41. Sakit yang sebenarnya.

44 14 1
                                    

Happy Reading

Acha meringkuk didalam selimutnya. Ia terus menangis dalam kesunyian kamarnya. Hatinya terus sesak, tak dapat dipungkiri betapa kecewanya seorang Acha saat tahu bahwa orang yang selalu ia percaya, ternyata bermain dibelakangnya.

Pikirannya melayang. Kembali memikirkan tentang olimpiade dan juga operasinya yang sangat berdekatan waktunya. Akh.. Sialan! Ini membuat otaknya serasa mau pecah.

"Pah, Acha kangen..." lirihnya.

Acha sudah begitu lelah dengan jalan hidupnya. Begitu lelah. Sampai sampai ingin secepatnya pergi dari dunia ini. Hidupnya banyak drama. Semua orang disekelilingnya berbohong. Tak ada yang dapat dipercaya. Prilly? Haha... Gadis itu juga punya banyak masalah dihidupnya. Hanya saja, topeng seorang Prilly begitu kuat.

Acha tertawa miris dalam tangisannya, saat kembali mengingat dulu ia melihat Prilly yang tengah bertengkar dengan seorang wanita paruh baya. Acha berfikir bahwa mungkin dirinya yang selalu membohongi Prilly. Namun, ternyata sebaliknya.

Acha beruntung bisa mengenal seorang Prilly Mirdad. Gadis yang terlihat begitu dingin, tapi memiliki hati yang baik dan juga tulus. Jika kembali flashback tentang kebencian Prilly terhadap Acha, sepertinya itu terlalu sakit bila diingat.

Lamat-lamat mata Acha mulai tertutup. Masih dengan posisi tubuh yang tertutup selimut, Acha tertidur. Begitu lelah sampai suara deruh napasnya terdengar sangat berat. Tidur namun juga terisak, itu yang ia alami. Sangat tersiksa dengan kondisinya yang sekarang, Acha hanya bisa pasrah dengan alur yang takdir berikan.

"AAAAARGGHHHH!!!"

Suara tersebut membuat Acha terlonjak kaget. Pandangannya berpencar melihat sekeliling kamarnya yang begitu gelap. Tak ada siapa-siapa. Sepertinya suara itu berasal dari halaman rumah. Dengan perasaan yang kesal, Acha beranjak dari kasurnya menuju balkon kamar. Tangan Acha naik mengucek matanya, seraya menyibak gorden.

"Siapa sih malam-malam ribut." gerutunya.

Pandangan Acha turun melihat Bianca yang terlihat syok. Keningnya mengerut. Tiba-tiba Dinda dan Edward datang menghampiri Bianca, dan memeluknya penuh kekhawatiran. Iri? Sudah pasti. Itu yang dari dulu Acha inginkan, namun sampai sekarang belum terwujud.

"Kamu kenapa sayang?" Dinda menangkup wajah Bianca. Raut wajahnya terlihat sangat khawatir dengan kondisi putrinya.

"A-a-aku di t-teror, M-mom." jawab Bianca dengan napas yang terengah-engah.

"Ayo masuk, penyakit asma kamu kambuh." ucap Edward seraya membantu Bianca masuk kedalam rumah.

Acha hanya menatap datar ketiga orang itu dari atas balkon kamarnya.

Sebentar, Acha tak salah dengar kan? Bianca punya asma? Sejak kapan? Dan kenapa Acha tidak mengetahuinya? Ah, sudahlah, bukan urusanku walaupun aku mungkin bakal kepo dengan ini, tapi aku tahu kalau Bianca pasti selalu melakukan perawatan seperti dirinya. Tapi bedanya, Bianca perawatan ditemani kedua orangtuanya. Aku bersama Prilly. Haha.

Acha turun kebawah. Melihat dengan penasaran apa yang sebenarnya terjadi sampai sampai Bianca berteriak seperti itu. Ia menghampiri ketiga orang yang tengah sibuk berbincang.

"Bianca, ada apa? Kenapa kamu berteriak sekencang itu?" tanya Acha.

Pandangan Bianca naik menatap tajam Acha. "Lo kan yang teror gue terus!?"

ACHA [END✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang