1. Luka dan Obatnya

109 2 0
                                    

"Kamu gimana sih? Masa nilai ulangan IPA cuma dapet nilai delapan puluh lima! Kamu tuh masih SD, pelajarannya masih gampang! Kenapa bisa cuma dapet segitu?"

Lagi-lagi bentakan Alvina terima dari ibunya. Hal ini sudah biasa terjadi. Ibunya itu selalu menuntut kesempurnaan.

"Tapi itu udah bagus, Ma. Temen-temenku aja banyak yang nilainya di bawah kkm dan harus remedial," jelas Alvina.

Dia sudah berusaha keras untuk mendapatkan nilai di atas standar. Dia sudah belajar siang dan malam. Alvina tak ingin lagi dimarahi. Dia sudah lelah.

Tarikan keras Alvina terima di rambutnya. Harusnya, dia sadar kalau melawan hanya akan mendatangkan kekerasan.

"Bagus kata kamu? SEJAK KAPAN NILAI DELAPAN PULUH ITU BAGUS? Dan apa tadi kamu bilang? Teman-teman? Jangan-jangan karena mereka kamu jadi seperti ini. Makanya, Mama 'kan udah bilang, bergaul sama anak yang pintar! Supaya otak bodoh kamu itu ketularan pintar."

Firda menyeret Alvina ke kamar mandi masih dengan tarikan di rambutnya. Genggaman itu erat sekali. Hingga anak berusia sepuluh tahun itu merasakan kulit kepalanya akan lepas.

Sesampainya di kamar mandi, Firda membawa anaknya ke bawah shower. Lantas dinyalakannya pancuran itu hingga membasahi tubuh Alvina. Seketika gadis itu kedinginan.

"Rasain! Makanya jadi anak tuh jangan bandel. Lain kali belajar yang bener, biar dapat nilai bagus." Firda menghempaskan rambut di genggamannya. Membuat anak tunggal keluarga Alexander itu terduduk di lantai yang dingin.

🌷🌷🌷

Setelah membersihkan dirinya, Alvina memilih beristirahat sejenak. Gadis itu hanya berbaring di ranjang. Sebab dia tahu, jika tidur siang hanya akan membawa petaka.

"Alvina," teriak seseorang dari luar kamar.

Alvina bergegas menuju meja belajar. Memposisikan diri seakan sedang membaca sebuah buku.

Tak lama kemudian, pintu kamarnya terbuka. Ibunya muncul dari balik pintu. Membawa sebuah rotan yang biasa Firda gunakan untuk memukul anaknya saat ketahuan tidak belajar.

"Bagus, belajar yang rajin. Mama nggak mau punya anak yang bodoh."

Alvina hanya diam. Dia mulai membaca satu persatu kalimat yang ada di buku. Semata-mata hanya agar tidak ketahuan jika sedang berpura-pura.

Setelah mengawasi Alvina untuk beberapa saat, Firda memilih pergi. Membuat Alvina menghembuskan napas penuh kelegaan. Gadis itu mengambil tasnya yang ia letakkan di bawah meja.

Keturunan Alexander itu memandangi selembar kertas yang baru saja ia ambil dari tasnya. Hasil ulangannya yang juga dibagikan hari ini. Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial.

Berbeda dengan pelajaran IPA, Alvina tak perlu bersusah payah untuk mendapat nilai sempurna dalam pelajaran IPS. Gadis itu sangat menyukai mata pelajaran yang satu ini. Bagaimana pelajaran ini membahas sejarah, lingkungan sekitar, dan banyak hal lain.

Sayangnya, orang tuanya tidak merestui. Dalam pikiran mereka, Alvina gagal menjadi anak hanya karena tidak pernah mencapai nilai sempurna dalam pelajaran IPA. Tanpa sadar bahwa anaknya lebih unggul di pelajaran lain. Ah, mereka bukan tidak sadar, lebih tepatnya menolak sadar.

Deringan telepon membuyarkan lamunan Alvina. Anak itu menatap ponsel lipat miliknya. Dengan segera dia mengambil ponselnya dan mengangkat telepon itu.

Alvina hanya diperbolehkan untuk menggunakan ponsel model lama. Dia belum diperbolehkan menggunakan android. Selain karena masih kecil, orang tuanya merasa Alvina akan menjadi semakin bodoh jika memiliki ponsel yang bagus.

Ponsel Alvina hanya bisa digunakan untuk telepon, SMS, juga permainan bawaan. Diizinkan membeli ponsel saja dia sudah bersyukur. Walaupun harus mengorbankan tabungannya.

"Halo, Kak." Alvina segera bersuara setelah mengangkat telepon.

"Halo, lagi apa?" tanya Dika. Anak laki-laki itu benar-benar menjadi temannya semenjak empat tahun yang lalu.

"Seperti biasa, cuma rebahan di kamar."

Andika menghela napas. "Dimarahin lagi?"

"Emangnya pernah, mama nggak marah habis liat nilai ulanganku?" Alvina tertawa kecil. Seakan yang baru saja dibicarakannya bukanlah masalah besar.

"Jangan ketawa! Kata mama, kalau lagi sedih ya nangis aja. Jangan ditahan, nanti sakit," nasihat Andika.

Alvina termenung. Tawanya kini mulai berganti dengan isakan. Tak ada lagi senyuman secerah mentari. Hanya ada tetes air sederas hujan di bulan Januari.

"Aku capek, Kak." Isakannya semakin keras. Nafasnya juga mulai tersendat sebab menangis terlalu keras.

"Ssstt, jangan keras-keras nangisnya! Nanti kedengaran mama kamu," pinta Dika.

Alvina mengangguk walaupun tahu Dika tidak akan melihatnya. Gadis itu mulai meredakan tangisannya. Berusaha menahan isakannya dengan menarik napas panjang.

"Udah tenang? Sekarang coba kunci dulu pintunya. Terus tidur, istirahat. Kamu udah ngabisin banyak waktu buat belajar. Sekarang waktunya buat istirahat sebentar."

Alvina masih diam. Gadis itu menuruti perkataan Dika untuk mengunci pintu dan mengistirahatkan diri.

"Udah?" tanya Dika memastikan.

"Iya, udah."

"Yaudah, kalau gitu silakan istirahat. Kalau ada apa-apa jangan sungkan hubungin aku ya."

"Okay, bye."

Setelah sambungan terputus, Alvina tak langsung menyimpan ponselnya. Gadis itu termenung sejenak di kasurnya. Masih dengan posisi miring ke kanan memeluk guling serta satu tangan yang memegang ponsel.

Anak perempuan itu bingung, mengapa dia selalu merasa nyaman dan bahagia saat bersama Andika. Alvina selalu merasakan perasaan yang berbunga-bunga hanya dengan mendengar nama kakak kelasnya itu. Kalau menurut perkataan teman sebangkunya sih, dia sedang jatuh cinta. Tapi bukannya jatuh cinta hanya untuk orang dewasa?

Semenjak memasuki sekolah dasar, Alvina memiliki beberapa teman baru. Walaupun tidak sedekat pertemanannya dengan Dika. Setidaknya mereka bisa menemaninya saat teman laki-lakinya itu tidak ada.

Teman-teman sekolah Alvina itu selalu mengatakan bahwa gadis itu sangat cocok dengan Dika. Mereka bilang, sikap Dika yang sangat perhatian padanya menjadi bukti bahwa lelaki itu menyukainya. Padahal, Alvina tahu jika Dika menganggapnya hanya sebagai teman, begitupun sebaliknya. Namun, mereka tetap teguh dengan pendapatnya.

Alvina membiarkan. Merasa tak dirugikan atas opini teman-temannya itu. Lagipula mereka hanya berpendapat, sama sekali tidak memaksa.

Walaupun begitu, terkadang ucapan teman-temannya itu membuatnya kepikiran. Bagaimanapun, Alvina adalah anak perempuan yang baru memasuki masa pubertas. Tentu saja ada mulai ada ketertarikan dengan lawan jenis.

Terkadang pula Alvina membayangkan jika suatu saat ada perempuan lain yang masuk ke dalam kehidupan Dika, akankah laki-laki itu mulai abai padanya?

Jika suatu saat nanti memang Andika lebih memperhatikan perempuan baru itu, sanggupkah dia bertahan? Sementara saat ini pun hanya lelaki itu yang menjadi tumpuan hidupnya.

Alvina menggelengkan kepala. Anak perempuan itu segera meletakkan ponselnya di nakas. Menarik selimut dan bergegas tidur. Dia tidak perlu berpikir sejauh itu. Jika memang Dika memilih bersama perempuan lain, maka itu haknya. Alvina akan berusaha mendukung, sebab dia tahu bahwa dunia seorang Andika Mahardika bukan hanya tentang dirinya.

***
To Be Continued

Holaa, Guys. Pemberitahuan aja, cerita ini bakalan update setiap hari Sabtu. Sama kaya DBSI dulu.

Sistemnya juga sama. Aku bakal update tiap Sabtu sambil nyelesaiin cerita ini di draft. Begitu tamat, baru deh Up tiap hari.

Btw, DBSI tanggal 24 tamat. Kalian seneng apa sedih nih? Kalah aku sih campur aduk hehehe.

See You!

A ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang