Setelah dua jam menempuh perjalanan dari Jakarta-Bandung, akhirnya Darma sampai. Ia membantu menurunkan koper dari bagasi.
"Sudah mas biar saya saja yang menurunkan kopernya," ucap Pak Ayat, supir Ibunya.
"Nggak apa-apa pak saya bantu saja biar Pak Ayat juga gak bolak-balik bawa koper sebanyak ini," ujar Darma.
"Makasih mas."
Darma mengangguk setelah itu memanggil Damar yang hendak masuk.
"Damar, bawa koper lo sendiri. Jangan manja!"
"Yaelah kak ada Pak Ayat juga," malas Damar.
"Pak Ayat bawa koper Buna, lo bawa koper lo sendiri."
"Entar Pak Ayat balik lagi."
"Lo lupa apa kata Papa? Jangan nyusahin orang kalau nggak mau di susahin. Pak Ayat kerja itu buat Buna bukan buat lo! Bawa barang-barang lo sendiri!" Omel Darma. Damar menghentakkan kaki nya ke tanah kesal.
"Perasaan sama aja!"
"Jelas beda! Bukan lo yang bayar Pak Ayat. Terus buat apa Pak Ayat bawain barang-barang lo?"
"Ya ampun dewasa banget sih pemikiran cucu nenek yang satu ini." Darma menyalami tangan perempuan tua yang di tuntun oleh Ibunya. Wajah yang sudah tidak lagi muda serta rambut yang di dominasi warna putih itu menyambut kedatangan anak serta cucunya.
"Ajaran Marsel, Ma," sahut Arumi bangga dengan pemikiran anak pertamanya itu.
"Baguslah. Dia bukan hanya berhasil jadi sahabat tapi juga kepala keluarga yang baik buat kamu dan anak-anak mu."
Arumi mengangguk bangga. Marsel memang tidak pernah gagal dalam segala peran.
"Nenek apa kabar?" sapa Darma.
"Selalu baik. Kata Buna mu, kamu sudah punya pacar ya?"
Darma mengangguk mengiyakan pertanyaan sang nenek.
"Seperti apa anaknya?"
"Cantik, baik, pinter juga," ucap Darma mendeskripsikan seorang Aysila Farelia."Nanti Darma kenalin ya," sambungnya.
"Tulus juga gak?"
"Sepertinya," ujar Darma ragu.
"Kok masih sepertinya?
"Baru tiga bulan Nek pacarannya jadi gak tau tulus apa nggak," jawab Darma.
"Kalau udah ketemu yang baik, tulus jangan di sia-siakan ya. Biar nggak jadi penyesalan juga buat kamu."
••••
"Ini tuh bekas kamar Buna kamu pas masih remaja. Tapi setelah menikah dengan Papa mu kamar ini udah gak kepakai lagi," ujar Tyas memberitahu Darma. Tyas membawa Darma masuk ke kamar Arumi yang sudah bertahun-tahun lamanya tidak di tempati.
"Banyak yang sudah berubah di rumah ini tapi tidak dengan kamar ini. Buna mu minta jangan ada yang di rubah dari kamarnya. Katanya biarkan seperti ini dan sebagaimana mestinya saat pertama kali di bangun."
"Pasti banyak kenangan ya, Nek di kamar ini?"
Tyas mengangguk, kenangan yang tidak ingin anaknya itu ingat kembali. Biarkan kenangan itu terkubur dengan sendirinya.
Ada beberapa bagian dinding yang sudah menguning karena tetesan air saat hujan yang masuk. Sudut-sudut kamar itu juga di penuhi dengan jaring laba-laba. Tapi tidak terlalu buruk karena dua minggu sekali Tyas pasti menyuruh orang untuk membersihkan kamar Arumi agar tetap hidup.
"Kamu bisa istirahat di kamar tamu dulu sampai tukang bersih-bersihnya datang nanti," ujar Tyas.
"Iya Nek."
Darma melanjutkan melihat-lihat bekas kamar dari Ibunya itu. Setiap menginap Darma memang belum pernah masuk ke kamar Arumi. Karena hari ini keluarga besar akan berkumpul, Tyas, neneknya menawarkan Darma untuk tidur di kamar bekas Arumi dulu. Darma pun tidak keberatan dan menerima saja. Ia juga tidak tahu kenapa Ibunya itu tidak mau masuk ke kamarnya lagi dan memilih untuk tidur di kamar bawah.
Darma beralih pada meja belajar yang sedikit berdebu di bagian tumpukan buku-buku. Darma berpikir buku-buku itu adalah buku ibunya saat masih menjadi seorang siswi. Darma mengambil foto di atas meja belajar itu yang memperlihatkan foto ibunya dan Ibu Azkia memakai seragam putih abu-abu.
Darma tersenyum melihat persahabatan Ibunya dan Ibu Azkia sampai saat ini menjadi ipar. Tapi bingungnya kenapa usianya dan Azkia beda jauh mengingat Azkia anak dari kakak dari Ibunya.
Darma membawa foto itu ke hadapan neneknya.
"Nek, sampai sekarang Darma bingung kenapa Darma itu lahir lebih dulu di banding Azkia. Padahal kan Om Bian itu kakaknya Buna?" ujar Darma membuat Tyas bergeming. Wanita tua itu berdehem mengambil foto di tangan cucunya.
"Sini biar nenek tunjukkan sesuatu," Tyas menggiring Darma duduk di atas kasur lalu Tyas membawa satu album foto dari atas rak.
Tyas duduk di samping Darma memperlihatkan album photo yang sudah usang. Tyas membukanya dan memperlihatkan foto Arumi waktu masih kecil sampai remaja.
"Ini foto Buna kamu saat usianya baru masuk SD. Lucu kan?"
Darma mengangguk melihat foto masa kecil Buna nya yang masih ada sampai sekarang.
"Dan ini foto Buna kamu masuk SMP. Mukanya masih polos banget," ujar Tyas memperlihatkannya pada Darma. Wanita tua itu tersenyum getir merasa menyesal dulu tidak begitu memperhatikan masa pertumbuhan Arumi. Waktu begitu cepat dan sekarang Arumi sudah memiliki dua anak.
"Nah ini pas masuk SMA. Di sini Buna kamu ketemu sama Papa kamu." Tyas membuka halaman berikutnya memperlihatkan pada Darma foto Arumi dengan Marsel saat wisuda kelulusan.
"Dan ini foto Buna kamu sama Papa kamu waktu wisuda. Nah pada saat wisuda Mama kamu udah hamil kamu," ujar Tyas membuat Darma terkejut.
"Hah?! M-maksudnya..."
"Kamu jangan salah paham dulu," Tyas membelai lengan Darma."Nenek menjodohkan Buna kamu dengan Papa kamu pas masih SMA dulu. Jadi pas wisuda kamu udah ada di dalam perut Buna mu," jelas Tyas.
"Sebagai seorang Ibu, Nenek takut punya anak perempuan. Takut salah jalan. Takut salah pergaulan jadi Nenek jodohkan saja Buna mu dengan Papa kamu yang jelas-jelas sayang banget sama Buna mu. Terus Papa kamu bawa Buna kamu ke Kanada. Kalian hidup di sana selama lima tahun lalu kembali lagi ke sini saat usia kamu 4 tahun setengah," cerita Tyas yang tentu saja tidak semua benar.
"Ouh jadi benar kata Buna. Nenek menjodohkan Buna sama Papa saat Buna belum siap jadi Ibu? Pantes Buna sama Papa nikahnya 2 kali," ucap Darma mengingat dulu Arumi pernah cerita alasan kenapa Darma ada di foto hari pernikahan Arumi dan Marsel.
"Sekarang udah tau kan kenapa usia kamu lebih tua dari Azkia?"
Darma mengangguk, ia tidak penasaran lagi kenapa usianya lebih tua dari Azkia yang notabennya adalah anak dari kakak Ibunya.
"Buna cantik banget ya, Nek pas remaja," ujar Darma melihat betapa cantiknya sang Ibu di foto itu.
"Jelas siapa dulu Ibunya?" bangga Tyas."Gak mudah jadi Papa kamu dulu. Dia harus berjuang keras untuk bisa menikahi Buna kamu."
"Ouh jadi ceritanya Buna itu incaran cowok ya, Nek?"
"Iya. Apalagi rebutan nya sama mantan pacar Buna mu."
KAMU SEDANG MEMBACA
DARMASILA (HIATUS)
Teen FictionSpin Off TRAVMA Kesalahpahaman di masa lalu membuat Darma ingin membalaskan dendam atas kematian sang pacar. Darma pun membentuk geng motor demi membalaskan dendam pada pria yang sudah membunuh Kania, gadis yang ia cintai. Darma juga menutup identit...