30.Teror I

1K 106 2
                                    

Di dalam kamarnya, Sila hanya membaca novel di meja belajar. Jam sudah menunjukkan pukul 23:30 tapi gadis itu masih terjaga.

Hanya suara denting jam yang terdengar di kamar itu. Di samping buku-buku itu terdapat foto seorang wanita tengah menggendong anak perempuan berusia tiga tahun.

Fokus Sila beralih pada foto yang memperlihatkan foto sang Mama waktu menggendong dirinya yang baru berusia tiga tahun. Papanya pernah bilang jika foto itu di ambil waktu mereka liburan ke Bandung.

"Sila kangen, Ma."

Sila menaruh novelnya ke meja lalu mengambil foto itu. Ia peluk dengan erat dan membayangkan sedang memeluk sang Mama. Mata indah itu terpejam membiarkan air mata kerinduannya mengalir.

Centar!

Sila terpelonjat kaget ketika mendengar suara kaca pecah. Ia segera beranjak melihat apa yang terjadi. Sila melihat ada batu yang di bungkus kertas masuk ke kamarnya melalui jendela balkon.

Sila mengambil batu itu lalu membuka kertasnya. Mata Sila membulat dengan sempurna melihat tulisan yang tertera di kertas itu.

SUDAH CUKUP KETENANGANNYA TUAN AREGA! JAGALAH PUTRI MU BAIK-BAIK AGAR TIDAK MENJADI KORBAN KEJAHATAN MU DI MASA LALU!!

"PAPA!!"

Sila berteriak, lalu berlari keluar kamar. Ia turun mendatangi kamar Farel. Sila menggedor-gedor pintu kamar Papanya tidak santai.

"Papa! Papa!" seru Sila tidak santai.

Tak lama pintu kamar Farel terbuka menampilkan sosok Farel yang sedang memakai baju piyama. Raut wajahnya terlihat khawatir mendengar seruan putrinya.

"Ada apa sayang?"

Dengan tangan gemetar, Sila menyerahkan kertas itu pada Papanya. Farel menerima dengan rasa bingung. Saat tahu isinya matanya langsung membulat dengan sempurna.

"Siapa yang kirim ini?" tanya Farel.

"Sila juga gak tau, Pa. Tiba-tiba ada orang yang melempar ini ke kamar Sila."

Farel kembali masuk kamar untuk mengecek CCTV di laptop. Pria itu mengambil laptop di meja kerjanya lalu melihat siapa pelaku dari teror ini.

Dari rekaman CCTV itu memperlihatkan tiga motor yang berhenti di depan rumah mereka. Salah satu dari orang itu turun dari atas motor dan naik ke gerbang untuk melempar kertas itu ke kamar Sila menggunakan batu. Wajahnya tidak terlihat karena mereka memakai slayer dan helm full face.

"Kejahatan apa yang udah Papa lakuin di masa lalu?" tanya Sila.

Farel menutup laptopnya dan menoleh pada sang anak.

"Papa juga gak tau, sayang. Papa yakin ini ulah salah satu saingan bisnis Papa."

"Papa gak lagi bohongin Sila, kan?"

"Buat apa Papa bohong?"

••••

"Sila," sapa Farel saat melihat Sila baru turun dari tangga.

Sila tidak menggubris sapaan dari Papanya, ia langsung duduk dengan wajah lesu. Semalaman Sila memikirkan apa maksud dari tulisan itu.

"Hari ini kamu di antar supir ya ke sekolah," ujar Farel.

Sila menoleh pada Farel.

"Supir? Gak perlu."

"Ini demi keamanan kamu sayang."

"Kalau Papa gak merasa melakukan kejahatan di masa lalu gak usah takut sama ancaman itu," jengah Sila.

"Tapi ancaman itu bukan main-main Sila. Saingan bisnis Papa bisa melakukan apa saja demi menghancurkan Papa. Mereka tau kelemahan Papa itu kamu!"

Sila menghela nafasnya pelan.

"Oke fine!"

Sila mengalah dan lebih menurut pada sang Papa. Entah kenapa Sila merasa ada yang papanya sembunyikan dari dirinya.

"Sila berangkat dulu." 

Sila pergi setelah menyalami tangan Papa dan Neneknya.

"Sila sarapan dulu!" suruh Farel namun tidak di gubris oleh gadis itu.

"Kenapa lagi?" tanya Kamila.

"Seseorang kirim surat ancaman ke Sila semalem. Dan Sila tanya tentang tulisan itu," kata Farel memberitahu.

"Tulisan apa?"

Farel menyerahkan kertas itu pada sang Mama membiarkan wanita tua itu membacanya.

"Kamu harus cepat menyelesaikan kasus itu, Rel. Sudah dua tahun berlalu jangan sampai Sila terbawa dalam masalah itu," ujar Kamila. Wanita itu kembali menyerahkan kertas ancaman itu pada Farel.

"Iya Ma."

••••

Sila sampai ke sekolah dengan di antar supir. Untuk pertama kalinya ia pakai supir ke sekolah seolah-olah ia tuan puteri.

"Bapak gak perlu tunggu saya sampai pulang sekolah dan Bapak juga gak perlu jemput saya nanti. Soalnya nanti saya ada rapat," ujar Sila.

"Maaf non, tuan Arega meminta saya untuk tetap stay di sini sampai non sampai ke rumah. Saya harus tetap mengawasi non di manapun non Sila pergi."

Sila mendengus kesal.

"Gak usah berlebihan deh, Pak. Saya bukan anak kecil lagi. Bilang sama Papa!"

DARMASILA (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang