Terdengar hanya satu orang saja yang berbicara. Tapi aku tak mampu mendengar dengan jelas. Kamarku memang di samping ruang tamu. Hanya saja adanya tembok dan volume suara yang mengecil membuatku tidak bisa mendengar dengan sempurna. Sesekali aku hanya mendengar kata 'maaf'. Aku masih belum mengerti.

"Mbak!" Ucap mama membuka pintu kamarku. Wajah Mama pun tak sumringah sekali. Apa yang sebenarnya terjadi di luar. Benarkah mas Algha sudah mengatakan niatnya.

"Keluar yuk! Di luar ada keluarga Kiai Arham." Ajak mama padaku. Aku pun mengangguk mengikuti Mama. Tanganku dingin bahkan hingga gemetar. Sungguh aku sangat takut.

Di ruang tamu, aku pun langsung menyapa Muya dan Teh Khalwa, sedikit menampakkan senyum palsu untuk menutupi kekhawatiranku. Aku juga tersenyum mengangguk, menyapa Buya dan entah siapa laki-laki yang tak jauh berbeda dengan Buya. Sepertinya beliau adik Buya. Mas Algha sama sekali tak melirikku. Ia diam menunduk.

"Duduk sini Nduk!" Titah Muya menepuk tempat kosong di sampingnya. Mas Algha berada di sebelah kananku, membuat ku tak begitu melihatnya.

Semua diam tak bersuara. Hanya suara kipas angin yang terdengar. Entah hanya perasaanku saja atau tidak, udara malam ini sangat dingin ditambah suasana yang sangat menegangkan.

"Nduk Ayu! Apa benar sampeyan belum siap untuk menikah?" Akhirnya Buya bersuara menanyakanku. Entahlah, tenggorokan ku sangat kelu untuk menjawabnya.

"Sejujurnya, kami sebagai orang tua menyayangkan jika harus menunda pernikahan kalian." Maksudnya? Apakah mas Algha hanya ingin menunda bukan membatalkannya?

"Kata Arsyad, sampeyan belum siap untuk membina rumah tangga dan ingin meniti karir terlebih dahulu. Apa benar Nduk?" Tanya Buya. Aku hanya mengangguk pelan, aku memang pernah mengatakan hal itu pada mas Algha.

"Ta ...." Belum juga aku bersuara, Baba sudah menatapku tajam. Entah mungkin beliau sangat kecewa padaku.

"Jika memang itu yang diinginkan, mungkin jalan terbaik memang harus kita tunda dulu sampai Irsyad kembali dari Arab." Seketika aku mendongak. Mas Algha hendak pergi ke Arab? Bahkan ia tak pernah memberitahu ku.

"Maaf Baba, selama saya pergi, saya juga ingin membebaskan Neng Ayu jika ingin menerima pinangan laki-laki lain."




















****

Satu kata dong buat author 🙏🤭

Btw ini update nya udah tak majuin looo

Ngga mau tau harus komen banyak-banyak!!!!!!

Jodohku, Kamu! [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang