Katanya, ikhlas itu disaat kita mampu bercerita dengan tertawa, bukan lagi meneteskan air mata. Katanya, ikhlas itu ketika kita sudah mampu melupa tanpa mengingat apa yang dilakukannya. Katanya, ikhlas itu tatkala hati mampu menerima tanpa kata mengapa. Dan pada kenyataannya, ikhlas masihlah sebuah kata dibalik ribuan upaya untuk menutupi sesak yang tersisa.
Tatkala diri ini berucap 'aku ikhlas' adalah sebuah kebohongan yang kuumbarkan. Pada kenyataannya kata hanyalah sebuah bentuk usaha untuk mensugesti diri agar benar-benar lapang hati. Apakah salah jika kata dan hati tidak seirama? Tentu tidak! Semua hanya tentang proses yang membutuhkan waktu. Semua hanya tentang usaha menuju lapang dada.
Begitu banyak yang kulewati hingga berada di titik saat ini. Berawal dari pernikahan yang dipenuhi kesalahpahaman hingga berakhir perpisahan. Perpisahan yang paling menyakitkan adalah karena kematian. Butuh waktu yang cukup lama untuk benar-benar bangkit.
Benar kata mas Algha, aku tidak boleh berlarut-larut dalam kesedihan, karena kebahagiaan sudah menanti di masa depan. Meskipun kebahagiaan ku tak lagi bersamanya, masih ada Iyan dan Iyah yang harus diperjuangkan. Memang tak pernah terbesit sedikitpun dalam pikiran ku akan menyandang status janda beranak dua di umur 25 tahun. Tapi bukan berarti aku harus menyerah untuk hidup, bukan. Masih ada dua amanah mas Algha yang harus kujaga.
Banyak yang turut bersedih atas kepergian mas Algha. Selama tujuh hari berduka, tak sekalipun ndalem sepi dengan orang-orang yang berbelasungkawa. Mulai dari teman-teman mas Algha dari pondoknya dulu, teman masa kuliahnya, teman organisasinya, hingga teman-teman kerjanya tak luput satupun dari mereka yang tertinggal. Bahkan setiap malamnya lebih dari 500 orang untuk mengikuti tahlil bersama.
Kepergian mas Algha membuat Iyah sakit selama seminggu. Iyan pun sama, tapi tidak lebih dari tiga hari. Iyah menangis dan mengamuk setiap hari. Dia akan tenang setelah dibawa ke makam mas Algha. Sejak aku dan mas Algha pulang dari Arab, Iyah memang lebih dekat dengan mas Algha. Mungkin hal itu yang membuat Iyah sangat merasa kehilangan.
Setiap hari aku mencoba membiasakan diri tanpanya. Meskipun bayangannya masih memenuhi setiap sudut kamar. Bagaimanapun aku tidak boleh tenggelam dalam kesedihan. Setelah masa Iddah ku habis, aku kembali mengurus outlet yang beberapa bulan kuserahkan pada Vany.
Muya meminta ku untuk mengambil alih seluruh tanggung jawab yang sebelumnya dipegang oleh mas Algha. Mulai dari resto hingga perusahaan travel haji dan umroh. Kata Buya semua itu memang akan dialihkan pada mas Algha yang tentu saja kini akan beralih pada Iyan dan Iyah. Tapi aku merasa tidak sanggup untuk mengambil alih semua itu. Aku juga tidak ingin Iyan dan Iyah kurang mendapat perhatian dariku jika aku terlalu sibuk bekerja. Alhasil aku hanya mengelola perusahaan travel haji dan umrah yang ada di kota ini saja, lebih tepatnya tempat magangku dulu. Untuk selebihnya masihlah dikelola Buya.
Setelah seratus hari kematian mas Algha, aku berencana untuk pindah dari pesantren. Tapi, tentu saja Buya dan Muya menolak dengan keras. Karena Iyan dan Iyah menjadi pelipur lara atas kepergian mas Algha.
Aku bersyukur, perkembangan Iyan dan Iyah terbilang cepat. Iyah bisa berjalan diumur 11 bulan, sedangkan Iyan diumur 13 bulan. Mereka juga bisa berbicara dengan lancar diumurnya yang baru genap 2 tahun.
Setelah satu tahun wafatnya mas Algha aku kembali mengutarakan niat untuk berpindah dari pesantren. Kebetulan juga aku menyicil rumah tanpa sepengetahuan siapapun. Awalnya Muya begitu berat untuk melepaskan kami. Tapi Buya mampu membesarkan hati Muya agar mengizinkan kami untuk pindah. Tentunya dengan banyak syarat yang harus kami penuhi. Muya meminta untuk minimal satu Minggu sekali kami mengunjungi Pesantren.
Muya juga tidak melepaskan begitu saja. Beliau memperkerjakan Bu Nur untuk membantu ku merawat si kembar. Juga Pak Edi, suami Bu Nur untuk menjadi sopir pribadi kami. Muya dan Buya juga rutin memberikan uang bulanan untuk Iyan dan Iyah. Padahal aku sudah menolaknya, tapi itu termasuk cara beliau menyalurkan kasih sayang untuk cucu-cucunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodohku, Kamu! [SELESAI]
Teen FictionTerkadang hidup tak seperti apa yang kita bayangkan. Boleh jadi hari ini sesuai dengan rencana kita, namun besok yang terjadi diluar nalar kita. Jodoh, rezeki, maut, sudah tergariskan sedemikian rupa. Hanya saja, mampukah kita menjalaninya dengan ik...