53. Zoe

11 9 21
                                    

53. ZOE

"Ada perubahan rencana."

Malam sebelum peluncuran rencana, Nathan memberitahu Monica bahwa dirinya tidak perlu berhadapan dengan Revan. Dia hanya akan menculik Zoe tepat ketika gadis itu sendirian. Lalu membawanya pergi.

Perempuan berambut hitam panjang itu duduk terikat di kursi, di ruangan yang gelap. Monica menyalakan lampu dan membuat ruang serba putih menjadi terang. Dia tidak sendirian. Ada Nathan dan Tobias berdiri di sampingnya.

Kedatangan mereka membangunkan Zoe yang semula tidur. Dia terkesiap saat Monica mengeluarkan pistol dari saku celananya dan mengarahkannya ke kepala Zoe.

Monica hanya iseng. Dia tidak akan membunuh perempuan itu dengan pistol. Mungkin tidak sekarang.

"WOAAH-WOAH! Tahan dulu, Mon!" Tobias panik sembari menurunkan tangan Monica agar tidak menembak kepala Zoe sebelum tujuan mereka terselesaikan.

"Jangan bodoh, Mon," ucap Nathan tanpa melirik gadis itu. Dia tahu tindakan Monica nyaris diluar batas.

"Memang." Apa lagi yang bisa kukatakan?

Kemarahan mulai merayapinya. Seperti seekor tikus yang gemetar mencari kehangatan, remah makanan. Dan seiring hari yang berlalu, kemarahannya kian meningkat sehingga membuat Monica kadang-kadang gemetar tak terkendali sebelum akhirnya mengedepankan kembali kemarahannya dan menahannya.

Monica tidak ingin membunuhnya sekarang, dia ingin menyimpan dan menimbunnya. Menunggu waktu yang tepat, di tempat yang tepat, untuk melampiaskannya. Zoe, Zea, dan Revan yang telah melakukan semua ini terhadapanya. Mereka telah mengambil hidupnya dan teman-temannya. Tak peduli bagaimana akibat-akibatnya.

Dan untuk itu, mereka harus membayarnya. Monica bersumpah dalam hati ribuan kali selama sehari.

Semua itu mengaliri saat ia duduk, bersandar di dinding, menghadap Zoe yang duduk di tengah ruangan itu.

Zoe mengedip dan tiba-tiba saja dia tersenyum, "Gue seneng lo berhasil, Monica."

Monica mengerutkan kening. Zoe tampak lebih tua daripada yang dipikir Monica, beberapa tahun lebih tua daripadanya. Dia mengenakan gaun berwarna hitam. "Berhasil bikin orang-orang menganggap hal-hal buruk tentang gue, huh?"

Zoe tertawa—suara yang kaya dan pedas. Tawanya memantul di dinding-dinding ruangan.

Dia sinting, batin Monica.

"Gue nggak akan buang-buang waktu cuma dengerin omong kosong lo, Zoe. Sekarang lo harus jawab pertanyaan gue," ucap Monica berusaha setenang mungkin mengendalikan suarannya. "Lo yang bunuh Karin?"

Ruangan itu lengang sejenak, menyisakan desing suara napas.

Zoe tertawa akhirnya. "Lo mau bunuh gue? Bunuh aja! Gue gak bawa senjata apa pun, bahkan sepatu gue gak ada."

Monica tidak menjawab. Tetap menatapnya tanpa berkedip.

"Gue gak suka cewek ini," geram Nathan. "Lo pasti punya hubungan sama Karin, kan? Lo temennya—"

"Dulu." Zoe memotongnya. "Yang selalu bersama belum tentu tulus. Setiap pertemanan pasti ada maksud, entah orang itu punya rencana untuk menjatuhkan sahabatnya, atau bahkan sampai membunuhnya."

"Berati lo pembunuhnya?" tanya Nathan.

"Gue gak bilang itu, gue cuma bilang jangan mudah percaya sama orang. Bahkan orang yang kalian anggap baik bisa jadi ular berbisa."

Monica berdecak. "Ini buang-buang waktu—"

"Oh ya?" Zoe mengangkat dagu. "Terus kenapa lo nyulik gue? Kalo ini buang-buang waktu kenapa lo gak bunuh gue sekarang? Oh gue tau! Lo nggak mau dianggap pembunuh lagi ya, kan?"

THE GOLDEN TEENAGERS [PART 3&4]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang