Ungkapan

1.7K 125 3
                                    

Aku tidak bagaimana rasa sakit yang dirasakan oleh mas Algha. Tapi, selama ia didepan ku, tak sekalipun aku mendapatinya mengeluh. Bahkan ia selalu tersenyum menghiburku. Tubuhnya sudah jelas jauh lebih kurus. Tulang hulunya begitu kentara. Hidung bangirnya sangat bertolak belakang dengan pipi tirusnya.

Aku mengusap rambutnya pelan saat ia nyaman terpejam. Rambut hitam lebatnya kini sudah tidak lagi kentara. Jangankan sisir, bahkan aku menyentuhnya sebentar, sudah banyak helai rambut yang menempel. Air mata ku menetes menatap tumpukan rambut mas Algha di telapak tanganku.

"Kenapa nangis?" Mas Algha mengusap pipiku pelan. Ia menunjukkan senyum terbaiknya. Aku tidak menyadari kapan mas Algha membuka mata.

"Loh, sudah bangun? Jenengan mau apa? Ay, ambilkan!" Tawarku membalas senyumannya.

"Maaf, saya selalu membuat sampeyan sedih!" Ucapnya membelai pipiku.

"Ay ngga mau maafin jenengan, sebelum jenengan benar-benar sembuh!" Ucapku, mas Algha beralih menggenggam tanganku.

"Makanya jangan sedih! Dikasih support sistem seharusnya!" Ucapnya tertawa mencium punggung tanganku.

Hubungan ku dengan mas Algha terbilang membaik. Malam itu, hari dimana mas Algha sudah sadar. Teh Firla memberi kesempatan untuk ku dan mas Algha berbicara dari hati ke hati. Dia meninggalkan kami setelah membawa beberapa makanan dan minuman.

Layaknya pengantin baru yang belum kenal sebelumnya membuat kami sangat canggung. Ditambah kami yang memang terbilang pasangan aneh. Entah berapa jam aku dan mas Algha sama-sama memilih diam tak bersuara. Kami sama-sama tenggelam dengan pikiran kami masing-masing. Hingga waktu begitu larut.

.
.
.
.
.
.

"Neng, bisa kita bicara?" Tepat pukul sepuluh malam, mas Algha mau bersuara.

Tanpa menjawabnya, aku melangkah untuk mendekat.

"Saya tidak tahu harus memulainya dari mana," ucapnya.

"Jenengan istirahat saja, kita bicara besok, nggih?" Tawarku. Aku tak tega melihat matanya yang memerah. Ia juga baru membaik, masih butuh waktu untuk istirahat.

"Besok tidak menjamin saya masih disini, bukan?" Ucapnya membuatku melotot.

"Tuh kan ngelantur! Ay ngga mau ya jadi janda muda beranak dua!"

"Hahaha! Insyaallah, ngga! Doain saya makanya! Saya cuma ingin meluruskan, biar beban ini berkurang," ucapnya dengan mata yang begitu teduh. Entah sudah berapa lama aku tidak melihat tatapannya itu. Aku pun mengangguk kemudian ia memintaku untuk duduk di ranjangnya.

"Tanyakan apa saja yang ingin sampeyan tanya pada saya," ucapnya tersenyum. Kini ia sudah duduk menghadapku.

"Sejak kapan jenengan sakit?" Pertanyaan itu yang tiba-tiba muncul dari mulutku.

"Satu bulan sebelum kita menikah," jawabnya membuatku tak percaya. Kenapa mas Algha tidak jujur sejak awal.

"Terpukul, kecewa, sedih, semua tidak bisa saya ungkapkan. Tepat satu hari setelah tanggal pernikahan kita ditentukan, tes hasil laboratorium keluar. Saya takut, jika sampeyan mengetahui penyakit saya, sampeyan akan meninggalkan saya."

"Kenapa jenengan senaif itu, mas? Jenengan mengira sedangkal itu cinta saya untuk jenengan?" Selaku. Aku tidak menyangka hal itu yang membuatnya merahasiakan semua ini.

"Iya memang, saya terlalu rendah diri untuk berada di samping sampeyan. Saya juga tidak mau jika kehidupan sampeyan hanya disisakan untuk mengabdi pada laki-laki penyakitan seperti saya!" Aku memijat keningku merasakan denyut.

Jodohku, Kamu! [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang